Basuki Tjahaja Purnama. Rodrigo Duterte. Dan kini, Donald Trump. Ketiganya sosok yang berbeda. Saya, jelas, akan menyinggung para pendukung Ahok apabila menyamakannya dengan figur lainnya—apalagi figur ketiga yang bukan hanya misoginis tetapi juga membanggakan perilaku seksisnya.
Tetapi, ada satu pola yang jelas dapat kita untai dari kesuksesan yang dicetak ketiganya di dunia politik. Polanya jelas. Kesantunan, tampaknya, bukan lagi satu barang yang benar-benar bermakna di ranah ini. Lebih penting dari sopan dan unggah-ungguh, Anda perlu bersuara lantang, keras. Dalam ranah yang kian hari kian bergeser menjadi panggung kontes ketenaran ini, pertama-tama, orang-orang perlu mendengar Anda.
Kita boleh menyimpulkan, semakin banyak bicara Trump semakin membunuh kesempatannya sendiri berkompetisi dengan Hillary. Mulutnya, yang tak pernah mendapatkan gembok yang pas, adalah bom waktu berjalan. Tetapi, bila demikian kesimpulan kita kemarin-kemarin, siapakah kita kalau bukan segelintir kawula elitis yang merasa mampu menafsirkan dengan penuh kepastian bagaimana cara para pemilih berpikir?
Trump menuding para pendatang dari Meksiko sebagai pencoleng, bandar narkoba, dan pemerkosa. Ia sesumbar mau mendirikan tembok yang memisahkan Amerika dan Meksiko, dan mengusir semua pendatang ilegal. Tetapi, menurut jajak pendapat CNN terhadap orang-orang yang baru memilih, ia mengungguli Hillary antara 19-29 persen di antara pemilih Latin sejumlah daerah.
Satu hal yang lebih mencengangkan lagi adalah popularitasnya di antara para wanita kulit putih. Trump tak dapat menanggalkan perbuatan-perbuatannya merendahkan wanita di masa silam. Reputasinya sebagai hidung belang terus mengikutinya seiring media-media, yang paranoid Trump akan menjadi presiden, tak henti mengangkatnya. Namun, survei CNN yang sama menemukan, ia mendominasi 53 persen suara dari pemilih wanita berkulit putih.
Trump, lebih dari siapa pun, insaf bahwa meski mulutnya adalah harimaunya ia juga harimau untuk kandidat lain. Omongan-omongan besarnya yang tak realistis, kendati beberapa berbalik menyerangnya, menjadikan pula kandidat saingannya tampak ciut. Seperti banyak politisi yang tak dibesut konsultan politik mahal di Indonesia, ia mengecer janji-janji spektakuler yang tak terjamin apakah bisa terealisir sebelum Lebaran Kuda datang.
Ia menjanjikan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berlipat ganda serta lapangan kerja baru dua kali lebih banyak. Ia akan berusaha sekerasnya agar, seperti kata-katanya sendiri, Tiongkok tak “memperkosa negara kita terus-terusan.” Amerika akan kembali berjaya setelah ia menggantikan satu sosok yang dicercanya, tanpa dasar apa pun, sebagai “presiden terburuk” sepanjang sejarah AS.
Apa kata para pakar dan politisi lainnya? Mereka tak berkata banyak bila Anda perhatikan. Pasalnya, jangankan dianggap serius, setiap rencana kebijakan yang dicetuskannya bahkan sulit dibedakan dengan racauan di siang bolong. Gagasannya reyot dari ubun-ubun hingga ujung kelingking dan hanya mengandalkan bualan-bualan mudah dipahami yang tujuannya semata membakar massa.
Tetapi, apa kata pemilihnya?
“Saya melihat orang tulus yang ingin mengubah Amerika.”
Mereka melihat orang yang lebih berkomitmen untuk perubahan dibandingkan kandidat Demokrat yang dianggap rentan, elitis, sudah lama berkutat di politik namun tak melakukan apa pun yang berarti untuk rakyat, bagian tak terpisahkan dan termaafkan dari sistem yang korup.
