Desember 2015, PT Metromini—perusahaan bus ukuran menengah di Jakarta—membuat berita. 6 Desember bus Metromini B 80 (Grogol-Kalideres) nyelonong melewati pintu perlintasan kereta yang sedang tertutup. Ulah ini membuat bus naas itu ditabrak kereta komuter. 18 orang tewas, termasuk sopir dan kernet. Sepekan kemudian, Metromini B 92 (Cileduk-Grogol) menabrak seorang ibu dan anaknya di daerah Meruya, Jakarta Barat. Sang ibu luka parah, sedangkan anaknya meninggal (Kompas 17/12).
Dua kecelakaan menjadi pemicu hujatan warga pada bus Metromini. Hal wajar mengingat citra buruk bus jingga-biru. Mulai dari bus yang tidak terawat, sopir ugal-ugalan, hingga pelayanan buruk. Penumpang pasti ingat rasanya dijejal hingga sesak pada jam sibuk atau dioper ke bus lain pada jam kosong.
Kecelakaan fatal menjadi pemicu lepasnya emosi warga pada Metromini hingga muncul wacana publik untuk membiarkan bus ukuran menengah seperti Metromini hilang dari Jakarta. Menghilangkan bus menengah seperti Metromini jelas bukan solusi tepat untuk kota padat penduduk seperti Jakarta. Namun membiarkan Metromini dan bus menengah lainnya tetap beroperasi seperti saat ini juga sama saja dengan membahayakan keselamatan penumpang.
Sekilas Sejarah Metromini
Bus menengah sudah beroperasi di Jakarta sekitar lima dekade. Metromini adalah salah satu perusahaan yang mengelola layanan bus ukuran menengah di Jakarta. Bus menengah mulai masuk Jakarta pada tahun 1962 untuk memenuhi kebutuhan transportasi untuk hajatan Asian Games di Jakarta (Silver 2008: 156). Sesudah Asian Games selesai, bus-bus tersesebut dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan transportasi warga.
Tahun 1976, PT Metromini dibentuk untuk mengelola layanan bus menengah di Jakarta (Silver 2008: 156). Badan usaha yang dipilih berbentuk perseroan terbatas (PT), bentuk badan usaha yang berkarakter pengelolaan tunggal. Kelebihan pengelolaan tunggal adalah kemudahan mengontrol penyelenggaraan layanan transportasi, mulai dari kendaraan sampai pekerja (sopir dan teknisi). Untuk moda bus menengah, selain PT Metromini, bermunculan juga perusahaan angkutan lain diantaranya Kopaja, Kopami, Koantas Bima.
Namun pada praktiknya, layanan bus Metromini dan bus menengah lainnya dikelola secara perorangan. Individu pemilik bus mengelola mobil dan layanan angkutannya secara “mandiri”, sehingga perusahaan tidak bisa memastikan kualitas perawatan bus dan layanan angkutan. Sopir direkrut pemilik mobil dan bekerja dengan sistem sewa kendaraan. Mereka harus memenuhi target “setoran harian” sebagai biaya sewa kendaraan tersebut. Model pengelolaan ini juga diterapkan di moda angkutan lawas lainnya seperti angkot.
Hasilnya, penumpang tidak pernah dapat kepastian kualitas layanan. Kadang dapat mobil terawat, tapi lebih sering dapat mobil uzur yang tidak terawat baik. Kadang dapat sopir kalem, kadang dapat sopir ugal-ugalan. Penumpang tidak berdaya jika dapat kombinasi mobil busuk dan sopir ugal-ugalan.
Jika ingin protes ke perusahaan angkutan, perusahaan tidak kelola mobil dan sopir. Harus tempuh jalan memutar untuk mengetahui siapa pemilik mobil dan siapa sopir yang membawa. Dengan model pengelolaan perorangan, perusahaan tidak bisa mengontrol kualitas layanan armadanya. Mereka juga tidak bisa diandalkan jika penumpang protes atas layanan buruk. Karena pengelolaan ada di tangan para pemilik bus.
