Oversupply, Kok, Mau Ditambah?
Tak banyak pihak yang menyadari bahwa industri semen sesungguhnya kapasitas terpasangnya sudah melampaui kebutuhan dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor. Pada 9 Januari 2017, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan dengan jelas, “Pada 2016, posisinya oversupply 25 persen dari kebutuhan.” (Tempo.co, 09/01/2017).
Tahun 2017 ini dipastikan kapasitas berlebih itu akan mencapai 30%. Namun, hitung-hitungan kebutuhan yang meningkat pesat di tiga tahun mendatang akan membuat kelebihannya turun. Pada 2016, kebutuhan semen mencapai 65 juta ton, dan diperkirakan akan naik menjadi 80 juta ton per 2019. Berapa kapasitas terpasang sekarang? Sekitar 102 juta ton.
Dalam kondisi seperti itu, Ketua Asosiasi Semen Indonesia Widodo Santoso menyatakan bahwa organisasinya telah sejak lama meminta Pemerintah RI untuk melakukan moratorium pendirian pabrik semen.
Lalu, mengapa Semen Indonesia tetap ngotot mendirikan pabrik semen di Rembang? Entah bagaimana perhitungan detail makronya, namun yang jelas perusahaan ini tampak sebagai kekecualian. Kapasitas total seluruh pabrik mereka yang ada sekarang adalah 30 juta ton, dan utilisasinya mencapai hampir 97%, lantaran mereka menjual sebanyak 29 juta ton. Mereka mengakui bahwa di Jawa memang pasokannya berlebih, namun mereka terus mengincar wilayah Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku yang masih kekurangan pasokan dan bisa terus berkembang.
Apakah Semen Indonesia kemudian mendukung Pemerintah RI dalam membatasi pendirian pabrik semen? Ya. Tetapi dengan catatan bahwa pembatasan itu tidak diberlakukan bagi pabrik mereka di Rembang. Sekretaris Perusahan Semen Indonesia Agung Wiharto, masih seperti dikutip Tempo, menyatakan, “Pabrik kami di Rembang (Jawa Tengah) akan tetap jalan karena moratorium tidak bisa kembali (back date).”
Jadi, buat Semen Indonesia, ada dalih ekonomi untuk menjustifikasi perlakuan berbeda kepada mereka. Pabrik semen yang lain mengalami kelebihan kapasitas terpasang yang sangat besar, sementara mereka tidak demikian. Tetapi, ada banyak sekali pihak yang menyatakan bahwa dalih itu tidaklah memadai untuk memaksakan kehendak beroperasi.
Melawan Nalar Lingkungan
Catatan kronologis tentang pabrik semen ini muncul di awal 2013. Masyarakat terkejut dengan rencana pendirian pabrik semen oleh Semen Indonesia di Kabupaten Rembang. Tetapi, keterkejutan itu sesungguhnya karena proses yang seharusnya terbuka tidaklah berjalan seperti seharusnya. Pada tahun 2010 Bupati Rembang mengeluarkan surat Wilayah Izin Usaha Pertambangan bernomor 545/68/2010. Itu artinya tak lama berselang dengan kekalahan Semen Gresik atas masyarakat Pati di Mahkamah Agung.
Gagal di Pati, Semen Indonesia mencari pembiayaan proyek sebesar Rp 5 triliun. Kawasan yang dituju di Rembang adalah kawasan perbukitan batukapur yang biasa disebut sebagai Gunung Watuputih. Padahal, kawasan ini secara hukum telah ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Geologi, dengan penetapan melalui Peraturan Daerah Tata Ruang Kabupaten Rembang Nomor 14/2011. Lebih kuat lagi, Gunung Watuputih telah dinaungi oleh Keputusan Presiden RI Nomor 26/2011 sebagai salah satu Cekungan Air Tanah (CAT) yang statusnya dilindungi.
Semen Indonesia sendiri menyatakan ketidakpercayaan, atau minimal keraguan, atas perlunya perlindungan Gunung Watuputih itu. Lagi-lagi, sang Sekretaris Perusahaan Agung Wiharto, seperti dikutip Kompas.com (25/02/2017), menyatakan “… kami hanya minta diberi kesempatan beroperasi, benar gak nanti akan hilang air.” Buat mereka yang akrab dengan precautionary principle, pernyataan itu pasti membuat geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin ketidaktahuan atas dampak kemudian disikapi dengan coba-coba? Siapa tahu airnya tidak akan hilang.
Pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana Semen Indonesia seperti tidak memahami regulasi lingkungan, terutama UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) di mana prinsip di atas adalah salah satu tonggaknya. Ketika tidak ada konsensus ilmiah bahwa keputusan tertentu dipastikan tidak membawa dampak negatif yang katastrofik, maka yang harus diambil adalah keputusan untuk tidak melanjutkannya. Hal ini kemudian hanya bisa dilonggarkan ketika bukti-bukti ilmiah tentang ketidakbahayaan muncul di kemudian hari.
