Presiden Joko Widodo telah menyampaikan pidatonya mengenai isu perubahan iklim dan lingkungan pada perhelatan Conference of Parties 21 di Paris, Perancis. Namun, isi pidato yang disampaikan Presiden tersebut dinilai sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Riau, Riko Kurniawan, mengatakan dalam pidatonya, Presiden menyampaikan beberapa hal penting terkait isu lingkungan, termasuk kasus kabut asap. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus mengupayakan penanganan perubahan iklim.
“Namun justru fakta yang terjadi, pemerintah masih terus melakukan kegiatan pembangunan yang memiliki risiko tinggi terhadap perubahan iklim,” katanya melalui keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Selasa (1/12).
Dia menjelaskan, kesadaran kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim ini menjadi penting. Terlebih kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah laut yang mencapai dua pertiga dari luas wilayah daratannya, rentan terjadi perubahan iklim, khususnya pulau-pulau kecil.
“Namun, di tengah kerentanan itu, justru pemerintah membiarkan dan terus mengeksploitasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan pembangunan yang tidak ramah lingkungan,” tuturnya.
“Itu seperti konversi lahan yang masih terus terjadi. Berbagai proyek reklamasi terus dilakukan dan pulau-pulau kecil diserbu industri tambang dan perkebunan kelapa sawit.”
Selain itu, sebagaimana yang tercantum dalam INDC Indonesia, Presiden menyampaikan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi dalam aksi global dengan menurunkan emisi hingga 29% melalui business as usual sampai 2030, dan 41% dengan bantuan internasional. Hal ini merupakan langkah keliru.
Walhi telah mengkritik INDC Indonesia tersebut. Sebab, dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, emisi yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan tidak dihitung. Padahal, sumber emisi di Indonesia sebagian besar terjadi dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan atau land use land use change and forestry (LULUCF).
“Sejak awal, pemerintah Indonesia seharusnya mengukur ulang batas minimum emisi itu dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu prioritas yang paling mendasar.”
Lebih lanjut, kata dia, upaya pemerintah melakukan moratorium dan meninjau izin pemanfaatan lahan gambut pada situasi seperti saat ini tidak memiliki kekuatan signifikan. Sebab, kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Inpres No. 8 Tahun 2015 sangat lemah, terlebih hingga kini tak ada perubahan terhadap perizinan lama dan penegakan hukum.
Belum lagi jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia yang termuat dalam RPJMN 2015-2019 seperti di sektor energi. Pembangunan 35 ribu megawatt yang sebagian besar masih mengandalkan batu bara itu sangat kontradiktif. Pasalnya, batu bara merupakan energi kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia.
“Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29% pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batu bara justru meningkat 2 kali lipat. Dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024. Artinya, komitmen yang disampaikan oleh Presiden meragukan,” kata Riko.