Nama militan yang pertama kali muncul di benak kebanyakan orang saat kekerasan terjadi di Afghanistan adalah Taliban. Akan tetapi, sejak Amerika Serikat menjatuhkan bom non-nuklir seberat 11 ton yang dijuluki “Mother of All Bombs” ke daerah Nangarhar yang menjadi basis Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) pada April lalu, semua mulai bertanya-tanya tentang aktivitas kelompok tersebut di Afghanistan.
Afghanistan memiliki sejarah peperangan yang panjang dan melelahkan. Negeri ini ibarat kampus jihadis mancanegara. Abu Mus’ab al-Zarqawi, bapak bangsa ISIS, terekam pernah berpetualang ke Afghanistan; mengikuti serangkaian pelatihan di kamp-kamp jihad di sana. Hingga akhirnya ia bertolak ke Irak meniti karir jihadis dengan membentuk organisasi ekstremis yang kini dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi.
Kaum ekstremis di Afghanistan mulai terlihat menunjukkan kesetiaannya kepada kekhalifahan Abu Bakar al-Baghdadi pada tahun 2014. Namun, baru pada awal tahun 2015 kehadirannya diumumkan secara resmi beroperasi dengan nama “ISIS Wilayah Khurasan” (Islamic State Khorasan Province). Khurasan adalah nama kuno untuk menyebut suatu kawasan yang membentang meliputi sebagian wilayah negara Afghanistan Pakistan dan Iran.
Munculnya ISIS telah menandai babak baru konflik di Afghanistan yang semakin kompleks. Pemerintah Kabul dan Washington kini dipaksa harus menghadapi jenis kelompok baru di satu sisi, dan mengatasi militan “tuan rumah” Taliban di sisi yang lain.
Militan “Tamu”
Provinsi Nangarhar, yang berbatasan dengan Pakistan, telah lama menjadi tujuan pelarian penduduk negara tetangga menghindari operasi besar bertahap yang dilakukan militer Pakistan membasmi militan TTP (Tahrik-e Taliban Pakistan) sejak tahun 2010. TTP adalah kelompok brutal yang namanya mendunia setelah gagal menembak mati aktivis Malala Yousafzai.
Berangkat dari empati persaudaraan sesama etnis Pastun, penduduk lokal menyambut kaum yang menyebut dirinya muhajirin ini bermukim. Namun, kaum muhajirin di Nangarhar ini rupanya lebih dari sekadar warga sipil yang membutuhkan bantuan kemanusian, mereka diam-diam membawa senjata dan menunjukkan kesetiaan pada TTP.
Pada November 2013 terjadi perpecahan hebat dalam jajaran TTP setelah kematian Hakimullah Mehsud, pemimpin kelompok tersebut. Kematiannya membuat militan muhajirin di Nangarhar berubah menjadi faksi otonom.
Borhan Osman, peneliti gerakan ekstremis di Afghanistan Analyst Network yang bermarkas di Kabul mengungkapkan, butuh waktu beberapa bulan bagi penduduk setempat untuk memahami siapa sebenarnya “tamu” mereka ini. Baru pada Mei 2015, mereka terbangun setelah para “tamu” terang-terangan membawa bendera ISIS.
Militan tersebut menjadikan Mamand di Nangarhar sebagai markas besar ISIS. Mamand adalah sebuah daerah bergunung-gunung, yang sulit ditaklukkan bagi orang luar namun menyediakan rute logistik dan jalan keluar yang mudah.
Penduduk setempat mengingat ketika awal-awal kehadiran ISIS semua aktivitas berjalan normal, sekolah pemerintah tetap buka, dan orang bekerja seperti biasa. Hal ini menambah persepsi masyarakat yang menganggap kehadiran “lebih baik” daripada Taliban. Mereka menyediakan makanan dan tempat tinggalnya sendiri. Taliban, sebaliknya, meminta–atau mengambil–dari penduduk. Satu-satunya perubahan kebijakan utama ISIS yang mempengaruhi kehidupan masyarakat adalah pelarangan budidaya opium.