Izin lingkungan adalah pertanda bahwa Amdal telah diterima. Tetapi, sengketa atas Amdal itu telah diputuskan melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 5 Oktober 2016. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, kemudian mematuhinya dengan Surat Keputusan Gubernur Nomor 6601/4 Tahun 2017 tertanggal 16 Januari 2017..
KLHS dan Amdal
Amdal itu sendiri sebetulnya tidak bisa berdiri sendiri dalam membuktikan bahwa proyek pendirian pabrik semen—atau proyek apa pun—itu tidak membawa bahaya katastrofik. Amdal hanyalah instrumen penilaian dampak di level paling rendah, yaitu proyek. Di atas level itu, program, rencana, dan kebijakan pembangunan hanya bisa dipastikan secara ilmiah benar-benar berkelanjutan melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS ini juga yang diwajibkan di dalam UU PPLH maupun regulasi tentang tata ruang.
PP 46/2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS menerangkan apa yang disebut dengan KLHS itu, “Rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.” Pertanyaannya kemudian, adakah dokumen KLHS itu yang bisa memastikan pembangunan pabrik semen di Rembang itu bisa dipastikan tidak berlawanan dengan pembangunan berkelanjutan? Tidak ada.
Karena itu, sungguh tepat keputusan Presiden Joko Widodo yang memerintahkan penghentian seluruh kegiatan di Rembang itu hingga KLHS selesai. Tentu ini berarti apabila KLHS yang dibuat atas perintah Jokowi itu menyatakan bahwa kawasan itu punya daya dukung yang memadai dan eksploitasi Gunung Watuputih dimungkinkan, maka Amdal yang baru kemudian bisa disusun, dengan komponen rencanan pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan sosial untuk memastikan dampak bersihnya positif. Hanya dengan menunggu KLHS yang menyediakan kepastian ilmiah saja sesungguhnya kita bisa tahu apakah pabrik semen itu bisa dilanjutkan ke proses selanjutnya.
Maka, apa yang kemudian dilakukan oleh Semen Indonesia dan Gubenur Jawa Tengah yang membuat adendum—arti harfiahnya adalah tambahan, bukan perubahan—Amdal dalam waktu kilat, membahasnya dalam waktu lebih ringkas lagi, menerbitkan rekomendasi izin lingkungan, serta menerbitkan izin lingkungan baru, sungguh di luar akal sehat! Mustahil Amdal dan izin lingkungan tersebut bisa dianggap serius.
Lagi-lagi, penjelasan Semen Indonesia atas apa kaitan antara Amdal dan KLHS sesungguhnya tidak tepat. Dan, hal ini sama sekali tidak menggambarkan Semen Indonesia yang pabriknya di Gresik telah diganjar PROPER Emas di tahun 2012. Tanda keseriusan mengelola lingkungan di Gresik tampak pupus atau bahkan sirna bila kita lihat apa yang mereka lakukan di Rembang.
Penting pula diingat bahwa PROPER Emas (dan Hijau) juga menandai pengelolaan sosial yang di atas rerata. Lagi-lagi, pelacakan sejarah hubungan antara Semen Indonesia dan masyarakat setempat menunjukkan pengelolaan sosial yang jauh dari memuaskan. Minimnya partisipasi masyarakat—termasuk dalam proses terkait pembelian tanah mereka sendiri!—ditemukan di hampir sepanjang proses.
Ganjar “Mbalelo” Pranowo
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pun sekendang sepenarian. Kita semua tahu bahwa Gubernur Ganjar Pranowo memang melakukan tindakan mbalelo, melawan perintah Jokowi, dan menistakan keputusan pengadilan. Namun, ia tidak sendirian juga, karena banyak pihak yang menyuarakan hal yang sama: apa pun yang terjadi pabrik semen jalan terus.
Kalau ucapan itu keluar dari mereka yang tidak berlatar belakang atau memegang posisi kunci dalam lingkungan hidup, mungkin bisa dianggap sebagai ketidaktahuan. Tetapi, dalam kasus ini bahkan mereka yang seharusnya menjaga kewarasan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pun gagal menjalankan fungsinya.
Sebagaimana dikutip oleh Mongabay Indonesia (11/12/2016), Kepala BLH Jawa Tengah, Agus Sriyanto, bahkan menyatakan proses KLHS berlangsung bukan berarti moratorium—yang jelas-jelas menentang perintah Jokowi yang diketahui umum. Dia menambahkan bahwa KLHS memiliki arah dan tujuan yang berbeda dengan penerbitan izin lingkungan. “Tim KLHS silakan penelitian di Pegunungan Kendeng, tapi tak membatasi apalagi sampai menghentikan pabrik,” katanya.
Disinformasi yang dilakukannya terus berlanjut dengan pernyataan bahwa “Tim KLHS itu dibentuk bukan untuk mengkaji masalah Semen Rembang. Mereka tugasnya studi kelayakan Pegunungan Kendeng, mana saja areal yang bisa ditambang.” Dia juga menyatakan, hasil KLHS hanya bersifat rekomendasi, dan “Kinerja tim KLHS bagian tataran kebijakan, sedangkan persoalan Semen Rembang masuk ke sektor industri.”