Pengelolaan Ruwet dan Berbahaya
Desember 2015 menjadi momentum histeria hujatan terhadap layanan Metromini. Dalam waktu dua pekan terjadi kecelakaan fatal yang menimbulkan korban jiwa. Dua kecelakaan menyingkap bahaya Metromini. Namun bahaya Metromini (dan angkutan lawas lainnya) tidak hanya dihasilkan dari tata kelola layanan yang buruk, tapi juga karena pengawasan yang lemah dari Pemerintah DKI Jakarta itu sendiri.
Dalam rezim tata kelola perorangan sulit bagi pemerintah untuk mengontrol kualitas layanan angkutan. Untuk mengontrol kualitas layanan angkutan Pemerintah DKI Jakarta lewat Dinas Perhubungan memilih cara mencegat di hilir dengan mekanisme pengawasan kualitas kendaraan yang disebut “uji KIR”. Namun uji KIR berjalan manipulatif.
Kompas (2011: 27) pernah investigasi pelaksanaan uji KIR di Jakarta. Investigasi mereka menemukan dua praktik korup yang lazim ditemui dalam proses uji KIR. Pertama, suap ke petugas. Kedua, menyewa suku cadang berkualitas baik selama proses uji KIR. Setelah uji KIR selesai, suku cadang sewaan kembali dicopot, bus berjalan dengan suku cadang busuk seperti biasa. Cara kedua disebut make up oleh para pelaku
Uji KIR yang korup jelas tidak bisa mencegah bus tidak terawat berkeliaran di jalanan Jakarta. Namun masalah Metromini tidak hanya pada bus yang jelek tapi juga sopir yang ugal-ugalan. Dalam rezim tata kelola perorangan, pemerintah dan perusahaan angkutan tidak bisa mengontrol kualitas sopir yang mengemudikan bus. Kepemilikan surat izin mengemudi (SIM) yang digunakan sebagai tolok ukur kelayakan pengemudi juga tidak bisa diandalkan karena bikin SIM juga bisa “ditembak”.
Dari sini kita bisa lihat bahaya Metromini dihasilkan dari beragam keruwetan. Tata kelola perseorangan ditambah lagi pengawasan lemah dan korup dari Pemerintah DKI Jakarta. Hasilnya adalah berkeliarannya bus-bus tidak layak jalan dengan sopir-sopir yang agresif karena dikejar target setoran. Bahaya ganda yang mengintai para penumpang bus jingga-biru.
Peran Penting Bus Menengah dalam Jaring Transportasi Massal
Tidak suka dengan layanan Metromini itu wajar. Tapi mengabaikan perannya dalam jaring trayek transportasi Jakarta juga tidak bijaksana. Bus menengah penting untuk menunjang sistem transportasi Jakarta. Ukurannya yang tanggung, bisa angkut penumpang banyak dan bisa masuk ke jalan kecil membuat bus menengah bisa jadi penghubung yang efisien untuk menghubungkan lokasi permukiman dengan jalan besar tempat stasiun dan halte bus Transjakarta berada.
Ilustrasi klasik di atas hendaknya jadi pengingat kita bahwa masa depan transportasi kota padat penduduk seperti Jakarta berada di sarana transportasi massal (kereta, MRT, dan bus). Bukan pada sarana transportasi mini seperti taksi atau ojek. Dari data BPS DKI Jakarta tahun 2014 tercatat proyeksi penduduk Jakarta pada malam hari ada 10.075.310 orang, sementara pada siang hari ada 11.201.620 orang yang beraktivitas di Jakarta. Jumlah penduduk yang padat mengingat Jakarta hanya seluas 661,52 km2. Berarti ada sekitar 16.933 orang per kilometer persegi di Jakarta pada siang hari.
Dengan kepadatan penduduk yang tinggi, sarana transportasi massal adalah kebutuhan sejati bagi warga Jakarta. Sarana transportasi mini hanya pelengkap saja dari sistem transportasi massal yang dibutuhkan sebuah kota berpenduduk padat. Jalanan macet penuh kendaraan pribadi dan warga yang bergantung pada sarana transportasi non massal adalah ciri dari kota yang sarana transportasi massalnya masih belum tertata dengan baik.