Taliban sebenarnya memperhatikan gerak-gerik gerilyawan di Nangarhar yang makin mencurigakan seiring ISIS di Irak mengumumkan kekhilafahan pada Juni 2014. Namun, pada awal Juli 2015, serangkaian “pemberontakan rakyat” melawan ISIS yang dimobilisasi Taliban meletus.
Peristiwan tersebut menandai pergeseran pendekatan Taliban terhadap kelompok pesaingnya ini. Taliban militan yang bermazhab Hanafi (Deobandi) dengan cepat membersihkan jajarannya di lapisan bawah yang mulai goyah dan terindikasi bersimpati ke ISIS. Ini mengingat fakta di lapangan rata-rata komandan dan militan kecil aliansi Taliban yang beraliran salafi banyak yang membelot ke ISIS.
Dalam beberapa kasus bentrokan, Taliban dengan mudah melumat ISIS, kecuali di sekitar Nangarhar. Di daerah ini peperangan sering berakhir tanpa kemenangan, kedua kubu saling melakukan pemberontakan balasan dan bertindak brutal kepada warga sipil yang dicurigai sebagai kolaborator.
Tema Propaganda
Kekhawatiran Taliban terhadap ISIS antara lain karena memiliki citra “lebih muda dan lebih radikal”, punya banyak media dan dana lebih baik. ISIS mengungguli Taliban dalam hal kualitas dan keragaman media yang dipilihnya, serta keaktifan para loyalisnya dalam mempromosikan pesan organisasi.
ISIS menggunakan platform media yang paling populer di negara ini, yakni radio (mengingat tingginya angka buta huruf di negara ini). Stasiun radio ISIS, Khilafat Ghag (Suara Khilafah) mengudara di sebagian besar Provinsi Nangarhar dan Kunar.
ISIS mempekerjakan tim penyiar dan reporter yang menghasilkan laporan kemajuan militer dan kehidupan di bawah kekhalifahan dengan melibatkan audiensnya. Reporter mewawancarai para pejuang, berbicara dengan penduduk setempat, dan mencatat laporan yang menampilkan kehidupan di bawah kekhalifahan. Bahasa yang digunakan penyiar sangat cepat, energik dan fokus menarik pendengar dan anggota baru.
Sementara itu, radio milik Taliban, De Shariat Ghag (Suara Syariah), seringkali hanya memutar nasyid (lagu yang dimainkan tanpa iringan instrumental) berbahasa Pastho dan penyiar hanya membaca artikel yang sudah diposting di website-nya.
Tema penting dalam seruan perekrutan ISIS Afghanistan adalah penekanannya pada status khusus Khurasan. Seperti yang digambarkan dalam literatur jihad akhir zaman (apokaliptik). Ideolog ISIS Afghanistan terus-menerus mengacu pada narasi akhir zaman yang dikaitkan dengan sabda Nabi, yang meramalkan kemenangan yang menentukan bagi pembawa bendera hitam dari Khurasan saat dunia bergerak menjelang akhir zaman.
Penggambaran ini seirama dengan permainan narasi apokaliptik global ISIS, di mana kelompok tersebut menggambarkan dirinya sebagai pembawa panji hitam dalam episode terakhir perang suci.
Sebagai organisasi yang mengklaim khilafah, dan kini beroperasi di wilayah yang secara historis disebut Khurasan, hal ini telah membuat cabang ISIS di Afghanistan memiliki makna simbolis dan ideologis lebih menonjol dibanding cabang-cabang ISIS lainnya. Intinya, ISIS berupaya menggambarkan kepada calon pengikut bahwa tanah Khurasan (Afghanistan) sebagai medan pertarungan yang sangat diberkati dan teater jihad yang sangat berharga.
Ini menjadi tantangan berat bagi pemerintah Afghanistan dan AS. Apakah mereka mampu membuktikan sumpahnya yang akan mengakhiri keberadaan ISIS pada tahun ini. Sementara itu, sejarah mencatat mereka terbukti mandul mengalahkan gerilyawan Taliban selama perang 16 tahun.
Baca juga:
Al-Baghdadi Sang Khalifah ISIS