Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, mengatakan partisipasi Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tidak memberi manfaat, terutama pada petani. Sebab, selama 20 tahun Indonesia bergabung, WTO tidak kunjung memberikan kesejahteraan kepada petani Indonesia.
“Yang terjadi adanya WTO justru malah menyuburkan liberalisasi perdagangan. Keberpihakan dan pola perdagangan yang diusung WTO hanya menguntungkan korporasi besar di sektor pertanian, bukan pada petani kecil,” kata Henry ketika ditemui Jakarta, Senin (14/12).
Dia mempertanyakan, salah satu tujuan dibentuknya WTO adalah untuk meningkatkan kesejahteraan negara-negara anggota, tidak terkecuali kalangan petani. Namun, faktanya yang terjadi justru sebaliknya. Petani lokal semakin miskin. Berdasarkan data yang dimilikinya, angka kemiskinan di kalangan petani meningkat menjadi 17,94 juta jiwa.
Henry menjelaskan, penurunan tingkat kesejahteraan petani ditunjukkan pada nilai tukar petani (NTP). Namun, selama dua dekade terakhir NTP tidak mengalami perubahan, yakni hanya di angka 102. Akibatnya, daya beli petani selama itu pula tidak mengalami peningkatan, lantaran petani tidak bisa menentukan harga sendiri ketika menjual produksi mereka.
Persaingan produksi lokal dengan impor, kata Henry, memang sangat ketat. Sebab, dari segi harga, misalnya, produk impor memiliki banyak subsidi. Amerika Serikat, misalnya, memberikan subsidi sebesar US$ 130 miliar. Sementara Uni Eropa memberikan subsidi sebanyak US$ 109 miliar. Karena adanya subsidi itu, harga produk impor yang dijual bisa lebih murah ketimbang produk lokal.
“Dengan harga yang murah memicu produk impor lebih laris di pasaran. Masyarakat tentu lebih memilih produk dengan harga lebih murah untuk mereka konsumsi, tutur Henry. “Beberapa komoditas pangan yang dijual murah di antaranya kedelai, susu, jagung, gula, garam, dan beras.”
Oleh karena itu, Henry mendesak pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan, dapat bersikap tegas untuk mundur dari WTO. Kemudian, mencari mekanisme lain sebagai solusi untuk memperbaiki kesejahteraan petani dalam negeri. “Jika memang harus bergabung dalam organisasi dunia, sebaiknya memilih organisasi yang berada langsung di bawah PBB, bukan WTO.”
Sementara itu, Manager Riset and Monitoring Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, saat ini yang diharapkan dan ditunggu oleh masyarakat adalah ketegasan Presiden Joko Widodo untuk menolak WTO. Terlebih program Nawa Cita yang diusung Presiden Jokowi sangat jelas bertentangan dengan agenda perdagangan bebas yang diusung WTO.
“Kami sudah bertemu Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Dia berjanji akan memperjuangkan petani. Namun, tidak bisa 100 persen menggagalkan agenda WTO. Perlu ada kesepakatan lain,” katanya. “Ini sikap yang ambigu. Kemungkinan besar posisi Indonesia memang sangat lemah di WTO.”