Jumat, April 26, 2024

NUKLIR SERPONG (3)

Victor Rembeth
Victor Rembeth
Reader on Environmental Ethics and Philosophy – Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Board Member - Humanitarian Forum Indonesia.

Petugas PLTN memeriksa keadaan reaktor nuklir di Fukushima, Jepang. Reuters
Petugas Tokyo Electric Power (TEPCO) melakukan pemeriksaan rutin pada reaktor nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima, Jepang. REUTERS

Bencana Senyap Fukushima

Tentang cerita ketakutan tiada henti

 

Kaze ga fukeba okeya ga moukaru. Ini pepatah Jepang yang secara harfiah berarti “Ketika angin bertiup, maka penempa besi akan mendapatkan keuntungan”. Di balik makna harfiah ini, pepatah ini punya makna lebih besar: “Dunia ini terhubung satu dengan yang lain, kendati kelihatannya tidak demikian”.

Inti kalimat yang saat ini menjadi ujaran pengajaran di Jepang ini bercerita panjang tentang rantai ketergantungan satu dengan yang lain karena sebuah peristiwa yang tidak menguntungkan. Bumi ini tak bisa dipisahkan oleh batasan administratif ataupun limitasi lainnya ketika sudah harus berhadapan dengan dampak lingkungan dan bencana.

Sebuah kisah yang menjadi nyata dari pepatah itu terungkap kembali ketika dunia menyaksikan hebatnya dampak gempa Tohoku di Jepang pada 11 Maret 2011. Empat tahun setelah bencana dahsyat itu, hampir bersamaan dengan pelaksanaan “3rd World Conference on Disaster Risk Reduction” di Sendai, dunia menyaksikan sebuah keberhasilan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dampak gempa dan tsunami yang menyertainya.

Ya, pengembalian kondisi pada seperti keadaan awal sebelum bencana, menjadi buah bibir dan model praktik baik penanggulangan bencana yang mendekati sempurna.

Namun, gempa besar di pantai timur Jepang 2011 itu tak hanya menghantam dengan kekuatan natural hazards gempa dan tsunami yang berdaya rusak besar. Seperti kata pepatah Jepang di atas, yang menjadi secondary hazard, yaitu bahaya nuklir yang diakibatkan terdampaknya reaktor nuklir Fukushima Daiichi Power Plant, menjadi ancaman bencana yang terkait satu dengan yang lain.

Saat gempa dan tsunami terjadi, reaktor itu bukan hanya kehilangan cairan pendingin karena kerentanannya terhadap gempa, melainkan juga dihantam tsunami setinggi 14-15 meter yang merusak pasokan listrik daruratnya, pendinginan terhenti, dan mengakibatkan bahan nuklir meleleh.
Selanjutnya adalah kecelakaan utama mengikuti semua proses tersebut. Ketika zat hidrogen yang dibangun di dalam reaktor itu meledak. Ini mengakibatkan kerusakan besar yang menghantam bangunan reaktor tersebut dan mengeluarkan jumlah yang masif dari materi radioaktif dalam proses berikutnya.

Sebuah kombinasi bencana multi-hazards terjadi ketika bukan saja ancaman gempa dan tsunami yang menyatu, melainkan juga ancaman kegagalan teknologi mengakibatkan dampak yang lebih menakutkan.

Sayangnya pembangunan reaktor ini tidak menghitung potensi kerusakan maksimal karena tsunami. Sebagai pemilik reaktor, Tokyo Electric Power Co hanya menghitung potensi tsunami sampai 5,7 meter. Pada saat yang sama banyak orang telah bermukim di daerah reaktor itu berlokasi.

Awalnya, pembangunan dan operasi reaktor nuklir itu memang bisa terlaksana karena dipromosikan sebagai keuntungan bagi ekonomi lokal dan sumber energi yang efisien. Ada juga “bumbu-bumbu” dengan keyakinan keamanan yang memastikan bahwa “kecelakaan tidak akan pernah terjadi”.

Untuk alasan keuntungan yang ada dan mitos jaminan antikecelakaan, negeri yang pernah punya pengalaman traumatik dampak nuklir yang dahsyat akibat pemboman Hiroshima dan Nagasaki ini akhirnya memilih nuklir sebagai sumber energi.

Ketika bencana terjadi dan kecelakaan akhirnya menjadi kenyataan, mereka yang terdampak harus menanggungnya secara serius. Kehidupan menjadi berubah dan secara perlahan eskalasi kekhawatiran dan dampak menghantui menjadi bencana senyap yang berkepanjangan.

Data yang ada menyatakan, sampai September 2014, 3,5 tahun setelah bencana teknologi reaktor nuklir ini terjadi, sekitar 126 ribu jiwa masih hidup dalam pengungsian dan tak bisa kembali ke rumah mereka.

Jumlah itu hanyalah yang terhitung dalam Provinsi Fukushima. Pada kenyataannya masih banyak lagi warga yang mengungsi dari provinsi lain di Jepang timur yang tidak terdata. Kebanyakan mereka melakukan evakuasi mandiri karena dampak dari kecelakaan reaktor nuklir.

Ada banyak keluarga yang harus berpisah karena sang kepala keluarga masih bekerja dan mencari penghidupan di daerah terdampak. Adapun ibu-ibu dan anak-anak harus meninggalkan daerah itu dan hidup di daerah yang relatif aman.

Sebagai sebuah bencana senyap, kecelakaan reaktor nuklir di Fukushima ini bukan saja menimbulkan dampak hitungan konvensional yang lazim diklasifikasikan sebagai loss and damage. Keberlanjutan bencana senyap ini menimbulkan bencana lain yang sangat memprihatinkan dari kondisi yang disebut sebagai disaster related deaths atau indirect deaths.

