Menjelang akhir tahun, soal kehidupan beragama menjadi perbincangan hangat antara lain karena dua peringatan “kelahiran”, Maulid yang diperingati umat Islam dan Natal yang diperingati umat Nasrani. Waktunya beriringan, yakni 24 dan 25 Desember 2015.
Pada saat yang bersamaan, di media sosial beredar video youtube yang berisi rekaman “curhatan” Basuki Tjahaja Purnama tentang agama. Dalam “curhatan” yang berdurasi 2,58 menit itu, antara lain, dia mengatakan bahwa ajaran Kristen itu konyol karena setiap umatnya dijamin masuk surga, tak perlu bayar utang, tak perlu capek-capek puasa.
“Hanya ngandelin Yesus yang mau disalib jadi Tuhan dan kalau penganutnya mati masuk surga. Siapa yang menciptakan agama kayak begini? Hebatnya, gua yang berpendidikan tinggi percaya dengan hal begini. Karena gua mati dijamin masuk surga,” kata Basuki.
Saya tak bisa membayangkan andaikan Basuki ngomong seperti itu tentang Islam. Sudah pasti ia akan dianggap melecehkan agama, dan akan diburu oleh mereka yang merasa menjadi wakil Tuhan di muka bumi untuk membela agama. Untungnya, penilaian Basuki tentang Islam sangat positif.
Di bagian lain “curhatannya”, Gubernur DKI Jakarta itu juga mengatakan bahwa Islam agama yang realistis. Untuk masuk surga harus ditimbang-timbang dulu mana pahala, mana dosa, dan tidak berani mengatakan (kalau) mati bakal masuk surga.
Banyak kalangan menilai Basuki tengah mencari simpati umat Islam agar kelak bisa dipilih (kembali) menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2017 mendatang karena mayoritas pemilih di ibukota adalah muslim. Penilaian semacam ini sah-sah saja, walaupun tentu kurang tepat.
Kalau kita telusuri rekam jejaknya, sebenarnya apa yang dikatakan Basuki, terutama mengenai Islam, bukan hal yang baru. Dalam banyak kesempatan Basuki sering memuji kebenaran ajaran Islam. Mengenai penilaiannya tentang Kristen, saya tidak patut untuk berkomentar karena ini bukan agama yang saya anut. Biarlah umat Kristiani yang menilainya mengapa Basuki berbicara seperti itu.
Adapun tentang Islam, dalam acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Jakarta tahun lalu (18 Januari 2015) misalnya, Basuki mengaku punya panutan dalam memerintah sebagai gubernur DKI Jakarta. Siapa panutannya? Yaitu Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, yang memiliki sifat-sifat shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas).
Basuki bahkan mengaku sudah mengagumi Nabi Muhammad sejak kecil. Saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), karena ia bersekolah di sekolah Islam. Di situlah ia mempelajari ajaran-ajaran Islam. Termasuk Al-Quran surat Al-Maidah ayat 51 yang melarang memilih Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin.
Menurut Basuki, ayat ini tidak bisa diartikan secara kaku karena faktanya banyak kaum muslimin yang memilihnya sebagai gubernur karena mereka percaya dirinya memiliki sifat-sifat yang baik, dan agama bukan penghalang orang baik untuk menjadi pemimpin.
Dalam konteks ini saya bisa mengatakan bahwa Basuki orang yang sangat rasional dalam beragama. Dia melihat agama sebagai nilai atau ajaran-ajaran etik yang harus dihidupkan dalam realitas objektif. Karena itu, yang penting dalam beragama bukan pada kulit atau mereknya, tapi pada bagaimana ajaran-ajaran etik itu bisa mencegah seseorang berbuat jahat. Bagi Basuki, tidak ada gunanya beragama kalau masih tetap korupsi.
Alasan ini pula yang melatarbelakangi Basuki menertibkan praktik penyembelihan hewan kurban pada saat Idul Adha, agar tidak dilakukan di sekolah, atau di pinggir-pinggir jalan. Karena cara seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat memperhatikan kebersihan dan kesehatan. Menurut Islam, kebersihan adalah sebagian dari iman.
Menjalankan perintah agama dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran agama bukanlah tindakan yang tepat. Nabi Muhammad tidak pernah membeda-bedakan umatnya, dari kalangan mana pun berasal, dari kelas atas atau pun kelas bawah, dari suku Arab atau bukan.
Model keberagamaan Basuki, kalau dalam Islam, mirip dengan apa yang sering dikemukakan Nurcholish Madjid (Cak Nur) atau Ahmad Syafii Maarif (Buya), yakni beragama secara substantif. Cara beragama yang lebih mengedepankan alasan-alasan rasional. Cak Nur, misalnya, banyak merujuk pada Ibnu Taimiyah yang rasional, termasuk dalam memilih pemimpin yang lebih mengedepankan alasan meritokrasi ketimbang agama.
Sedangkan Buya banyak merujuk pada gurunya, Fazlur Rahman, atau pada penyair yang dikaguminya, Muhammad Iqbal. Untuk tokoh dalam negeri, rujukan Buya adalah Mohammad Hatta yang dalam penilaiannya benar-benar substansial dalam memahami agama. Agama yang substantif diumpamakan Hatta seperti garam larut dalam air yang begitu terasa walaupun tidak kelihatan, tidak seperti gincu yang tidak ada rasanya walaupun tampak merah menyala.