Kamis, Oktober 3, 2024

Menggusur ala Basuki

Petugas menggunakan alat berat menghancurkan bangunan tempat tinggal yang berada di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Selasa (12/1). Sebanyak 64 bangunan tempat tinggal dihancurkan untuk program normalisasi Kali Ciliwung. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Petugas menggunakan alat berat untuk menggusur bangunan tempat tinggal warga di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Selasa (12/1). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Kata “gusur” pernah menimbulkan trauma bagi Presiden Joko Widodo. Pasalnya, saat masih kanak-kanak, rumahorang tuanya yang berada di pinggir kali digusur hingga memaksa Jokowi kecil dan kedua orang tuanya pindah ke kontrakan lain. Pada era rezim Orde Baru, menggusur sudah identik dengan tindakan sewenang-wenang penguasa yang menyengsarakan rakyat kecil.

Pengalaman masa kecil itulah antara lain yang membuat Jokowi sangat berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan yang berimplikasi pada upaya “memindahkan penduduk” dari satu tempat ke tempat lainnya, termasukpada saat memindahkan pedagang kaki lima (PKL), baik pada saat menjadi Wali Kota Kota Solo maupun pada saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Dalam merelokasi penduduk, Jokowi menggunakan filosofi “memangku”. Siapa pun, pada saat dipangku, pasti merasa nyaman. Tapi, cara-cara yang dilakukan Jokowi di DKI Jakarta, tidak dipakai oleh suksesornya, Basuki Tjahaja Purnama. Maklum, Basuki bukan orang Jawa yang lemah lembut. Basuki lahir dan besar di Gantung, Belitung, dengan budaya yang sama sekali berbeda dengan Jawa.

Untuk sebagian kalangan, cara-cara yang ditempuh Basuki cenderung kasar, seolah-olah seperti menyengaja mencari musuh. Maka pada saat melanjutkan kebijakan Jokowi untuk merelokasi penduduk yang berada di sekitar bantaran Kali Ciliwung, Basuki yang lebih akrab disapa Ahok tak segan-segan melakukan penggusuran. Setelah warga Kampung Pulo, Jakarta Timur, yang menjadi korban penggusuran ala Basuki berikutnya adalah warga Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan.

Banyak protes keras ditujukan pada Basuki. Gubernur DKI Jakarta yang juga mantan Bupati Belitung Timur ini dianggap bertindak layaknya penjajah yang mengusir warga dari kampung yang ditinggalinya secara turun temurun. Yang melakukan protes tidak hanya warga yang tergusur, tapi juga warga dari tempat lain yang ikut berempati, dan (terutama) para aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memang sudah terbiasa mengadvokasi warga (masyarakat sipil) yang menjadi korban kebijakan pemerintah.

Tapi bukan Basuki kalau mundur saat diprotes. Ia tetap bergeming, walau kebijakannya digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Basuki merasa yakin tindakannya sudah benar. Keyakinannya bukan tanpa alasan. Sejak warga Kampung Pulo direlokasi ke Rumah Susun Jatinegara Timur, sudah tidak ada lagi keluhan tentang banjir, juga peringatan dini pada saat air di Bendungan Katulampa naik tinggi.

Jajak pendapat melalui telepon yang dilakukan Litbang Kompas 14-15 November 2015 terhadap 461 responden yang dipilih secara acak dari pemilik telepon yang berdomisili di DKI Jakarta menunjukkan bahwa warga kota Jakarta sekarang dinilai lebih siap menghadapi banjir dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya, kebijakan-kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi bencana banjir dinilai sudah tepat, walaupun masih menyisakan sejumlah masalah.

Setiap kebijakan pemerintah sudah tentu hampir selaluada efek negatifnya, apalagi kebijakan penggusuran rumah-rumah warga yang bisa menyebabkan penderitaan seketika bagi para korbannya. Namun, ibarat meminum obat, rasa pahit seketika itu sama sekali tidak sebanding dengan kesembuhan yang menjadi efek positifnya. Penggusuran mungkin bisa diibaratkan seperti kemoterapi yang sangat menyakitkan tapi tetap harus dilakukan untuk menyembuhkan, atau setidaknya bisa menumbuhkan harapan untuk sembuh.

Seperti kemoterapi yang belum tentu bisa menyembuhkan penyakit kanker secara total, relokasi warga juga belum tentu bisa mengatasi masalah secara menyeluruh. Warga yang sudah pindah ke tempat baru, mungkin saja di antaranya masih tetap menghadapi masalah. Begitu juga dengan ancaman banjir yang tentu akan tetap ada, meski bantaran Kali Ciliwung sudah dibersihkan dari pemukiman warga. Tapi yakinlah, meskipun caranya mungkin menyakitkan, jika tujuannya untuk kebaikan yang lebih luas, kebijakan relokasi tidak ada salahnya dilakukan.

Penggusuran, atau bahasa yang lebih halus relokasi, mutlak harus ditentang pada saat tidak bertujuan untuk kemaslahatan (kebaikan), misalnya dilakukan untuk tujuan membangun mal, hotel, apartemen mewah, atau resort, yang sama sekali tidak bisa dinikmati oleh warga yang tergusur. Zaman boleh saja berganti, cara-cara penggusuran ala Orde Baru ini masih tetap ada hingga saat ini, terutama di daerah-daerah yang kepala daerahnya berambisi mengejar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mempedulikan nasib warganya.

Apakah penggusuran ala Basuki bisa disamakan dengan penggusuran ala Orde Baru? Semua orang bebas menilai. Ada kalangan yang menganggapnya lebih buruk dari cara-cara yang ditempuh Orde Baru, tapi ada jugayang menilai jauh lebih baik atau bahkan tidak bisa dibandingkan karena tujuannya yang berbeda.

Yang pasti, dalam sejumlah jajak pendapat mengenai kinerja Basuki, secara umum nilainya bagus. Bahkan, jika Pilkada DKI Jakarta dilakukan saat ini, Basuki tetap jauh mengungguli lawan-lawan politiknya seperti Abraham Lunggana (Lulung) yang merasa yakin bisa mengalahkan Basuki pada Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang. Bahkan kepala-kepala daerah lain yang memiliki popularitas tinggi seperti Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya) dan Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung) diprediksi tidak akan mampu mengalahkan Basuki di DKI Jakarta.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.