Komparasi Negara dengan Korporasi seharusnya hari-hari ini menjadi tak relevan. Nilai-nilai yang dibawa kedua entitas organisasi tersebut selalu saja bertentangan. Memang Negara belajar good governance dengan mengadopsi nilai dari sektor privat seperti responsifitas dan fleksibilitas, dan korporasi pun belajar mengadopsi nilai good corporate governance dari Negara seperti etika bisnis. Namun perubahan besar tengah terjadi di depan mata kita, kedua entitas tidak bisa diperbandingkan begitu saja, bahkan mereka saling menyalahkan ketika terjadi double jeopardy (kegagalan ganda pemerintah dan pasar) misalnya kasus bailout di Amerika dan di Indonesia sendiri adalah kasus Bank Century.
Di sisi lain pembedaan negara dan bisnis ternyata bertolak belakang seperti blur-nya batas urusan publik dengan privat, urusan mana yang harus dikuasakan kepada negara, dan urusan mana saja sebuah negara harus lepas tangan. Derajat kebijakan publik kita belum berada pada aras yang tegas, apakah negara harus mengurusi semua, urusan yang mana, dan tanggung jawabnya seperti apa. Paradoks tersebut tentu mempengaruhi posisi negara dalam mempertanggungjawabkan segala keputusannya alias akuntabilitas. Tentu semakin kompleks dan tekanan bertubi-tubi kepada Negara membuat tantangan semakin berat, setiap kebijakan publik harus dipertanggungjawabkan dengan cara-cara yang selaras dengan besarnya beban tersebut, pasti ada jalan baru akuntabilitas.
Di Indonesia sendiri tanggung jawab berupa paper sebagai indikator utama, asalkan mendapatkan nilai A dan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) semua sudah dianggap beres padahal tiada jaminan 100% indikator paper formal membebaskan penyalahgunaan wewenang. Berbagai pelanggaran akuntabilitas masih marak, seperti korupsi dan kekerasan pada rakyat. Sejatinya segala bentuk paper akuntabilitas tidak dimaknai sebagai tanggungjawab paling sempurna, itu penting tapi tidak akan pernah cukup. Kita harus memahami konsep thick accountability dan thin accountability (Andrews, dkk, 2017), keduanya harus selaras, thick accountability tak hanya soal melaporkan pertanggungjawaban akan tetapi juga substansi dari pertanggungjawaban yang harus hadir dalam setiap entitas yang merepresentasikan negara, secara sosial dan politik, dengan pelaporan informal. sedangkan thin accountability memang hanya berupa pelaporan formal. Di Indonesia sendiri thick accountability amat lemah dengan sering disalahgunakannya jalur-jalur informal lubang dari aspek formal untuk membuat keuntungan pribadi dan kelompok, selain itu makna akuntabilitas pemerintah telah hilang substansinya hanya sebagai administrasi kertas-kertas laporan. Informalitas selalu dipandang buruk, padahal substansi Negara sendiri hadir secara informal dalam tiap-tiap sanubari rakyat, misalnya kecintaan kita pada tanah air.
Bovens (2005) sendiri memberikan esensi bahwa dalam akuntabilitas terdapat forum, aktor dan sanksi. Ketiganya dapat membentuk perdebatan tanpa henti untuk mempertanggungjawabkan sebuah kebijakan publik, akan tetapi ketiganya tidak akan hadir ketika akses ditutup seperti minimnya transparansi anggaran di daerah yang seharusnya dapat menjadi bom bagi rakyat untuk meledakkan kesalahan-kesalahan pemerintah daerah dan menuntut pertanggungjawabkan. Transparansi juga menjadi sumber daya penting untuk mencerdaskan rakyat, sebab dengan terbukanya pemerintah maka masyarakat akan semakin awas dan paham apa saja yang telah dikerjakan pemerintah, tidak hanya percaya pada sumber-sumber yang belum dicek validasinya.
Segala sesuatu yang dilakukan pemerintah harus ada pertanggungjawaban yang optimal, no hidden secret yang cenderung mengarah pada tindakan koruptif. Semakin masifnya pemberitaan media tentang pemerintahan juga harus disikapi oleh pemerintah dengan membuka diri. Meskipun kini uji coba kebijakan publik menjadi tren baru dalam pemerintahan kita, testing the water memang diperlukan akan tetapi jalan untuk menuju eksperimen tentu tidak boleh sembarangan, pilihan melanjutkan kebijakan ataupun menghentikan kebijakan juga harus jelas akuntabilitasnya.
Memikirkan cara-cara baru yang lebih powerfull untuk menguatkan akuntabilitas pemerintah haruslah dipikirkan bersama. Kita memang punya sedikit kasus-kasus mikro pembukaan jalan baru akuntabilitas secara informal seperti trend blusukan para pejabat, bahkan ada yang sampai melakukan penyamaran dan dokumentasi online rapat-rapat kerja pemerintah tanpa dipotong durasinya sedikitpun. Setiap kebijakan ditelurkan harus jelas penyampaiannya, pemerintah dalam model akuntabilitas baru dilarang untuk reaktif menanggapi reaksi publik. Model pertanggunjawaban forum disertai dengan perdebatan kritis mungkin menjadi dalam pemerintahan desa dengan dana desa saat ini. Tak perlulah pemerintah terlalu memikirkan regulasi-regulasi yang ternyata dapat diakali, serahkan pada kekuatan massa desa untuk memberi sanksi sebelum terjadi pelanggaran akuntabilitas, bahkan sanksi sosial terkadang lebih efektif. Mereka dapat mencegah pelanggaran akuntabilitas untuk menghadang korupsi. Bahkan dengan cara-cara yang informal khas masyarakat desa tanpa mengenal legalitas hukum seperti diskusi warung kopi.
Pemerintah dan rakyat harus bekerjasama untuk menguatkan akuntabilitas, inisiasi open government patut kita apresisasi akan tetapi jangan sampai kita semua lemah dalam substansi dan hanya fokus pada prosedur. Hasil akhir dari penemuan jalan baru akuntabilitas tentu adalah rendahnya penyalahgunaan wewenang karena semua dapat dipertanggungjawabkan. Akuntabilitas anggaran adalah yang paling urgen, kita memang harus percaya kepada KPK untuk memberantas korupsi akan tetapi hanya mengandalkan KPK tidak akan pernah cukup. Di tengah diserangnya KPK saat ini tentu kepedulian kita harus diuji dengan kewajiban mulai menggelitik entitas Pemerintah Daerah kita untuk terus membuka anggaran mereka dan bukan menjadi barang tabu untuk diperdebatkan.
Referensi
Andrews, Matt, Lant Pritchett, & Michael Woolcock.2017, Building State Capability: Evidence, Analysis, Action. Oxford University Press: United Kingdom.
Bovens, Mark. 2005, Public Accountability: A Framework for the Analysis and Assessment of Accountability Arrangements in the Public Domain, Adapted and Extended version of chapter on public accountability which will be published in E. Ferlie L. 2005, The Oxford Handbook of Public Management. Oxford University Press: Oxford.