Jumat, Maret 29, 2024

Jokowi dan Retorika HAM

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Seorang warga Rembang yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) saat mengikuti aksi mengawal putusan Mahkamah Agung yang membatalkan SK Gubernur Jateng Tahun 2012 tentang izin lingkungan penambangan oleh pabrik semen, di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (9/12). Mereka mendesak Gubernur Jawa Tengah agar segera mencabut izin lingkungan dan menghentikan proses pembangunan pabrik semen di Rembang. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/foc/16. *** Local Caption ***
Seorang warga Rembang yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mengikuti aksi mengawal putusan Mahkamah Agung yang membatalkan SK Gubernur Jateng Tahun 2012 tentang izin lingkungan penambangan oleh pabrik semen di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (9/12). Mereka mendesak Gubernur Jawa Tengah segera mencabut izin lingkungan dan menghentikan proses pembangunan pabrik semen di Rembang. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/foc/16.

Hari ini, 10 Desember 2016, dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Di Indonesia, kondisi hak asasi manusia sepanjang 2016 tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya: tak ada kemajuan, bahkan tercatat ada banyak kejadian yang menjadi catatan buruk bagi penegakan HAM.

Beberapa isu HAM yang mengemuka sepanjang 2016 adalah konflik agraria, kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berekspresi dan berpendapat, perlindungan bagi pembela HAM, dan hak atas persamaan di depan hukum.

Konflik Agaria
Konflik akibat pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, yang berlangsung sejak 2014 masih menjadi isu utama konfik agraria, yang menempatkan kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup berhadapan dengan kepentingan investasi dan korporasi.

Perjuangan petani Kendeng berjalan sangat dinamis. Sepanjang 2016, mereka konsisten menempuh upaya hukum di pengadilan, mengorganisir aksi damai dan kultural di antaranya aksi Sembilan Kartini yang menyemen kakinya di depan Istana Merdeka, dan berjejaring dengan akademisi.

Perjuangan mereka berbuah dengan dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung pada 5 Oktober 2016 dengan Nomor: 99/PK/TUN/2016 yang membatalkan izin lingkungan atas nama PT. Semen Indonesia.

Namun demikian, perusahaan tetap bersikukuh untuk membangun pabriknya di Kabupaten Rembang dan menyatakan siap beroperasi. Dukungan beroperasinya perusahaan juga datang dari Kementerian BUMN dan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun Presiden Joko Widodo telah meminta agar dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng. Padahal, dalam konsep negara hukum yang menjunjung tinggi rule of law, putusan pengadilan harus dihormati dan dilaksanakan.

Pun dengan proyek pembangunan infrastruktur yang digenjot di era Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 03/2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional, yang mengancam pemenuhan dan perlindungan HAM. Bentrok antara warga Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, dengan ratusan aparat Polri dan TNI belum lama ini adalah bentuk dari miskinnya pendekatan HAM atas rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB).

Sebelumnya, pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang juga telah menenggelamkan ribuan rumah di puluhan desa, untuk memenuhi hasrat pemerintah melalui dukungan investor dari China untuk membangun waduk demi kepentingan irigasi dan pembangkit tenaga listrik. Padahal, pembangunan waduk sebagai penghasil energi telah lama dihentikan dan dikaji-ulang di banyak negara, karena terbukti tidak efektif dan menimbulkan dampak yang serius terhadap HAM.

Komisi Dam Dunia pada tahun 2000 telah mengeluarkan laporan bahwa pembangunan waduk dan dam telah menimbulkan dampak yang serius bagi manusia dan ekosistem, karena mengusir masyarakat dari tanah kelahirannya, merusak ekosistem sungai, dan tidak efektif dalam menghasilkan energi listrik berbasis sumber daya air. Namun, Presiden Jokowi tetap mencanangkan pembangunan puluhan waduk di berbagai penjuru daerah.

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Sebagai negara yang sangat plural, memberikan jaminan dan penghormatan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, masih menjadi tantangan yang tidak mudah. Kejadian pelarangan beribadah bagi umat Kristiani di Bandung beberapa hari lalu menunjukkan bahwa kelompok intoleran masih bisa menunjukkan kekuasaannya di atas kewenangan negara. Diduga ada pembiaran dari Kepolisian karena tidak melakukan tindakan untuk melindungi umat Kristiani yang sedang beribadah.

Kejadian di Bandung tersebut mengukuhkan predikat Provinsi Jawa Barat sebagai daerah yang paling intoleran. Menurut kajian Komnas HAM, Wahid Institute, dan Setara Institute, hal ini karena peristiwa yang merusak toleransi beragama dan berkeyakinan banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat. Berbeda dengan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang menyatakan permintaan maaf atas kejadian itu, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan bahwa peristiwa itu adalah hal yang kecil.

Peristiwa pembakaran rumah ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara (29 September 2016) juga menunjukkan betapa rentannya ikatan toleransi kita, sehingga sangat mudah tersulut oleh hal kecil dan dipicu oleh beredarnya informasi di media sosial yang tidak bertanggung jawab.

Apabila terus dibiarkan, tindakan intoleran ini akan menumbuhkan peristiwa serupa yang lebih besar dan meluas, sehingga harus dicegah dan ditindak sejak masih menjadi benih-benih intoleran.

