Rabu, November 20, 2024

Antara Bima Arya, Ahok, dan Konstitusi

Husni Mubarok
Husni Mubarok
Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Graduate Student Center for Religious and cross-Cultural Studies (CRCS), UGM. Beberapa hasil risetnya terbit dalam "Kontroversi Gereja di Jakarta" (2011) dan "Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia" (2014).
- Advertisement -
Ilustrasi. Setkab.go.id
Wali Kota Bogor Bima Arya. Setkab.go.id

“Pegangan saya ayat-ayat konstitusi bukan ayat-ayat kitab suci,” demikian ungkapan terkenal Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur Jakarta saat ini. Ungkapan ini berkebalikan jika membaca Surat Edaran tentang Himbauan Pelarangaan perayaan Asyuro (Hari Raya Kaum Syiah) di Kota Bogor tertanggal 22/10/2015. Alih-alih konstitusi, Surat Edaran ini merefleksikan kepatuhan kepada konstituen, yang intoleran, daripada konstitusi sebagai dasar negara.

Kenapa surat ini perlu dipermasalahkan? Kesalahannya terlalu gamblang: Wali Kota melarang warga negara merayakan hari yang bagi mereka penting dan sakral. Warga negara yang dimaksud adalah penganut ajaran Syiah. Mereka dilarang melakukan dua hal: memperingati Asyuro dan memobilisasi massa untuk kegiatan tersebut.

Kebijakan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini inkonstitusional dilihat dari beberapa segi. Pertama, segi kebijakan publik. Sulit rasanya untuk menemukan penjelasan bahwa surat edaran ini bijak sekaligus diperuntukkan bagi kepentingan publik. Bagaimana kita dapat mengatakan keputusan ini “bijak” jika isinya melarang warganya mengadakan kegiatan keagamaan. Lalu, di mana publiknya apabila ia hanya mempertimbangkan sekelompok orang, tanpa memperhatikan kepentingan kelompok lainnya.

Kedua, segi hukum tata negara. Menurut tata negara kita, perkara agama tidak termasuk wewenang pemerintah daerah. Agama, layaknya moneter, adalah urusan pemerintah pusat. Oleh sebab itu, surat edaran ini tidak bisa dibenarkan dari segi ini.

Ketiga, masih dari segi ketatanegaraan, surat ini diputuskan merujuk tiga hal: Sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor; Surat Pernyataan Ormas; dan Rapat Musyawarah Pimpinan Daerah. Bagaimana mungkin keputusan pemerintah tidak mempetimbangkan Konstitusi, Undang-Undang dan regulasi lainnya yang lebih tinggi. Dari sisi ini, surat tersebut jelas kecacatannya.

Keempat, masih dari segi tata laksana pemerintahan. Bagaimana mungkin keputusan pemerintah mengacu pada sikap dari orang yang ada di organisasi masyarakat seperti MUI dan ormas lainnya? Kenapa Bima Arya menempatkan MUI di atas dirinya sebagai kepala pemerintahan di daerahnya? Sejak kapan organisasi keagamaan statusnya menjadi acuan pertimbngn kebijakan publik?

Kelima, segi hak asasi manusia. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia kita jelas menjamin setiap warga negara berhak berkumpul bersama mengadakan kegiatan di ruang publik. Surat edaran secara terang-terangan ini melawan UU.

Keenam, dari segi sumpah jabatan. Berikut ini sumpah jabatan walikota: “…akan memenuhi kewajiban saya sebagai wali kota/wakil wali kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat nusa dan bangsa.”

Adakah organisasi masyarakat macam MUI sebagai “pegangan” sebagaian tertulis dalam sumpah jabatan ini? Bukankah surat edaran tersebut berlaku tidak adil kepada warga penganut Syiah di Kota Bogor, yang bertentangan dengan sumpah jabatan tersebut?

Barangkali Bima Arya, atau para pendukungnya, akan beralasan bahwa surat ini dikeluarkan demi ketertiban umum, demi menjaga ketentraman masyarakat, demi tidak ada konflik dan tidak ada korban jiwa. Surat ini adalah semacam upaya preventif konflik seperti di Sampang, Madura, atau tempat lainnya.

- Advertisement -

Alasan di atas klasik dan klise. Kepala daerah jelas sekali punya wewenang untuk minta bantuan kepolisian memberi perlindungan. Polisi itu punya senjata. Di tempat lain (di luar kota Bogor), kalau polisi sudah angkat senjata dan pastikan akan memenjarakan perusuh, pentolan perusuh akan mikir dua kali. Tindak tegas saja mereka yang ancam akan buat kekerasan. Kekuatan wali kota bersama polisi, masak kalah sama ormas? Tidak mungkin, bukan?

Karena itu, barangkali jawaban yang lebih mendekati adalah kepentingan politik. Dia mengambil keputusan ini demi mempertahankan kekuasannya sebagai wali kota. Pengetahuan mengenai hak warga negara ia kesampingkan dulu demi stabilitas kota dan dukungan sebagian konstituennya yang konservatif dan diskriminatif. Faktanya surat edaran itu mempertimbangkan konstituen (MUI dan ormas intoleran) ketimbang konstitusi (dasar negara kita).

Terlepas apa motifnya, keputusan Bima ini memberi kita beberapa pelajaran.

Memilih kepala daerah jangan hanya melihat latarbelakang pendidikan belaka. Pengetahuan saja tidak cukup bagi kepala daerah untuk melahirkan kebijakan yang bijak. Jokowi, alumni S1 UGM, bisa mempertahankan Lurah Susan yang didesak untuk dipindahkan lantaran agama yang dianutnya. Sementara, Bima Arya bergelar doktor melarang warganya memperingati hari yang dianggap sakral.

Di samping itu, kita harus ingat bahwa kepala daerah itu jabatan politik. Agar tidak terlalu kecewa, jangan sesekali menaruh harapan terlalu tinggi kepada politisi, betapapun ia berlatar-belakang ahli ilmu poltik atau doktor lulusan luar negeri. Ahli mengamati politik tidak berarti ia cakap menerapkan ilmunya ketika menjadi pelaku politik.

Kepada mereka yang memperjuangkan kebenaran, kebaikan dan keberpihakan di “luar sistem”, dan berniat ingin mengubah dari “dalam sistem”, pikirkan ulang. Daripada merusak gerakan dan merusak reputasi sebagai ahli dan aktivis, lebih baik tetap berjuang dari luar saja. Jika tetap keukeuh, persiapkan diri Anda untuk tidak populer tetapi tetap berpegang pada dasar negara dan akal sehat sebagai rujukan kebaikan bersama. Jangan kecewakan pengetahuan yang Anda miliki.

Saya harap Kang Bima mau mencabut surat edaran ini.

Husni Mubarok
Husni Mubarok
Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Graduate Student Center for Religious and cross-Cultural Studies (CRCS), UGM. Beberapa hasil risetnya terbit dalam "Kontroversi Gereja di Jakarta" (2011) dan "Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia" (2014).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.