Begitu kaget saya melihat bagaimana tulisan Om Budi Setiawan mengenai perihal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam kasus dokter Fiera Lovita. Entah mengapa tulisan semacam itu bisa nongol tanpa didasari oleh pengetahuan mumpuni akan organisasi profesi dokter tersebut.
Ketika Om Budi Setiawan mengambil data dari Facebook, idealnya dia melakukan proses klarifikasi yang berimbang. Sebagai seorang pemerhati sosial, Om Budi seharusnya lebih tahu bagaimana banalnya dunia media sosial. Yang di dalamnya realitas dan hiperealitas melebur.
Apalagi dengan statusnya sebagai seorang pengamat sosial dan kerap menulis di salah satu media opini terbaik di Indonesia! Ah, saya pikir Anda tahu itu.
Salah satu kesalahan paling fatal adalah pada pernyataan, sebagaimana diketahui, PB IDI digugat oleh anggotanya sendiri sebagai bukan satu-satunya organisasi profesi dokter dan dokter gigi.
IDI adalah organisasi yang menaungi profesi dokter umum, bukan dokter gigi. Dokter gigi—dalam hal ini saya—bernaung di bawah organisasi profesi dokter gigi bernama PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia).
Lebih dari itu, saya akan menguraikan bagaimana “cacat” berpikir Om Budi Setiawan dari tulisannya.
Bukan Soal Solidaritas Profesi
Harus diketahui bahwa IDI adalah organisasi profesi yang menaungi para dokter se-Indonesia perihal profesinya seperti terdapat dalam tujuan organisasi ini dalam AD/ART-nya. Yakni, memadukan segenap potensi dokter Indonesia, meningkatkan harkat, martabat dan kehormatan diri dan profesi kedokteran, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, serta meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia menuju masyarkat sehat dan sejahtera.
Perlu dilihat bahwa organisasi profesi dokter resmi se-Indonesia ini berurusan dengan persoalan seorang dokter dari profesinya. Lantas yang jadi pertanyaannya apakah permasalahan dokter Fiera Lovita sehubungan dengan profesi dia sebagai dokter?
Permasalahan dokter tersebut adalah permasalahan pilihan politik. Bukan permasalahan seputar kode etik profesi. Hak politik adalah individu. Pilihan politik dan pilihan dokter tersebut untuk meng-share-kan gagasannya di media sosial bukanlah ranah organisasi profesi—sekalipun saya sepakat bahwa penyerangan dan teror terhadap dokter Fiera adalah pelanggaran sebagai warga negara. Hal yang sama terjadi pada dokter Otto Rajasa.
Dalam status-status Facebook orang-orang yang menyerangnya dapat terlihat jelas bahwa apa yang dipermasalahkan bukanlah karena seputar tugas dan perannya sebagai dokter.
Saya kira mungkin Anda perlu menelusuri lagi lebih dalam dalam search engine Facebook Anda. Semisal ketika Anda mengetik dengan keyword Fiera Lovita dan Sejawat. Anda dapat melihat bagaimana dukungan para sejawat profesinya dalam mendukung rekanannya yang dinistakan—lagi-lagi ini bukan soal profesinya sebagai dokter.
Dokter Bhinneka Tunggal Ika dan PDIB
Perlu dilihat juga bagaimana Dokter Bhinneka Tunggal Ika dan PDIB. Dalam hal ini, Om Budi seakan memposisikan keduanya dalam satu frame gerak. Padahal keduanya berbeda. Silakan Anda lihat bagaimana pernyataan Ketua Umum Pengurus Pusat Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu, Dr. James Allan Rarung, Sp.OG, M.M dalam siaran persnya (https://doktersiaga.com/blog/view/pengurus-pdib-kami-bukanlah-bagian-dari-gerakan-dokter-bhinneka-tunggal-ika)
Melihat adanya perbedaan persepsi tersebut kiranya siapa pun perlu melihat banyak hal. Tidak semata-mata konflik identitas dan pilihan politik. Seperti halnya kontroversi akan dokter layanan primer (DLP) ataupun seperti halnya sertifikasi dokter (https://news.detik.com/berita/d-3327803/demo-tolak-dokter-layanan-primer-idi-ancam-mogok-nasional)
Mengenai gerakan yang akan dilakukan para sejawat yang melakukan aksi pada 1 Juni mendatang, saya pikir itu hak-hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Aksi tersebut masih belum terklarifikasi dan masih perlu dikonfrimasi. Setahu saya, tiada satu pun portal media menyiarkan berita mengenai rencana tersebut. Hal yang sama diutarakan oleh dr. Daeng M. Faqih selaku Ketua Umum PB IDI saat saya hubungi kemarin pagi (29/5).
Untuk itu, kita mungkin perlu melihat secara jernih bagaimana seharusnya organisasi profesi bertindak. Organisasi profesi seperti IDI memang harus berada di relnya untuk memperjuangkan terlaksananya kode etik oleh dokter.
Terlepas dari kasus yang menimpa dokter Fiera Lovita itu bukan di ranah profesi, dr. Daeng menyatakan bahwa IDI senantiasa mengawal proses yang melibatkan anggotanya. Dia menambahkan, “Namun setiap ada masalah terhadap dokter, baik masalah dalam rangka keprofesian maupun masalah personal sebagai warga negara, IDI selalu melakukan komunikasi dan pemantaun terhadap bersangkutan. Memberikan bantuan sesuai permintaan yang bersangkutan (baca: dr. Fiera) dan sesuai batas kewenang yang dimiliki IDI sebagai organisasi profesi.”
Beberapa dokter yang semisal melakukan diskriminasi dan stigma terhadap ODHA dan LGBT atau yang tiba-tiba menolak pasien BPJS dengan alasan “riba” lebih riskan menggoyang para dokter ketimbang isu-isu yang terkait politik. Kini, yang lebih penting bagaimana agar tidak terseret arus politik identitas yang kiranya sudah memorak-porandakan tatanan kebangsaan hari ini.
Saya yakin hari ini para dokter masih sepakat dengan sumpah Hippocrates, bahwa tugas dan perannya berada di jalan kemanusiaan tanpa memandang pilihan politik dan SARA.
Yang lebih penting bagaimana lebih cermat dan senantiasa melakukan verifikasi dan konfirmasi terhadap segala status dan postingan di media sosial. Apalagi yang potensial memantik konflik-konflik yang kiranya bisa memecah belah.
Baca juga