Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai berpotensi menyelewengkan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Itu terlihat dari rencana Pemprov DKI yang akan mengganti bus Metromini dengan bus Trans Jakarta. Alih-alih memperbaiki pelayanan umum, hal tersebut justeru menimbulkan potensi adanya korupsi.
“Pengadaan bus-bus baru Trans Jakarta ini seolah menjadi ajang untuk proyek di Pemprov DKI. Pemprov DKI tidak serius meningkatkan pelayanan umum. Hal ini tentu mengakibatkan banyak kerugian, terutama pada APBD Jakarta,” kata Direktur Center for Budget Analysis Ucok Sky Khadafi ketika ditemui di Jakarta.
Dia menjelaskan, indikasi penyelewengan anggaran yang dilakukan Pemprov DKI bentuknya boleh jadi seperti yang sudah seringkali terjadi, yakni melalui mekanisme lelang. Namun, lelang tersebut sesungguhnya hanya mekanisme formal semata. Padahal, pemenang dalam lelang tersebut sudah ditentukan jauh-jauh hari sebelumnya.
“Seperti kasus pengadaan bus Trans Jakarta tempo hari, misalnya. Bus untuk Trans Jakarta kan berasal dari Cina. Namun, justru Gubernur Ahok menginginkan bus dari Swedia. Ini terlihat aneh. Sudah kelihatan, korporasi atau perusahaan bisa mempengaruhi kebijakan di lingkungan pemerintah daerah,” tuturnya.
Karena itu, Ucok meminta, untuk mengatasi adanya potensi penyelewengan dana APBD, Pemprov DKI Jakarta seharusnya transparan dan melibatkan warga DKI untuk turut berpartisipasi dalam melahirkan suatu kebijakan. Keterlibatan masyarakat itu, kata dia, bisa melalui polling. Cara demikian patut dilakukan untuk mengetahui lebih jelas apa yang diinginkan dan dibutuhkan warga.
Selain pengadaan bus Trans Jakarta, potensi penyelewengan dana di lingkup pemerintah daerah, tidak terkcuali DKI Jakarta, itu juga bisa dari sektor dana bantuan sosial. Tak adanya transparansi, dana bantuan sosial merupakan sektor yang paling rawan diselewengkan. Hal tersebut diungkapkan oleh mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Muhammad Yasin.
Dia mengungkapkan, pada saat dirinya masih menjadi pimpinan lembaga anti korupsi, pihaknya telah melakukan penelitian pada 2007 sampai 2010. Pemerintah daerah, tidak terkecuali Pemprov DKI Jakarta, kerap tidak melaksanakan transparansi terhadap pengelolaan dana tersebut. Hal tersebut terlihat dari tidak adanya pelaporan lebih lanjut yang dilakukan pemda. “Padahal, dana bantuan sosial harus ada pelaporan yang dapat dipertanggungjawabkan,” kata Yasin.
“Dalam penelitian itu, KPK menemukan besaran anggaran dalam penyelewengan dana bantuan sosial yang jumlahnya mencapai Rp 307 triliun. Penyelewengan biasanya terjadi di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi, termasuk di Ibu Kota.”
Karena itu, dia berharap, ke depan anggaran yang ada dalam APBD, terutama dana bantuan sosial, perlu dihemat. Hal tersebut perlu dilakukan agar pemanfaatannya dapat digunakan secara efektif. Dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, terlebih pada saat ini yang sangat rawan dijadikan modal biaya untuk pemilihan umum para incumbent.