Jumat, April 19, 2024

Keberadaan Indonesia di WTO Tidak Memberi Manfaat

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (keempat kiri) didampingi Menteri Luar Negeri Perdagangan dan Pariwisata Peru, Magall Silva (kiri), Dewan Umum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Shahid Bashir (kedua kiri), Menteri Perdagangan Indonesia, Gita Wirjawan (ketiga kiri), Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo (keempat kanan), Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa (ketiga kanan), Menteri Perdagangan dan Investasi Inggris, Lord Stephen Green (kedua kanan) dan Menteri Perdagangan dan Industri Rwanda, Francois Kanimba (kanan) ketika melakukan foto bersama usai pembukaan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 WTO di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC), Badung, Bali, Selasa (3/12). Pertemuan ke-9 menteri negara-negara peserta WTO secara resmi dibuka dan akan berlangsung hingga 6 Desember 2013. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/mes/13.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (keempat kiri) didampingi Menteri Luar Negeri Perdagangan dan Pariwisata Peru Magall Silva (kiri), Dewan Umum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Shahid Bashir (kedua kiri), Menteri Perdagangan Gita Wirjawan (ketiga kiri), Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo (keempat kanan), Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa (ketiga kanan), Menteri Perdagangan dan Investasi Inggris Lord Stephen Green (kedua kanan), dan Menteri Perdagangan dan Industri Rwanda Francois Kanimba (kanan) pada Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC), Badung, Bali, Selasa (3/12/2013). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/mes/13.

Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, mengatakan partisipasi Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tidak memberi manfaat, terutama pada petani.  Sebab, selama 20 tahun Indonesia bergabung, WTO tidak kunjung memberikan kesejahteraan kepada petani Indonesia.

“Yang terjadi adanya WTO justru malah menyuburkan liberalisasi perdagangan. Keberpihakan dan pola perdagangan yang diusung WTO hanya menguntungkan korporasi besar di sektor pertanian, bukan pada petani kecil,” kata Henry ketika ditemui Jakarta, Senin (14/12).

Dia mempertanyakan, salah satu tujuan dibentuknya WTO adalah untuk meningkatkan kesejahteraan negara-negara anggota, tidak terkecuali kalangan petani. Namun, faktanya yang terjadi justru sebaliknya. Petani lokal semakin miskin. Berdasarkan data yang dimilikinya, angka kemiskinan di kalangan petani meningkat menjadi 17,94 juta jiwa.

Henry menjelaskan, penurunan tingkat kesejahteraan petani ditunjukkan pada nilai tukar petani (NTP). Namun, selama dua dekade terakhir NTP tidak mengalami perubahan, yakni hanya di angka 102. Akibatnya, daya beli petani selama itu pula tidak mengalami peningkatan, lantaran petani tidak bisa menentukan harga sendiri ketika menjual produksi mereka.

Persaingan produksi lokal dengan impor, kata Henry, memang sangat ketat. Sebab, dari segi harga, misalnya, produk  impor memiliki banyak subsidi. Amerika Serikat, misalnya, memberikan subsidi sebesar US$ 130 miliar. Sementara Uni Eropa memberikan subsidi sebanyak US$ 109 miliar. Karena adanya subsidi itu, harga produk impor yang dijual bisa lebih murah ketimbang produk lokal.

“Dengan harga yang murah memicu produk impor lebih laris di pasaran. Masyarakat tentu lebih memilih produk dengan harga lebih murah untuk mereka konsumsi, tutur Henry. “Beberapa komoditas pangan yang dijual murah di antaranya kedelai, susu, jagung, gula, garam, dan beras.”

Oleh karena itu, Henry mendesak pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan, dapat bersikap tegas untuk mundur dari WTO. Kemudian, mencari mekanisme lain sebagai solusi untuk memperbaiki kesejahteraan petani dalam negeri. “Jika memang harus bergabung dalam organisasi dunia, sebaiknya memilih organisasi yang berada langsung di bawah PBB, bukan WTO.”

Sementara itu, Manager Riset and Monitoring Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, saat ini yang diharapkan dan ditunggu oleh masyarakat adalah ketegasan Presiden Joko Widodo untuk menolak WTO. Terlebih program Nawa Cita yang diusung Presiden Jokowi sangat jelas bertentangan dengan agenda perdagangan bebas yang diusung WTO.

“Kami sudah bertemu Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Dia berjanji akan memperjuangkan petani. Namun, tidak bisa 100 persen menggagalkan agenda WTO. Perlu ada kesepakatan lain,” katanya. “Ini sikap yang ambigu. Kemungkinan besar posisi Indonesia memang sangat lemah di WTO.”

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.