Pada awalnya, Gubernur (petahana) DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berada dalam dilema antara memilih jalur perseorangan atau jalur partai politik. Setelah dilakukan silaturahmi antar berbagai pihak yang berkepentingan dengan pencalonan Basuki, akhirnya keputusan itu bisa diambil dengan tanpa ada gejolak yang berarti.
Setelah Basuki memilih jalur partai politik, memang banyak kalangan menyayangkan, atau bahkan kecewa, terutama mereka yang sangat berharap pada independensi Basuki. Kekecewaan yang wajar sepanjang tidak diekspresikan dengan sumpah serapah dan caci maki.
Kalau ada yang mengekspresikan kekecewaan dengan sumpah serapah, mungkin pada dasarnya memang dari awal tidak suka pada Basuki, dan keputusan Basuki maju lewat jalur partai dijadikannya momentum untuk mengekspresikan ketidaksukaan itu sesuka hatinya. Walaupun sikap seperti ini biasa dalam dunia politik, tetap tidak wajar karena ada manipulasi di dalamnya, seolah-olah mendukung padahal tidak.
Saya pribadi menghormati keputusan Basuki karena beberapa hal. Pertama, semakin mendekati masa pendaftaran pencalonan, semakin sempit waktu yang dibutuhkan, dan semakin sulit kemungkinan maju melalui jalur perseorangan (independen).
Ada banyak hal yang masih harus dilalui pada saat jalur perseorangan menjadi pilihan, yang paling rumit adalah verifikasi. Kelihatannya sederhana, tapi karena menyangkut satu juta lebih lembar dukungan, verifikasi tidak bisa dianggap remeh. Sangat mungkin terjadi dukungan ganda, atau dukungan fiktif karena orangnya sudah meninggal, atau sudah pindah domisili. Jika terus diikuti, pasti akan banyak menyita waktu dan tenaga.
Kedua, sudah ada tiga partai politik yang akan mengusung Basuki. Meskipun mereka melakukannya dengan sukarela (tanpa mahar politik) dan menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Basuki, bagi mereka tentu tetap jauh lebih baik jika Basuki lebih memilih jalur partai politik ketimbang perseorangan. Apalagi jumlah kursi DPRD dari ketiga partai itu (Nasdem, Hanura, dan Golkar) sudah lebih dari cukup untuk mengusung calon gubernur dan calon wakil gubernur.
Ketiga, ibarat pepatah “mengharap hujan dari langit, air di tempayan jangan ditumpahkan”. Mengharap dukungan sejuta KTP yang dikumpulkan “Teman Ahok” lolos verifikasi boleh saja, tapi jangan menyia-nyiakan dukungan partai politik yang sudah memenuhi syarat. Apalagi, walaupun sudah memilih jalur partai politik, Basuki tetap tidak meninggalkan Teman Ahok.
Tujuan awal pengumpulan KTP oleh Teman Ahok adalah untuk menyediakan tiket bagi Basuki untuk jadi cagub. Pada waktu itu, rasanya mustahil Basuki mendapat dukungan dari partai politik karena perseteruannya yang sengit dengan DPRD DKI yang nota bene merepresentasikan partai politik. Nyatanya benar kata Bismarck, politics is the art of the possible. Yang awalnya tampak mustahil itu sekarang sudah terjadi, Basuki didukung partai politik! Jika dukungan partai politik sudah di tangan, mengapa pula masih harus berharap lolos verifikasi jalur perseorangan.
Keempat, dengan Basuki memilih jalur partai politik, dugaan selama ini bahwa Teman Ahok sebagai lawan partai politik tidak terbukti. Begitu juga anggapan bahwa Basuki anti partai politik. Ketika Basuki meninggalkan partai politik bukan karena dilandasi kebencian terhadap pilar utama demokrasi ini, tapi karena integritas sebagian aktivisnya yang begitu mudah hilang dan terjerat kasus-kasus korupsi. Sebagai politikus, Basuki tidak mungkin lepas dari partai politik.
Kelima, mencermati dukungan partai politik yang dilakukan tanpa syarat (mahar politik atau syarat-syarat lain), akan menjadi preseden yang baik bahwa bagi siapa pun yang dianggap berkualitas dan memiliki integritas (rekam jejak yang baik), senantiasa tersedia jalan baginya menjadi pemimpin.
Karena hakikat partai politik adalah institusi yang menjadi agregator kepentingan rakyat, maka kebutuhan rakyat akan lahirnya pemimpin yang berkualitas dan berintegritas harus menjadi komitmen bagi partai politik untuk bisa memenuhinya. Walaupun bukan kader partai politik, calon pemimpin yang baik harus didukung oleh partai politik. Dengan begitu, rakyat akan percaya bahwa partai politik bisa menyalurkan aspirasinya dalam memilih pemimpin.
Dengan beberapa alasan di atas, menghormati keputusan Basuki bukan sejenis penghormatan tanpa reserve. Ada argumentasi yang harus dikemukakan agar publik tahu mengapa sebuah keputusan politik harus dihormati.
Dengan keputusan yang telah diambilnya, Basuki menjadi calon gubernur pertama yang secara definitif telah memenuhi syarat administratif (walaupun hingga kolom ini ditulis belum melakukan pendaftaran secara resmi). Ada beberapa (bakal) cagub yang sudah mendaftar namun dinyatakan tidak sah karena secara administratif tidak memenuhi persyaratan. Sementara Basuki sudah memenuhi persyaratan, meskipun belum mendaftar.
Selain menghormati pilihan Basuki, saya juga mengapresiasi sikap teman-teman relawan yang tergabung dalam Teman Ahok. Di tengah gempuran tuduhan dukungan fiktif, mereka merelakan Basuki memilih jalur partai politik, yang artinya sama saja dengan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk membuktikan (melalui verifikasi) bahwa dukungan yang telah mereka galang benar-benar faktual.
Saya salut dengan Teman Ahok yang tetap tegar walaupun hingga saat ini tetap menjadi bulan-bulanan para pembecinya—yang tetap menuduh dukungan fiktif—terutama di media sosial.