Hubungan inter-subyektif manusia yang sangat rumit, sedari awal dimediasi oleh semacam simbol, yang salah satunya adalah bahasa. Namun bahasa, sebagai sebuah produk kebudayaan manusia, ia sama seperti manusia: serba terbatas. Pada kenyataannya, ia belum tentu dan tidak dapat merangkum seluruh pengalaman dan kehendak manusia.
Ini dikarenakan, bahasa sangat terkait dengan segala hal pengalaman dan keseharian manusia. Terlebih lagi, narasi yang dihasilkan bahasa akan semakin bercabang dan menimbulkan intepretasi tersendiri ketika ia terus dihubungkan kepada manusia-manusia lainnya yang menerima informasi narasi tersebut.
Hukum pun demikian, ia dianggap sebagai suatu media jembatan penyelesai suatu permasalahan manusia dan masyarakat. Apalagi dalam konteks hukum modern, ia tidak terlepas dari arus paradigma positivisme yang menuntut kebenaran yang terkalkulasi, tertulis, dan dapat divalidasi. Ketiga elemen paradigma positivisme ini, sangat berkaitan erat dalam mengajegkan suatu norma hukum. Dan hukum pun demikian, tidak terlepas dari bahasa.
Keajegan suatu norma hukum, dapat dilihat dari bagaimana kemampuan hukum itu sendiri untuk menguraikan bahasa unsur-unsur norma di dalamnya, memvalidasi subyek dan obyek hukum yang terkait, dan memprediksi potensi-potensi pemberlakuan satu norma hukum. Tanpa hal tersebut, hukum akan menjadi gamang dan tidak jelas.
Sayangnya, hari ini di tahun 2017 kita menemukan bahwa hukum modern Indonesia justru semakin mundur dan tak terlihat ajeg. Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas) sebagai suatu produk hukum Indonesia modern, menampilkan suatu kualitas produk hukum yang rendah dan tak bermutu.
Ini terlihat dari klausul Pasal 59 ayat (3) Perppu Ormas, dimana disebutkan “Ormas dilarang melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia”. Dari segi substansi, ia merupakan turunan norma dari Pasal 156a KUHP maupun UU/PNPS/No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Sama seperti Pasal 156a KUHP maupun UU/PNPS/No. 1 Tahun 1965, Perppu Ormas Pasal 59 ayat (3) tidak menjelaskan secara rigid apa yang dimaksud dengan “penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama”. Apa itu “penyalahgunaan”, “penistaan”, “penodaan”, dan apa itu “agama”, tidak dijelaskan dalam Pasal 156a KUHP, UU/PNPS/No. 1 Tahun 1965, maupun Perppu Ormas Pasal 59 ayat (3).
Juga dalam Perppu Ormas Pasal 59 ayat (3), yang menyebutkan: Ormas dilarang melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial. Aturan ini tidak menjelaskan dengan detail apa yang dimaksud dengan “mengganggu ketentraman dan ketertiban umum”.
Penggunaan klausula ini sangatlah multitafsir, dan rawan ditafsir sewenang-wenang rezim penguasa untuk mengamankan kekuasaannya dan memberangus lawan politiknya. Ini karena tidak ada definisi yang baku dengan apa yang dimaksud “mengganggu ketentraman dan ketertiban umum”.
Misalnya ada organisasi petani melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut keadilan bagi lahan tani-ruang hidupnya yang dirampas oleh korporasi. Gerakan petani tersebut dapat saja diberangus oleh rezim, karena dianggap “mengganggu ketentraman dan ketertiban umum”.
Di era orde baru, pasal-pasal seperti ini –yang juga diatur di KUHP- banyak digunakan oleh rezim untuk memberangus gerakan mahasiswa, kerakyatan, buruh dan tani. Tidak main-main, rezim penguasa kala itu memberikan sanksi dari penjara, penculikan, bahkan hingga pembunuhan.
