“Politik sudah seperti seks: ramai-ramai dianggap kotor, tapi ramai-ramai pula dikerjakan,” begitu tulis Mas GM (Goenawan Mohamad) tentang politik suatu kali. Perbedaannya, kita terbiasa membincangkan politik dengan suara lantang, saling unjuk gigi atau pamer ilmu, tapi dengan seks? Kita terbiasa membincangkan seks dengan kasak-kusuk dan dalam ruang yang remang-remang.
Begitulah kira-kira kondisi Ibu Kota saat ini, terlebih paska demo 4 November. Asap knalpot lebih menyesakan daripada biasanya. Semua media, cetak maupun elektronik, memberitakan si calon A yang mengunjungi pemukiman kumuh; si calon B yang kerap ditampilkan sebagai sosok antagonis karena terus “memberangus” si miskin; atau si calon C yang karena ketampanannya mengalihkan duniaku seperti lagu yang kerap dinyanyikan penyanyi ternama Indonesia.
Pemberitaan dari ketiga pasang calon Gubernur Jakarta tersebut terus menghiasi media kita saat ini. Saling hujat dan saling serang antar-sesama pendukung calon bahkan tidak bisa dielakkan di beberapa media sosial. Suka maupun tidak suka semua pemberitaan dan obrolan politik soal Pilkada Jakarta ini memang terasa memuakkan. Pembahasan yang seolah tak akan pernah ada habisnya, dibincangkan di mana pun, di kafe mewah di dalam mal ataupun di warung kopi pinggir jalan.
Warga Ibu Kota muak ataupun tidak, mari kita berdamai dan nikmatilah iklim politik yang memanas ini seperti kita menikmati seks di setiap harinya.
Maka, jangan berharap iklim politik yang memanas di Jakarta ini akan menurun. Tidak menurun tapi lebih memanas iya. Usai pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu, yang kemudian videonya menjadi viral di Youtube, ternyata mengundang respons yang luar biasa.
Seperti kita tahu, sebagian masyarakat Muslim Indonesia menganggap apa yang dikatakan Ahok soal surat Al-Maidah ayat 51 sebagai penistaan agama terhadap agama Islam. Kemarahan sebagian umat Islam pun tak terhindarkan. Kemarahan tersebut akhirnya dikoordinir dengan sangat apik menjadi sebuah aksi, yang mengatasnamakan aksi damai yang tuntutannya adalah, salah satunya, agar Ahok diproses secara hukum karena ini tentang dugaan penistaan agama.
Kita harus fair, minimal dalam ingatan, bahwa Ahok menjadi sorotan bukan untuk pertama kalinya. Sebagai calon petahana, Ahok kerap diserang terkait persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kita tidak perlu menghindar bahwa beberapa kali pula Ahok diserang dengan isu atau embel-embel yang sebenarnya menodai ke-bhineka tunggal ika-an kita sebagai bangsa Indonesia.
Satu-satunya calon gubernur dari etnis Tionghoa dan non-Muslim menjadikan Ahok sebagai seseorang yang lian dalam kontestasi politik Jakarta kali ini. Sayangnya, dia sebagai calon tentu saja kuat juga dalam hitung-hitungan survei politik.
Tentu kedua hal tersebut (Tionghoa dan non-Muslim) menjadi momok empuk bagi lawan-lawan politik Ahok. Atau janganlah lawan politik, bagi orang yang tidak ingin Jakarta dipimpin oleh kafir (katanya), hal tersebut terus digaungkan. Berapa kali, misalnya, di podium-podium keagamaan mereka yang tidak menghendaki Ahok sebagai pemimpin tak jarang mengumbar ayat atau dalil kitab suci, yang kadang bahkan bernada hatespeech untuk tidak memilih Ahok. Maka, wacana #TolakPemimpinKafir kemudian bergeser menjadi #TolakPenistaAgama.
Persoalan Ahok yang dianggap sebagai penista agama bahkan terus menjadi perdebatan di kalangan umat Islam sendiri. Beberapa pihak tentu tidak sepakat dengan hal tersebut. Apa pun itu, persoalan Ahok sebagai penista agama atau tidak, itu hanya persoalan perspektif semata.
Semua memiliki dasar kajian bahkan tafsir al-Qur’an yang berbeda terkait hal tersebut. Menjadi masalah ketika tafsir tersebut oleh beberapa orang diembuskan dengan kebencian dan berujung pada niat memecah belah bangsa atau bahkan mengubah Indonesia menjadi Negara Islam.
Pilkada Jakarta ini lagi-lagi terasa lebih memuakkan karena hanya berkutat pada persoalan SARA. Ahok terus diserang dengan persoalan yang, menurut saya, dalam sebuah proses pilkada tentu tidak substansial. Kita tidak lagi mendengar atau membaca kritik tajam pada Ahok terkait persoalan kinerja atau bahkan visi misi dia ke depan. Begitupun calon lainnya yang tidak pernah menampilkan sesuatu yang substansial berupa ide dan gagasan baru untuk masa depan Jakarta. Apakah ini kemunduran?
Mungkin beberapa orang telah sampai pada orgasme politiknya. Sesuatu yang didamkan, dinantikan, dan dinikmati. Seperti beberapa orang yang telah berhasil mengkoordinir kemarahannya pada Ahok menjadi sebuah aksi dalam Demo 4 November lalu. Dan atau sebagian lainnya masih mencari gaya (trik) yang pas untuk sampai pada surganya dunia, yakni orgasme.
Belum lagi soal Ahok yang akankah dijadikan tersangka karena kasus penistaan agama? Atau jika tidak, mungkinkah massa aksi 4 November lalu akan kembali menekan pemerintah?
Kita hanya perlu menunggu tontotan menarik apalagi yang akan ditampilkan aktor-aktor politik ini untuk sampai pada orgasme politiknya. Sekali lagi, menikmati iklim politik ini seperti halnya menikmati seks.