Konsultan politik Trump menasihati kliennya untuk menjaga mulutnya dan, tampak jelas kepada kita, sepanjang kampanyenya, sang kandidat tak pernah mengindahkan peringatan tersebut. Kini, kliennya tersebut adalah Presiden Amerika Serikat. Konsultan politiknya, bolehlah saya perjelas lagi, keliru. Trump? Trump benar. Sang pemenang selalu benar.
Dan siapakah yang tertawa terakhir kini? Apakah saingan politik dan ahli yang menertawakan kebijakannya sebelumnya? Yang terjadi adalah kini mereka ketakutan dan merunduk ibarat musuh bebuyutan raja yang baru berkuasa. Mereka berharap bapak presiden terpilihnya masih cukup punya nalar untuk tidak melaksanakan kebijakan yang akan mengaramkan negaranya tepat di depan mata mereka.
Dengan demikian, apakah kita masih berpikir kesantunan diperlukan dalam politik? Apakah kata-kata yang dijajakan kepada konstituen masih perlu diayak pemikiran yang matang? Tidak. Pun dengan mengandalkan mulutnya yang terlatih reality show untuk tidak menyaring apa pun, Trump bahkan tak memerlukan pendanaan kampanye yang luar biasa sebagaimana saingannya.
Dan kalau kita ingat baik-baik, apakah yang beberapa tahun belakangan ini melejitkan reputasi politisi-politisi kita kalau bukan ekspresi tanpa tedeng aling-aling mereka? Ahok, reputasinya pertama kali membumbung setelah video dirinya memarahi ketidakbecusan pegawainya beredar.
Dahlan Iskan, kalau Anda masih ingat nama ini, menanjak ke puncak kemahsyurannya setelah murka di pintu jalan tol. Risma, yang memang sudah menempati hati banyak orang sejak lama, menyedot perhatian pembaca media nasional karena amukannya terhadap perusak taman kota.
Di era di mana berita yang disajikan kepada orang-orang tak lagi ditapis oleh para redaktur yang kebanyakan berpikir soal kepantasan dan urgensi, drama emosional yang dipentaskan oleh para politisi memberikan kepada para konstituennya sensasi katarsis yang memuaskan mereka. Orang-orang awam—sebagaimana yang terjadi di mana-mana dan akan selalu berulang—muak dengan kelambanan, kebobrokan, korupsi pemerintahan. Pada sosok-sosok pejabat inilah, mereka lantas mendapati kegeramannya tersebut tersalurkan.
Tentu saja, kenyataan bahwa menata ulang birokrasi membutuhkan kecakapan dan ketelatenan yang lain adalah soal belakangan. Yang dibutuhkan orang-orang, pertama-tama, adalah tontonan yang kebetulan terbuat dari tokoh, pejabat, kejadian, dan struktur birokrasi yang nyata.
Dan dengan terpilihnya figur Trump menjadi presiden negara yang masih adikuasa itu, kita tampaknya bisa secara resmi mengucapkan selamat tinggal kepada kesantunan dalam politik. Bukan hanya itu. Kita juga bisa mengucapkan selamat tinggal kepada resep-resep klasik yang menjadikan satu figur pemimpin yang dipandang—visi yang nyata, kepakaran, perencanaan, kemampuan yang teruji.
Kiat menjadi presiden di era milenial? Sampaikan isi kepala Anda keras-keras ketimbang berpikir keras. Buai orang-orang dengan melekatkan figur Anda sebagai perwakilan kemarahan terdalam mereka. Suratkan kesan bahwa pemerintahan Anda akan mengembalkan kuasa kepada rakyat.
Kuasa kepada rakyat. Rakyat yang tidak sabaran. Rakyat yang terpuaskan dengan berita bertajuk pemimpinnya sedang melakukan sesuatu untuk mereka.
Baca