Saat masyarakat internasional terus menyudutkan militer Myanmar atas kekerasan terhadap etnis Rohingya beberapa hari terakhir, pemerintah Myanmar “membela diri” dengan menuding bahwa kelompok militan Rohingya sebagai biang dari kekacauan tersebut.
Penyerbuan tentara Myanmar ke desa-desa Rohingya diakuinya sebagai respons atas serangan simultan kelompok militan pada pos-pos polisi yang terjadi pada Jumat dini hari (25/8). Sejak itu, banyak wartawan konflik berusaha mengumpulkan informasi mengenai militan tersebut.
Namun, sayang, spekulasi tentang militan telah menyebar liar, baik itu dari pejabat Mynmar maupun media. Mereka mulai melabeli kelompok ini teroris yang dilatih Taliban Pakistan, menuduh punya agenda mendirikan “Negara Islam” (Islamic State of Burma), hingga tak sedikit yang mencurigai kelompok ini punya kaitan dengan gerakan jihad lintas negara seperti ISIS dan Al-Qaidah.
Setelah ramai dibicarakan, baru pada Senin (28/8) beredar di internet sebuah video pernyataan kelompok bernama ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army). Isinya mengecam kekerasan terhadap etnis Rohingya dan mengatakan militer Myanmar seharusnya hanya berurusan dengan ARSA, bukan dengan masyarakat sipil.
Pada laman resminya, dijelaskan bahwa kelompok militan ini dulunya bernama “Harakat al-Yaqin”, dalam bahasa Arab artinya Gerakan Iman. Zachary Abuza, penulis Forging Peace in Southeast Asia: Insurgency, Peace Processes, and Reconciliation, mengatakan Harakat al-Yaqin telah melancarkan pemberontakan hampir sepanjang bulan di tahun 2016 dan semester pertama tahun 2017.
Zachary berpandangan, pejabat Myanmar melabeli organisasi ini teroris karena nama Arab-nya dan pendirinya berasal dari dari Timur Tengah. Kemungkinan ini yang membuat kelompok ini menyematkan nama ARSA pada tahun 2017.
International Crisis Group (ICG), organisasi yang berpusat di Brussel yang misinya mencegah dan menyelesaikan konflik, dalam analisisnya menyatakan kelompok ini terbentuk setelah kekerasan terhadap komunitas Muslim Rohingya meningkat pada tahun 2012. Tahun-tahun berikutnya kelompok ini mulai mengorganisir diri dengan merekrut anggota dan mengadakan pelatihan dasar penggunaan senjata dan taktik gerilya.
Di samping itu, peserta secara khusus diberikan pelatihan merakit bom oleh veteran Rohingya yang berpengalaman. Sementara itu, berdasarkan laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pada bulan Juni, pemimpin kelompok ini mendapatkan bantuan pelatihan kelompok ekstremis Asia Selatan.
Pada 9 Oktober 2016, kelompok ini—saat masih bernama Harakat al-Yaqin—melancarkan operasi penyergapan terhadap pos-pos aparat keamanan Myanmar dan berhasil mengumpulkan banyak senjata untuk dibagikan kepada anggotanya. Serangan ini direspons pemerintah dengan menggelar operasi besar-besaran yang mengakibatkan puluhan ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Keberhasilan kelompok ARSA mengorganisir ratusan pemuda Rohingya tidak bisa dipisahkan dari figur “panglima” gerilyawan bernama Attaullah Abu Ammar al-Jununi, seorang putra Rohingya kelahiran Karachi Pakistan, dan dibesarkan di Mekkah, Arab Saudi.
Attaullah menghilang dari Arab Saudi pada tahun 2012. Ia tidak sendiri, ia pulang kampung halaman bersama dua puluhan orang Rohingya Arab Saudi untuk merintis perlawanan.
Hasil penelitian ICG menyebutkan, para gerilyawan, sekitar dua puluh orang Rohingya dari Arab Saudi termasuk Attaullah, berinteraksi dengan pemimpin setempat dalam waktu yang lama. Mereka tinggal dengan penduduk lokal, tidak seperti para pemimpin kelompok perlawanan Rohingya di masa lalu.
Beberapa sesepuh desa yang telah mengamati aktivitas Attaullah mengatakan, mereka terkesan dengan dedikasi, ketulusan, dan komitmen kuat yang dimilikinya. Akibatnya, Attaullah mendapatkan kepercayaan dan banyak dukungan dari penduduk desa.
Bagian penting dari kesuksesan Attaullah, masyarakat desa setempat mengatakan, Attaullah dan kedua puluh pemimpin telah memiliki kehidupan yang baik dan aman di Arab Saudi. Ini impian mayoritas orang Rohingya, namun mereka telah mengorbankan kehidupan nyaman tersebut dengan memilih tinggal di samping penduduk desa yang miskin, tanpa memakai sepatu atau pakaian bagus dan makan makanan yang sama.
Keberhasilan Attaullah memimpin ARSA dalam serangan pada Oktober 2016 membuat beberapa pemuda Rohingya berpandangan bahwa kelompok seperti inilah yang selama ini mereka cari, kelompok yang tidak dimiliki pada generasi ayah dan kakek mereka.
Serangan Oktober juga telah menarik perhatian sebagian besar diaspora Rohingya di luar negeri. Beberapa negara dengan diaspora Rohingya yang signifikan, yaitu Arab Saudi, Dubai, Pakistan, India dan Bangladesh. Sepertinya sangat tidak mungkin bila mereka tidak memanfaatkan jaringan diaspora tersebut untuk mendapatkan sumber-sumber dana yang lebih besar dari luar negeri.
Attaullah setiap kali tampil di video ARSA selalu berbicara dengan bahasa Rohingya, bukan Arab (meskipun ia menguasainya). Hal ini menunjukkan bahwa ARSA memang ingin menjangkau diaspora Rohingya. Di salah satu video, ia secara terbuka meminta dukungan diaspora Rohingya untuk ARSA, seraya menghimbau mereka untuk mematuhi dan taat pada hukum setempat di negara-negara di mana mereka tinggal.
ARSA tampaknya ingin menghindari label teroris, menunjukkan organisasi yang independen, lahir dari komunitas Rohingya, dan tidak berhubungan dengan organisasi jihad lintas negara mana pun.
Jadi, keberadaan ARSA adalah fakta bahwa di Rakhine telah hadir gerilyawan bersenjata Rohingya yang terorganisir. Kelompok ini jauh daripada sebuah gerakan yang terkait dengan kelompok jihad global (ISIS atau Al Qaidah), tidak ada indikasi mereka memperjuangkan syariah, apalagi mendirikan Negara Islam. Mereka adalah gerakan etno-nasionalis seperti kelompok etnis lainnya, yang berusaha mendapatkan kekuatan politik yang sah melalui pertempuran gerilya seperti etnis Kachin dan Karen.