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Tindakan kelompok intoleran juga menyasar pada kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menyampaikan pendapat dan ekspresi. Kelompok intoleran memaksa pelarangan pemutaran film dan Festival Belok Kiri yang rencananya diadakan di Taman Ismail Marzuki, 27 Februari 2016. Rencana pemutaran film Jakarta Unfair di TIM XXI pada 26 November 2916 juga dibatalkan karena diduga adanya desakan dari kelompok intoleran.

Di Yogyakarta, yang selama ini dikenal sebagai kota yang toleran, diciderai oleh beberapa peristiwa intoleransi yang dilakukan oleh sekelompok orang. Di antaranya, pelarangan acara Lady Fest dan pembubaran pesantren waria di Bantul, yang selama ini sudah berjalan dengan baik.

Perlindungan Pembela HAM
Penuntasan kasus pembunuhan terhadap pembela HAM Munir Said Thalib belum menemukan titik terang. Upaya KontraS dan LBH Jakarta melalui gugatan di Komisi Informasi Pusat (KIP) telah menghasilkan putusan bahwa dokumen Tim Pencari Fakta Munir adalah dokumen publik. Namun, dengan alasan tidak memegang dokumen asli itu, Sekretariat Negara tidak bisa memenuhi putusan KIP dan lantas mengajukan banding. Meskipun sudah terjadi sejak 2004 atau 12 tahun yang lalu, siapa dalang pembunuh Munir yang menjadi ikon pembela HAM, belum terungkap.

Kondisi para pembela HAM juga masih rentan oleh tindakan kriminalisasi dan kekerasan, karena belum ada produk hukum yang memberikan perlindungan bagi mereka. Akibatnya, kegiatan para pembela HAM sering disebut sebagai kegiatan yang melawan pembangunan dan negara, sehingga patut disingkirkan. Pemerintah Indonesia harus merumuskan produk hukum untuk melindungi pembela HAM sebagaimana didesakkan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pembela HAM.

Persamaan di Depan Hukum
Paruh kedua 2016, panggung nasional dan ruang publik dipenuhi oleh sikap masyarakat atas kasus dugaan penistaan agama yang disangkakan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta non-aktif, yang maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2017-2022.

Menyikapi kasus itu, terjadi pergerakan umat Islam secara massif di berbagai daerah, melalui gerakan-gerakan ekstra parlementer yang menuntut supaya kasus Ahok segera dituntaskan dan dia dipenjara. Aksi kelompok ini setidaknya telah dilakukan tiga seri, yaitu pada 2510, 411, dan 212, dengan jumlah massa yang meningkat bahkan diperkirakan mencapai jutaan orang.

Gerakan massa yang mengatasnamakan Aksi Bela Islam ini menjadi kekuatan yang menekan aparat penegak hukum agar segera memproses kasus Ahok, karena mereka khawatir Ahok dilindungi oleh Presiden Jokowi. Padahal, jelas Presiden sudah menyatakan tidak akan melindungi Ahok.

Sejumlah peserta aksi membawa poster saat long march menuju Monas untuk mengikuti aksi 212 atau 2 Desember di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (2/12). Aksi tersebut untuk mendesak pihak terkait agar segera menuntaskan kasus dugaan penistaan agama. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww/16.
Peserta aksi membawa poster saat long march menuju Monas untuk mengikuti aksi 212 atau 2 Desember di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (2/12). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww/16.

Penanganan atas kasus Ahok ini menjadi ujian bagi negara agar tetap bisa bersikap obyektif dan independen, meski di bawah tekanan massa. Persidangan perdana kasus ini pada 13 Desember 2016 akan menjadi ujian pertama bagi pengadilan agar tetap mampu memeriksa kasus secara obyektif dan imparsial di bawah tekanan publik dan media.

Hal ini penting agar kehormatan dan martabat pengadilan sebagai garda penegak keadilan tetap terjaga dan Ahok sebagai tersangka tetap dijamin dan dilindungi haknya sebagai warga negara yang belum tentu bersalah (asas praduga tidak bersalah)

Jadi, secara umum, kondisi HAM sepanjang 2016 di negeri ini masih sangat jauh dari situasi yang ideal sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Asas utama dalam Pancasila, khususnya sila kemanusiaan yang beradab dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, belum ditranslasikan dalam bentuk kebijakan yang bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, khususnya kelompok minoritas.

Juga dengan norma-norma HAM yang telah menjadi hak konstitusional warga negara di Pasal 28A-28J UUD 1945, masih banyak yang masih berupa jargon semata. Pelanggaran HAM menjadi hal yang biasa.

Di tahun ketiga pemerintahan Joko Widodo, masih ada harapan agar arah penegakan HAM menjadi lebih jelas, terutama dengan meng-address isu-isu utama yang dikemukakan di atas. Dengan adanya prioritas penanganan isu HAM yang lebih urgen dan strategis bagi pemenuhan hak rakyat atas keadilan, maka kinerja dan hasil pemerintahan Jokowi dalam menegakkan HAM menjadi lebih terukur dan jelas. Dengan demikian, di bawah pemerintahan Jokowi, HAM tidak lagi sebatas retorika.

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.