Perppu Ormas Pasal 59 ayat (4) pun mengulangi kesalahan yang sama, yang didalamnya menyebutkan “Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.” Ketentuan ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “menganut”, “mengembangkan”, “menyebarkan”, dan “bertentangan dengan Pancasila”.
Sekalipun pada bagian penjelasan Perppu Ormas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila’ antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, fatalnya lagi bagian penjelasan Perppu ini terus mengulangi kesalahan yang sama.
Ia tidak menjabarkan secara definitif apa yang dimaksud dengan “atheisme”, “komunisme/marxisme-leninisme”, atau “paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila”. Padahal terma-terma diatas, adalah terma yang terus berkembang dan terus diperdebatkan hingga saat ini. Di ranah studi filsafat, politik, atau sosiologi, terma-terma diatas menjadi bahan pembahasan yang sangat beragam.
Terma-terma yang masih terus berkembang dan menjadi bahan perdebatan tersebut, pada akhirnya tak mampu diakomodir oleh aturan hukum yang serba terbatas dan harus spesifik. Apalagi, dalam kenyataannya terma-terma tersebut menyangkut pada suatu gagasan/ide, yang selama ia mengendap di alam pikiran seseorang, mustahil untuk dihilangkan dan diberangus.
Inilah mengapa, pemidanaan suatu gagasan/ide, selain ia adalah upaya pemberangusan hak asasi manusia, juga menyisakan problem teknis seperti tidak adanya indikator yang jelas untuk memetakan suatu gagasan tersebut secara spesifik dan mendetail. Apalagi dalam konteks Perppu Ormas 2017 itu sendiri, pembuktian suatu gagasan bertentangan atau tidak dengan Pancasila dan UUD 1945 dilakukan secara sepihak dan subyektif oleh pihak Pemerintah Eksekutif, mekanisme dialog-pembuktian berimbang seperti Pengadilan (Yudikatif) justru dihapus.
Akibat tidak ada indikator yang jelas untuk menjabarkan terkait klausula-klausula hukum diatas –seperti klausula mengenai paham/gagasan tertentu-, menyebabkan penalaran hukum yang gamang ketika membaca aturan pasal tersebut. Pada kelanjutannya, ia akan mengakibatkan praktik hukum yang berbahaya dan semakin tidak jelas. Akibatnya, pasal hukum tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang tanpa acuan tafsir yang memadai dan terang.
Hal ini mengulangi tragedi pasal-pasal karet yang tercantum di KUHP, UU ITE, dan aturan hukum lainnya, dimana pasal-pasal karet dalam peraturan hukum tersebut acapkali digunakan secara serampangan yang berujung pada kriminalisasi seseorang.
Pasal karet dalam Perppu Ormas, pun sejatinya selain bentuk ketidakmutuan hukum, juga bagian dari strategi Pemerintah untuk menghadirkan kembali hukum yang tak memiliki batasan definitif dan dapat digunakan sewenang-wenang kepada masyarakat sipil terdampak.
Selain bermasalah dari segi standar redaksional yang tepat bagi penalaran hukum yang pasti dan terukur, klausula pasal-pasal karet dalam Perppu Ormas 2017 tersebut tidak rekognitif atas norma-norma hak asasi manusia, dimana pasal-pasal yang dianggap usang dan bertentangan dengan hak asasi manusia, justru dihidupkan kembali pada Perppu Ormas.
Ini terlihat dari masih dipeliharanya produk hukum lama seperti delik penistaan/penodaan agama, hingga delik ideologi rezim despotik yang mengkerangkeng kebebasan berpikir, berpendapat, dan berekspresi. Perppu Ormas adalah cermin gambaran bagaimana rezim hendak menjadi sosok totaliter, fasis, dan serba panik, yang anti terhadap demokratisme dan gagasan alternatif.
Selain mengulang-ulang kesalahan produk hukum yang lama, Perppu Ormas membuat aturan hukum yang lama dan lainnya menjadi tambah bertumpang tindih. Hal ini tentu akan menjadi PR tambahan bagi para sarjana hukum Indonesia dalam menyelami semesta kerumitan hukum di Indonesia. []