Kematian ini bukan akibat langsung dari dampak ancaman bencana yang ada, tapi disebabkan oleh menurunnya kondisi kehidupan dan penghidupan saat para korban hidup di pusat-pusat pengungsian. Dari tiga provinsi yang terdampak, Fukushima punya angka tertinggi, yaitu 1.704 kematian, diikuti Miyagi 889 kematian, dan Iwate 441 kematian.

Tak bisa dimungkiri, kematian tidak langsung akibat bencana ini diakibatkan juga oleh mereka yang kehilangan harapan akibat terpaksa dievakuasi dari daerah yang terkontaminasi dan memilih bunuh diri. Di kota Koriyama, misalnya, siswa sudah tak dapat lagi bebas bermain di udara terbuka sepulang sekolah. Mereka mengalami pelemahan otot dan kehilangan keceriaan.

Di kota itu, berdasarkan data kesehatan penduduk, sebelum kecelakaan reaktor nuklir 11 Maret 2011, hanya ada 1 atau 2 anak dari 1 juta yang terkena kanker tiroid. Namun pada 2014 tercatat dari 300 ribu anak terdapat 112 yang menderita kanker tiroid. Meski pemerintah setempat meyakinkan bahwa tak ada dampak kesehatan terkait dengan kecelakaan reaktor nuklir itu, kekhawatiran orang tua atas masa depan anak-anaknya sangat masuk akal.

Ketakutan dan kekhawatiran tak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka yang masih bertahan di area terdampak. Selain kekhawatiran para orang tua terhadap kesehatan anak-anak mereka, masih ada berbagai ketakutan lain yang menghantui. Ketakutan akan bahan makanan yang terkontaminasi adalah yang paling tinggi menjadi keprihatinan penduduk setempat.

Seminggu setelah kejadian, materi radioaktif ditemukan pada susu segar dari sapi di Desa Litate. Hal yang sama juga terjadi pada sayur-sayuran yang dipanen. Tentu saja rantai ketakutan ini mempengaruhi ekonomi, karena semua produk dari daerah terdampak tak dapat lagi dipasarkan. Ketakutan konsumen akan kandungan radioaktif meluas bahkan sampai pada ikan tangkapan nelayan.

Ibarat pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”, penduduk di daerah terdampak bencana senyap ini kemudian bukan hanya hidup dalam ketakutan berkepanjangan. Mereka juga masuk dalam episode memprihatinkan, bagai terperosok dalam lingkaran kutukan tiada akhir.

Sebuah stigma baru menjadi tanda-tanda kehancuran masa depan dan hilangnya pengharapan, ketika area terdampak dikaitkan dengan kualitas penduduknya.

Seorang ibu menangis meratapi ketidakpastian masa depan anak-anaknya. Baginya, walau tidak terserang penyakit, anak-anaknya akan semakin sulit bertemu jodoh dari daerah lain yang tidak terdampak. Mereka tahu risiko terpapar berbagai penyakit akibat terinfeksi radiasi begitu tinggi bagi orang-orang yang hidup di area terdampak.

Kehidupan ekonomi yang sulit diperparah oleh stigma sosial berkepanjangan pasti tidak mudah mereka hadapi. Dan dampak pada kondisi kejiwaan pasti akan berpengaruh pada kualitas kehidupan para korban.

Petugas Tokyo Electric Power (TEPCO) melalukan pengecekan pada reaktor nuklir nomor 4 yang mengalami kebocoran di Fukushima, Jepang. Reuters/ Tomohiro Ohsumi
Reuters/ Tomohiro Ohsumi

Apa pelajaran berharga yang kita dapatkan dari bencana senyap Fukushima? Penilaian etis tak bisa dipisahkan begitu saja dari upaya penyediaan energi yang semula dipersepsi murah dan efisien seperti pembangunan reaktor nuklir. Pilihan-pilihan yang menyertai keputusan harus berfokus pada keamanan dan ketahanan masyarakat tempat sebuah reaktor digagas untuk dibangun.

Pilihan itu harus menjadi yang utama melampaui alasan lain –seperti kemudahan dan kemurahan. Di negeri yang punya kemiripan dalam menghadapi aneka ragam ancaman bencana seperti di Jepang, Indonesia harus diakui belum terbiasa dengan budaya ketangguhan dan keamanan yang dimiliki Jepang.

Tingkat dan variasi kerentanan masyarakat yang tinggi terhadap bencana sudah pasti akan meningkatkan risiko. Faktor non-teknis seperti kelalaian, korupsi, dan ketidakpatuhan pada tata ruang akan dengan mudah melipatgandakan dampak bencana Fukushima bila itu terjadi di Indonesia.

Tentu tak seorang pun baik warga masyarakat maupun pemimpin bijak di mana pun di dunia ini yang ingin menyengsarakan orang lain. Kecelakaan Fukushima bisa menjadi pembelajaran amat berarti sebelum kita mengundang risiko bencana masuk ke dalam ruang-ruang anak bangsa yang polos, tulus, dan pasrah.

Kita harus berpikir dalam kerangka kebijaksanaan kaze ga fukeba okeya ga moukaru. Bencana akibat radiasi nuklir akan dibawa angin, dibawa air, dan dibawa manusia, ke mana pun melewati batas-batas administratif.

Sesungguhnya banyak alternatif lain di luar PLTN untuk anak cucu Indonesia yang tangguh, berketahanan, dan sejahtera di negeri ini.

 

Victor Rembeth
Victor Rembeth
Reader on Environmental Ethics and Philosophy – Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Board Member - Humanitarian Forum Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.