Ada sejumlah pelajaran penting dari penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan serentak pada 9 Desember 2015 lalu. Di Banten, para dinasti tetap eksis, bahkan yang sudah terkena kasus korupsi pun masih ada yang terpilih. Di luar kemungkinan adanya kecurangan, dalam kacamata proporsional, fenomena ini menunjukkan bahwa betapa sulitnya kita menebak apa yang diinginkan rakyat, para pemilih.
Secara akademik ada standar-standar normatif, siapa yang seyogianya dipilih sebagai kepala daerah, misalnya soal kecakapan, integritas, dan lain-lain. Akan tetapi, standar-standar normatif itu tak selalu sesuai dengan apa yang secara riil dibutuhkan masyarakat. Bagi terduga korupsi, misalnya, standar normatif tentu tidak menginginkannya. Tetapi jika rakyat masih mau memilihnya, tak ada yang bisa mencegah, rakyat punya hak untuk memilih siapa pun yang dikehendakinya.
Beberapa waktu lalu kita mendengar ada gerakan atau kampanye anti politisi busuk. Sejumlah nama dicantumkan agar rakyat tidak memilihnya. Tapi, setelah pemilu dilangsungkan, di antara mereka tetap saja terpilih. Artinya, kampanye negatif ternyata tidak cukup efektif.
Kita selalu mengampanyekan agar kriteria-kriteria objektiflah yang seyogianya dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk memilih pemimpin. Tapi jika yang terpilih adalah mereka yang semata-mata karena popularitas (kasus artis atau para pesohor), atau karena kesamaan-kesamaan primordial, kita tidak bisa menolaknya.
Meskipun begitu, tidak lantas membuat kita putus asa untuk tetap mengampanyekan hal-hal yang baik, yang seyogianya dijadikan pedoman bagi rakyat untuk memilih. Kampanye untuk kebaikan harus terus dilakukan walaupun mungkin belum berdampak signifikan. Kita yakin, lambat laun kesenjangan antara yang seharusnya dipilih dengan yang nyatanya bisa terpilih akan semakin mengecil.
Apa yang terjadi dalam pilkada serentak tahap pertama bisa menjadi pelajaran bagi kita, terutama bagi para kandidat kepala daerah, mengenai kriteria apa yang kemungkinan bisa menarik rakyat untuk memilih, dan kampanye seperti apa yang berdampak positif bagi peningkatan elektabilitasnya.
Pilkada DKI Jakarta, meskipun memiliki kekhususan, mekanismenya tidak persis sama dengan pilkada serentak, dalam hal kriteria, bagaimana rakyat bisa memilih, dan kampanye seperti apa yang seyogianya dilakukan, tidak ada bedanya. Yang membedakan hanya situasi dan kondisinya yang tidak bisa disamakan antara satu daerah dengan yang lainnya. Tapi perbedaan situasi dan kondisi bukan harga mati, artinya bisa saja antara satu daerah dengan yang lainnya memiliki pakem yang sama.
Ada dua kasus yang bisa menjadi pelajaran penting bagi Basuki Tjahaja Purnama, yakni Pilkada Kota Surakarta dan Kabupaten Bilitung Timur. Dua petahana di dua daerah yang memiliki hubungan–baik langsung maupun tidak langsung—dengan Basuki ini mengalami nasib yang berbeda.
Yang pertama, Pilkada Kota Surakarta, kandidat petahana secara tidak langsung memiliki hubungan dengan Basuki karena sama-sama melanjutkan kepemimpinan Joko Widodo, dan sama-sama non-muslim di daerah yang mayoritas muslim. Hasil pindai cepat Pilkada Kota Surakarta versi Komisi Pemilihan Umum, calon petahana pasangan F.X. Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo memperoleh 152.301 (59,92%) mengungguli pasangan Anung Indro Susanto-M. Fajri yang memperoleh suara 101.866 suara (40,08%)
Kedua, Pilkada Kabupaten Bilitung Timur, kandidat petahana secara langsung punya hubungan erat dengan Basuki karena merupakan adik kandungnya, yakni Basuri Tjahaja Purnama, dan kabupaten ini juga pernah dipimpin Basuki. Hasil hitung cepat Pilkada Kabupaten Belitung Timur versi Cyrus Network, pasangan Basuri-Fezzi Uktolseja memperoleh suara 31,81%, dikalahkan oleh pasangan Yuslih Ihza-Burhanuddin yang memperoleh 51,4%. Yuslih Ihza adalah kakak kandung Yusril Ihza Mahendra.
Dengan berkaca pada F.X. Hadi Rudyatmo, Basuki memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan kembali Pilkada DKI Jakarta. Karena, meskipun di kedua daerah ini sama-sama mayoritas berpenduduk muslim, pemilihnya memiliki ukuran-ukuran yang rasional dan objektif dalam menentukan pilihan kepala daerah. Keberhasilan Hadi Rudyatmo memimpin Kota Surakarta mampu membendung arus sektarian yang berusaha mengalahkannya dengan mengedepankan isu-isu agama.
Sebaliknya pada kasus Kabupaten Belitung Timur yang tidak bisa dilepaskan dari Basuki, sang penantang bisa mengalahkan petahana. Perlu dijajaki lebih jauh mengapa petahana kalah, betulkah karena faktor agama, ataukah karena Basuri memang dinilai kurang berhasil dalam memimpin daerahnya sehingga masyarakat tidak menginginkannya kembali memimpin. Atau bisa jadi kekalahan Basuri justru karena ia dihubung-hubungkan dengan Basuki, dan yang mengalahkannya dihubung-hubungkan dengan Yusril Ihza yang popularitasnya cukup tinggi.
Apa pun penyebabnya, kekalahan Basuri bisa menjadi peringatan keras bagi Basuki. Jika percaya nasib buruk bisa menular, maka Basuki harus menepis kepercayaan ini dan mengubahnya menjadi tantangan yang bisa memotivasi dirinya untuk bekerja lebih cerdas dan efektif dalam memajukan DKI Jakarta. Jika faktor agama menjadi pertimbangan pemilih, maka satu-satunya jalan untuk mengalahkannya adalah dengan perbaikan kinerja. Dan inilah faktor dominan yang mengantarkan Hadi Rudyatmo memenangkan pilkada, di samping tentu ada faktor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mendukungnya.
Basuki harus bekerja melebihi Hadi Rudyatmo, karena sejauh ini belum ada faktor pendukung dari partai politik yang bisa diandalkannya.