Menurut survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis 25 Januari 2016, popularitas Basuki Tjahaja Purnama jauh mengungguli tokoh-tokoh lainnya yang digadang-gadang akan ikut berlaga dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Basuki ada di angka 94 persen.
Sedangkan Tantowi Yahya (81 persen), Ridwan Kamil (71,25 persen), Abraham Lunggana (69,25 persen), Hidayat Nur Wahid (64,50 persen), Tri Rismaharini (63,75 persen), dan Adhyaksa Dault (50,75 persen).
Apakah ini pertanda mantan Bupati Belitung Timur yang populer disapa Ahok akan kembali memimpin DKI Jakarta untuk periode berikutnya?
Meskipun masih terlalu dini menjawab pertanyaan ini, kemungkinan besar itu bisa terjadi. Karena, selain popularitas, elektabilitas Basuki juga masih jauh di atas para penantangnya. Ia berada di angka 43,25 persen. Sementara Ridwan Kamil 17,25 persen, Tri Rismaharini 8 persen, Adyaksa Dault 4,25 persen, Hidayat Nur Wahid 4 persen, Tantowi Yahya 4 persen, dan Abraham Lunggana 3,75 persen.
Selain itu, jika kita perhatikan, fenomena Basuki saat ini agak mirip dengan Jokowi pada saat menjelang Pilkada DKI 2012 silam. Seperti Jokowi, setiap Basuki berada di tengah-tengah publik, ia tak sekadar dikerubuti wartawan, tapi warga masyarakat pun ikut mengerumuninya dan mengajaknya foto bersama. Ini bukti bahwa sosoknya cukup disukai dan menjadi harapan masyarakat.
Mengapa Basuki lebih diminati ketimbang yang lain? Jawabannya karena ia dianggap sukses memimpin Jakarta. Publik menganggap “Jakarta Baru” yang dijanjikan pasangan Jokowi-Basuki pada saat kampanye dulu, sudah (relatif) terwujud pada saat ini. Banjir sudah berkurang signifikan, dan kemacetan jalan, meskipun masih belum berkurang, ada harapan akan berkurang signifikan setelah proses pembangunan penambahan ruas jalan dan MRT selesai.
Yang juga berubah dari Jakarta adalah pelayanan publik yang jauh lebih cepat dan tidak mengeluarkan biaya sama sekali (gratis).
Meskipun demikian, Basuki jangan geer (gede rasa). Kemungkinan bisa dikalahkannya juga cukup besar karena di antara tokoh-tokoh yang popularitas dan elektabilitasnya masih di bawah itu pada umumnya belum melakukan langkah-langkah yang serius untuk berlaga dalam Pilkada DKI Jakarta, atau malah belum melakukan apa-apa karena memang belum bersedia atau belum tentu maju dalam pilkada.
Artinya, Basuki harus tetap fokus pada peningkatan kinerja, terutama dalam merealisasikan janji-janji kampanyenya pada saat masih berpasangan dengan Jokowi. Karena kegagalan kinerja akan menjadi faktor utama dari kekalahan petahana dalam proses pemilihan berikutnya.
Selain peningkatan kinerja, yang harus menjadi perhatian Basuki adalah soal karakter. Sebagian besar publik memang menyukai karakter Basuki yang blak-blakan, terbuka, dan berani menantang lawan-lawan politik yang dianggapnya tidak bersih. Akan tetapi, mereka juga kurang menyukai pada saat keberanian itu diembel-embeli ucapan-ucapan, atau lebih tepatnya sumpah-serapah yang kurang pantas keluar dari mulut pejabat publik. Tetap ada batas kepatutan yang harus diperhatikan.
Perihal keterikatan dengan partai politik, tampaknya ini akan menjadi tantangan besar sekaligus peluang bagi Basuki. Tantangan besar jika partai-partai politik berhasil melakukan konsolidasi dengan hanya mengusung satu pasangan. Meskipun sangat kecil, kemungkinan ini bukan mustahil terjadi karena Basuki saat ini dianggap sebagai “musuh bersama” partai-partai.
Tapi dimusuhi partai-partai bisa juga menjadi peluang. Dalam berbagai survei, pada umumnya publik kurang menyukai partai politik karena perilaku tokoh-tokohnya yang tidak patut dicontoh, koruptif, dan dianggap hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Konflik berkepanjangan yang ada di tubuh sebagian partai politik juga ikut berkontribusi terhadap ketidaksukaan sebagian publik pada partai.
Yang penting bagi Basuki adalah tidak terpancing “dendam” dengan memusuhi balik partai-partai. Karena kehadiran partai di negeri kita yang menganut sistem demokrasi juga sangat penting. Seburuk-buruknya partai, ia tetap akan menjadi salah satu pilar utama demokrasi yang harus terus-menerus diperbaiki. Dalam pemilihan umum, selain kepribadian dan integritas aktor-aktor yang menjadi kandidat, partai politik juga tetap menjadi rujukan rakyat dalam menentukan pilihan.
Oleh karena itu, boleh saja bekerjasama dengan partai politik untuk hal-hal yang baik dan konstruktif bagi masyarakat. Tapi dalam kerjasama itu jangan sampai terjadi proses saling menutupi kesalahan. Sekali terjerembab dalam pola saling menutupi kesalahan, maka akan sangat sulit untuk memperbaikinya. Karena kesalahan yang satu biasanya akan ditutupi dengan kesalahan-kesalahan lainnya agar tidak terekpose di ruang publik.
Yang perlu menjadi catatan, bersahabat dengan partai politik sangat penting, namun persahabatan dalam arti saling memahami dan menghormati posisi masing-masing. Ada batasan-batasan yang tak boleh dilanggar, misalnya independensi. Sebagai kandidat yang kemungkinan besar akan maju dari jalur perseorangan, Basuki harus tetap konsisten menjaga independensi, terutama dari pengaruh (buruk) partai politik.
Popularitas dan elektabilitas Basuki yang sudah terbangun hingga saat ini sama sekali bukan lantaran ada kerjasama dengan partai politik. Publik menyukai dan mau memilih Basuki murni karena alasan kinerja dan kepribadian yang dimilikinya. Kedua alasan ini harus tetap dijaga, bukan semata untuk menjaga popularitas dan elektabilitasnya, tapi karena meningkatkan kinerja dan menjaga kepribadian yang baik merupakan kewajiban bagi Basuki sebagai Kepala Daerah.