Kebutuhan transportasi akan selalu ada. Pemerintah harus aktif menyediakannya dan memastikan mereka bisa mengontrol kualitas layanan secara penuh. Membiarkan Metromini berjalan dengan pengelolaan perseorangan selain membahayakan penumpang juga membuat warga enggan menggunakan sarana transportasi publik dan beralih gunakan kendaraan pribadi atau sarana transportasi non massal (taksi dan ojek) untuk memenuhi kebutuhan transportasi.
Momentum Pembenahan Bus Menengah
Ketika sisi paling buruknya sebuah layanan publik terungkap, hendaknya momen ini dimanfaatkan untuk mengubah secara radikal pengelolaan bus menengah di Jakarta. Bus menengah seperti Metromini adalah moda transportasi penting untuk menunjang moda transportasi massal seperti kereta komuter, MRT dan Bus Transjakarta.
Hal yang perlu dilakukan bukan membiarkan Metromini hilang atau makin buruk dengan tata kelola saat ini tapi mengubah tata kelolanya secara radikal. Pertama, Gubernur Ahok dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta jangan lagi membiarkan urusan pengelolaan transportasi dikelola secara liar oleh pihak swasta. Pemeritah harus hadir minimal untuk memastikan pelayanan angkutan diselenggarakan dengan baik. Caranya adalah, hak milik trayek angkutan harus dipegang oleh pemerintah.
Pengelolaan layanan angkutan bisa dipegang oleh pemerintah itu sendiri lewat BUMD atau jika dikelola oleh swasta sebagai operator, pemerintah lebih punya kuasa untuk memaksa mereka mengikuti standar minimum pengelolaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Standar minimum yang perlu diterapkan di antaranya: pemberian pendidikan dan evaluasi kinerja untuk awak angkutan, penerapan sistem upah tetap mengikuti standar UMR untuk sopir dan pekerja lainnya, peremajaan dan perawatan rutin kendaraan, dan pengelolaan kendaraan serta pekerja secara terpusat dalam manajemen perusahaan (tidak lagi secara perseorangan).
Kedua, sudah saatnya perencanaan pembangunan Jakarta, termasuk transportasi publik, melibatkan warga. Sebagai penumpang, warga seharusnya dilibatkan mulai dari pengambilan keputusan pemberian hak pengelolaan trayek angkutan sampai penilaian kinerja perusahaan angkutan pengelola trayek tersebut. Sehingga operator layanan akan berada dalam dua pengawasan dari pemerintah dan dari warga. Layanan buruk akan berisiko membuat mereka kehilangan hak pengelolaan angkutan dalam trayek.
Di Jakarta, sudah ada lembaga Dewan Transportasi Kota (DTK) Jakarta. Lembaga ini dapat memberi masukan kepada gubernur untuk pembuatan kebijakan transportasi. Namun lembaga ini tidak bisa menjadi lembaga perwakilan warga penumpang transportasi seutuhnya. Karena dalam DTK Jakarta juga ada perwakilan dari pengusaha angkutan dan pihak pemerintah (lihat Perda DKI Jakarta No 13/2003) .
Ketiga, pembenahan teknis yang perlu dilakukan adalah merapikan trayek angkutan agar bisa terhubung dengan baik dengan trayek moda transportasi massal seperti kereta komuter, MRT dan bus Transjakarta. Trayek bus menengah sudah saatnya dirapikan agar menempati peran sejatinya sebagai penghubung antara kawasan permukiman dengan jalan besar. Dengan demikian jaring trayek jadi saling terhubung dan memudahkan penumpang untuk berpergian di Jakarta.
Sudah saatnya pemerintah bergegas membenahi sarana transportasi massal, agar bisa memenuhi kebutuhan warga dan warga tertarik untuk menggunakannya. Bepergian dengan transportasi massal adalah cara paling efisien untuk kota sepadat Jakarta. Pengembangan dan perbaikan sarana transportasi massal kini berkejaran dengan kredit mobil-motor “yang ringan” dan inovasi moda transportasi mini seperti ojek dan taksi online. Jangan sampai tertinggal atau jalanan Jakarta akan semakin macet dan amburadul.