Mengapa ini disebut disinformasi? Karena mustahil seorang kepala BLH di tingkat provinsi tidak mengetahui batasan antara KLHS dengan Amdal dan izin lingkungan. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, KLHS melingkupi kebijakan, rencana, dan program pembangunan. Untuk kebijakan pembangunan, KLHS-nya disebut KLHS Kebijakan; untuk rencana pembangunan KLHS-nya disebut KLHS Tata Ruang; dan untuk program pembangunan KLHS-nya disebut KLHS Sektor. Gabungan KLHS Tata Ruang dan KLHS Sektor biasa disebut KLHS Regional.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa persoalan sektor industri semen adalah cakupan KLHS, bukan sekadar Amdal! Pertanyaan bisakah pabrik semen dibuat di Jawa Tengah—khususnya Kabupaten Rembang—secara berkelanjutan, sesungguhnya hanya bisa dijawab oleh KLHS. Kalau jawabannya mungkin, maka barulah rencana pendirian pabrik semen bisa dikaji lebih lanjut. Seandainya Amdal dipaksakan dibuat 100 kali pun, dengan izin lingkungan dikeluarkan atas dasar itu, tak seharusnya itu bisa dianggap beres.
Darurat KLHS di Tingkat Nasional
Karenanya, penolakan dan penerimaan secara mutlak seharusnya ditunda sampai KLHS selesai dan Amdal yang benar bisa dibuat. Dan ini juga yang seharusnya diambil di dalam berbagai kasus lainnya. Yang paling terkenal mungkin adalah reklamasi—kini bagian dari National Capital Integrated Coastal Development (NCICD)—Teluk Jakarta. (Baca: Emmy Hafild di Tengah Pusaran Polemik Reklamasi
Kasus lain yang kurang menjulang profilnya adalah proyek mata air Umbulan di Pasuruan. Di situ direncanakan pengambilan air dengan debit hingga 4.000 meter kubik per detik, sementara debit mata air itu sendiri hanya sekitar 3.500, dan sudah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan berbagai industri. Kondisinya menjadi mengerikan karena Pasuruan telah menunjukkan kerusakan lingkungan yang parah di bagian hulu, ditandai dengan banjir-banjir yang terjadi belakangan.
Winston Churchill pernah menyatakan, “Never let a good crisis go to waste.” Sangat jelas bahwa Indonesia berhadap-hadapan dengan krisis lingkungan—yang pada gilirannya akan menjadi krisi sosial dan ekonomi—karena kita tidak mengambil keputusan pembangunan dengan cara yang benar dan sudah menjadi kewajiban regulatori sejak 2009, yaitu KLHS.
Krisis yang terjadi di Rembang telah menghasilkan peluang untuk mengembalikan Indonesia ke jalur yang seharusnya. Kita perlu berterima kasih kepada Presiden Jokowi yang, selain memberikan arahan yang tegas untuk Rembang, juga telah mengeluarkan PP 46/2016 itu. Sebagian pihak menyatakan bahwa PP tersebut hadir lantaran krisis di Rembang ini.
Tetapi, kita tahu persis bahwa hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota tak dicakup oleh KLHS. Pembangunan berjalan dengan (hampir) buta, lantaran data daya dukung lingkungan yang komprehensif tidak tersedia. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa KLHS memang bakal menjadi instrumen kebijakan, perencanaan dan program pembangunan di seluruh Indonesia. Ujian terdekatnya tentu saja ada pada kasus-kasus Rembang, Teluk Jakarta, dan Pasuruan.
Kalau KLHS menyatakan bahwa daya dukung lingkungan tidak memadai bagi salah satu atau lebih proyek tersebut, apakah yang akan dilakukan oleh pemerintah? Kalau kemudian ternyata bisa dibangun, sekuat apakah safeguards lingkungan dan sosial yang dituangkan di dalam Amdal proyek-proyek itu?
Bagaimanapun, dalam jangka waktu yang seharusnya tidak terlampau lama, seluruh daerah di Indonesia bisa memiliki KLHS-nya, lalu pembangunan dilaksanakan sepenuhnya berdasarkan itu. Ini berarti Presiden Jokowi perlu memastikan bahwa PP yang ia keluarkan kemudian bisa ditindaklanjuti dengan anggaran pembuatan KLHS di seluruh Indonesia—dengan wilayah prioritas yang ditentukan berdasarkan kebutuhan pembangunan—serta dengan peningkatan kapasitas pembuat dan pemanfaat KLHS. Jangan sampai ucapan ngaco Kepala BLH Provinsi Jawa Tengah terdengar dari daerah-daerah lainnya.
Kalau saja Presiden Jokowi dalam sisa masa kepemimpinannya bisa memastikan KLHS yang bermutu tinggi bisa terwujud dan mencakup seluruh wilayah Indonesia, serta membuat sistem yang memastikan KLHS menjadi dasar bagi seluruh kebijakan, rencana dan program pembangunan nasional dan daerah, maka jasanya bagi keberlanjutan negeri ini akan luar biasa besar.
Baca juga: