Senin, April 29, 2024

Menilai Kinerja Basuki

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Antara Foto/Yudhi Mahatma
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Antara Foto/Yudhi Mahatma

Dinamika politik menjelang Pilkada DKI Jakarta mulai berdenyut. Masih lama, kurang dari dua tahun, tapi panasnya mulai terasa. Setelah beberapa tokoh mengumumkan diri maju menantang Basuki Tjahaja Purnama, kita akan terus memantau seberapa besar peluang mereka. Meski masih terlalu dini untuk memastikan siapa yang akan memenangi kompetisi, prediksi-prediksi awal bisa dijadikan starting point.

Kompetisi politik merupakan arena yang sangat cair. Fluktuasi dukungan publik bisa berubah setiap saat. Para penantang Basuki bisa menggunakan sejumlah cara untuk menaikkan popularitas. Tapi bagi Basuki, sebagai petahana, hanya ada satu cara yang paling efektif untuk bisa bertahan di kursinya, yakni dengan menunjukkan kinerja yang baik di mata publik.

Ada ungkapan klasik yang tetap aktual sampai saat ini, actions speak lauder than words. Tafsirannya bahwa perhatian yang terus-menerus disertai dengan tindakan-tindakan nyata yang membawa manfaat bagi orang banyak, jauh lebih nyaring di telinga publik ketimbang jargon-jargon kosong yang sering diteriakkan para demagog di panggung-panggung kampanye politik. Artinya, bagi politikus, apalagi yang menduduki jabatan eksekutif, kinerja adalah segala-galanya.

Untuk mengetahui penilaian publik terhadap kinerja Basuki, terutama pada aspek-aspek krusial seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi publik; bagaimana peluangnya untuk bertahan; serta bagaimana peluang para penantangnya, pada 14 Oktober lalu Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei bertajuk “Ahok dan Para Penantangnya untuk DKI 1”.

Hasilnya, seperti dugaan saya dua pekan lalu di media ini (9 Oktober 2015), Basuki (Ahok) jauh lebih unggul dibandingkan lawan-lawannya. Dia mendapatkan 35% dari 631 responden, sementara Wali Kota Bandung Ridwan Kamil hanya dipilih 3%. Calon-calon lainn seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan pengusaha nasional Sandiaga Uno hanya meraih dukungan di bawah 2%.

Keunggulan Basuki ini berbanding lurus dengan evaluasi positif dari penilaian masyarakat terhadap kinerjanya. Mayoritas responden (64%) mengaku puas atas kinerja Basuki. Penilaian baik dan sangat baik terhadap pelaksanaan pemerintahan mencapai 46%, jauh di atas 16% responden yang menilainya buruk. Untuk layanan publik di kelurahan dan kecamatan, 85% responden menilai baik dan sangat baik. Dan, untuk kondisi keamanan dinilai baik dan sangat baik oleh 72% responden.

Aspek-aspek krusial seperti pendidikan (gedung-gedung sekolah), jalan raya (transportasi), dan kesehatan (rumah sakit/puskesmas) juga dinilai sangat positif oleh 84%, 73%, dan 87% responden. Juga atas layanan listrik (90%), ketersediaan air bersih (81%), dan keteraturan pedagang kaki lima (51%).

Sedangkan soal penanganan banjir yang selama ini banyak dikeluhkan warga, belum bisa dinilai karena survei dilakukan saat Jakarta relatif kekeringan. Tapi dengan telah merelokasi warga Kampung Pulo, Jakarta Timur, kawasan langganan banjir, keluhan warga kemungkinan akan sedikit berkurang.

Yang menarik, dari segi agama, dukungan terhadap gubernur petahana ini juga jauh lebih unggul dibandingkan tokoh-tokoh yang selama ini diklaim para pemuka agama (muslim) sebagai calon pengganti Basuki. Ahok dipilih oleh 19% responden beragama Islam. Sedangkan Ridwan Kamil, Fauzi Bowo, dan Tri Rismaharini masing-masing hanya didukung 3%, 2%, dan 2% responden.

Mencermati angka-angka dukungan dan penilaian itu, tampaknya publik, dalam hal ini warga Jakarta, sudah memahami betul bagaimana seharusnya menilai seorang pejabat publik. Bukan didasarkan pada suku, agama, atau dukungan partai politik, melainkan lebih ditujukan pada kinerjanya yang memang layak diapresiasi. Pejabat publik yang sangat menaruh perhatian pada aspek-aspek spiritual, belum tentu mendapatkan apresiasi jika kinerjanya tidak paralel dengan tingkat keberagamaannya.

Lantas siapa yang selama ini banyak mengkritik dan mengeluhkan kinerja Basuki? Tampaknya bukan warga Jakarta, melainkan mereka yang bekerja dan hilir-mudik memadatkan dan memanfaatkan jalan-jalan raya di Jakarta. Tiap hari ada di Jakarta tapi tidak memiliki kartu tanda penduduk Jakarta. Mereka mengeluh karena setiap hari berhadapan dengan kemacetan lalu lintas Ibu Kota.

Bagi warga Jakarta, kemacetan itu tidak menjadi masalah besar karena dua hal. Pertama, kemacetan sudah dianggap lumrah. Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Palembang, Makassar, Bogor, dan kota-kota besar lain memiliki tingkat kemacetan lalu lintas yang relatif sama dengan Jakarta. Kedua, kemacetan Jakarta saat ini menyimpan harapan baru yang baik di masa datang karena sedang dikerjakan banyak proyek penambahan jalur, termasuk jalur mass rapid transit yang diyakini akan banyak membantu perbaikan sistem transportasi dalam kota Jakarta.

Hasil survei itu tentu belum bisa dikatakan sepenuhnya mewakili penilaian seluruh warga Jakarta. Namun, karena berdasarkan metode yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, setidaknya bisa menjadi gambaran awal yang objektif tentang bagaimana dukungan publik terhadap Basuki. Kebencian publik terhadap Basuki yang selama ini disuarakan elite politik ternyata tidak terbukti di lapangan.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.