Beberapa alasan penolakan saya sangat sederhana.
Pertama, ada unsur manipulatif dalam memutuskan jenis kelamin proyek ini.
Bapak Presiden dan para menteri berulang-kali mengatakan kereta cepat itu adalah proyek swasta murni, tidak ada kaitannya dengan dana publik (APBN). Tapi, melihat antusiasme dukungan Bapak dan kabinet kepada proyek itu, juga keterlibatan perusahaan negara (BUMN) dalam konsorsium, sulit bagi saya melihat proyek itu swasta murni.
Secara langsung memang tidak ada dana APBN di situ. Tapi, bukankah negara membiayainya lewat penyertaan modal ke BUMN?
Saya menduga, Bapak menyebut itu proyek swasta murni karena Bapak sendiri sadar bahwa proyek itu memang tidak punya urgensi publik. Bapak secara tak langsung mengakui bahwa proyek mahal itu bukan merupakan prioritas publik, atau kecil kandungan maslahatnya bagi publik.
Di mana letak manipulatifnya? Pemerintah menyebut itu proyek swasta supaya tidak harus mempertanggungjawabkannya secara publik. Presiden dan menteri menyebut itu “swasta” untuk berlindung dari tuntutan akuntabilitas publik.
Di sisi lain, bahkan jika benar itu dana swasta murni, dukungan antusias pemerintah kepada kepentingan investor swasta, domestik maupun asing, sangat kental berbau kolusi.
Kedua, keterlibatan swasta dalam sistem transportasi publik lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya.
Saya tidak serta-merta anti terhadap inisiatif swasta dan investasi swasta. Tapi, kepentingan swasta harus ditempatkan pada sektor-sektor yang bukan menyangkut kepentingan publik luas, termasuk di dalamnya transportasi publik seperti kereta.
Sistem transportasi publik harus didanai lewat anggaran publik. Jika swasta yang mendanai, namanya sistem transportasi privat. Transportasi publik harus nyaman sekaligus affordable (murah); orang kaya maupun miskin menikmati sistem yang sama. Ini hanya terwujud jika sistemnya publik, bukan private for-profit. Sistem privat, sebaliknya, mendorong segregasi sosial; hanya orang kaya (seperti saya) yang bisa menikmati.
Bahkan sistem tarif kereta api sekarang saja, menurut saya, sudah tidak adil. Kereta api telah menjadi kendaraan yang terlalu elitis. Saya biasa naik kereta api Jakarta-Purwokerto bolak-balik. Hanya 5 dari 22 kereta jalur itu yang harga tiketnya di bawah Rp 100.000, harga rata-rata tarif bus malam dengan jurusan sama. Sebagian besar sudah mendekati harga tiket pesawat. Sebagai orang kaya, saya tak terlalu keberatan. Tapi, kadang saya berpikir, bagaimana orang-orang yang tidak seberuntung saya?
Bahkan ketika diserahkan ke perusahaan negara, transportasi kereta dikelola seperti layaknya perusahaan swasta.
Ketidakadilan dan ketimpangan dalam pelayanan transportasi publik akan makin parah dengan kehadiran kereta cepat, yang memanjakan investasi/kepentingan swasta menangguk laba.
Menyerahkan urusan transportasi publik ke swasta akan membawa masalah baru, apalagi membiarkan swasta/privat mendefinisikan sistem transportasi. Transportasi justru makin ruwet, makin macet, sementara pemerintah kehilangan kendali untuk melayani dan melindungi rakyatnya. Bukankah ini berlawanan dengan Nawacita, janji kampanye Pak Jokowi, yang salah satunya menyebutkan negara harus hadir?
Ketiga, kereta cepat bukan prioritas.
Pemerintah sendiri mengakui itu dengan menyebutnya sebagai proyek swasta murni. Saya memang sering mendengar pemerintah mengeluh kekurangan uang untuk membangun infrastruktur; salah satu dalih mendatangkan investor swasta. Jika itu soalnya, pemerintah harus mengakui bahwa kita memang benar-benar negara miskin. Dan sebagai negara miskin, kita harus mendahulukan sistem transportasi publik yang paling elementer dan esensial bagi sebagian besar rakyat.
Banyak infrastruktur transportasi di pulau-pulau lain, juga transportasi laut antar pulau, masih jauh dari memadai, apalagi aman dan nyaman. Bahkan di Jawa saja, khususnya di desa-desa, transportasi barang dan manusia masih menghadapi banyak masalah.
Keempat, kereta cepat akan memicu ketimpangan yang makin lebar, antara kota dan desa di Jawa sendiri, antara Jawa dengan luar Jawa.
Proyek kereta cepat hanya merupakan kedok dari proyek perluasan real-estate, yang meminggirkan sektor pertanian dan perkebunan; memicu naiknya harga tanah dan mempermiskin rakyat kebanyakan.
Tak hanya potensial memicu keresahan sosial, ketimpangan akan memicu urbanisasi. Kereta cepat akan menggenapkan penyatuan Jakarta-Bandung menjadi metropolitan besar, sekaligus menjadikannya magnet besar urbanisasi. Alih-alih memecahkan kemacetan, kereta cepat justru memperburuk.
Kelima, saya tidak percaya investasi asing akan membawa maslahat.
Salah satu janji penting investasi asing adalah transfer pengetahuan dan teknologi, yang katanya akan membuat kita menjadi bangsa mandiri. Berkaca dari Freeport, investasi asing di pertambangan justru membawa kita pada ketergantungan berkelanjutan berpuluh tahun. Lihat pula Toyota, misalnya, investasi asing industri otomotif puluhan tahun tak membuat kita mandiri.
Itu semua cuma janji manis investor asing.
Jadi, Pak Jokowi, saya menolak proyek kereta cepat karena: dimulai dengan istilah yang tidak jujur (manipulatif); membiarkan swasta mendefinisikan transportasi publik yang membuat ruwet masalah dan mengebiri peran publik negara; itu bukan proyek prioritas; memicu ketimpangan; dan tak ingin negeri kita ditipu janji manis investasi asing.