“Publik sudah muak dengan kesantunan politik”. Demikian kata Donald Trump. Orasi dan pernyataannya yang tajam dan kadang brutal sangat dibenci oleh semua lawan politiknya. Donald Trump sudah menjadi kandidat presiden paling populer di Partai Republik, dan hanya selangkah lagi menuju nominasi final Republikan.
Sementara itu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta yang memiliki gaya komunikasi serupa. Ahok tidak segan-segan menantang lawan politiknya dalam debat panas, dan kadang mengeluarkan pernyataan yang sangat keras dan tajam juga.
Kedua tokoh “raksasa politik” ini menyajikan suatu tren baru, yakni menjadi outspoken dan vokal seharusnya tidak menjadi masalah dalam berkomunikasi dengan publik. Justru pengikut mereka sangat menyukai gaya komunikasi frontal seperti itu. Trump dan Ahok adalah sama-sama pengusaha sukses, dan keduanya pernah mengenyam pendidikan di sekolah bisnis yang top.
Baik Trump maupun Ahok sama-sama tidak mengenal ampun dalam menyerang lawan politiknya secara verbal. Trump menyebut Jeb Bush sebagai seorang pemalas, dan terlalu lemah dengan orang Hispanik. Sementara itu, publik masih ingat dengan baik konfrontasi antara Ahok dengan Haji Lulung. Namun, akar pemikiran Trump dan Ahok ternyata sangat berbeda.
Donald Trump sangat dipengaruhi Norman Vincent Peale, penulis terkenal yang mengarang buku motivasi best seller berjudul “The Power of Positive Thinking”. Bahkan Trump kenal secara pribadi dengan Peale dan menghadiri ceramah-ceramahnya secara rutin. Intinya, sebagai pengikut Peale, Trump merasa harus percaya diri, penuh motivasi, dan yakin bahwa diri kita adalah yang terbaik dalam bidangnya. Trump selalu percaya bahwa saingannya lebih inferior dan lebih buruk.
Berbeda sekali dengan Trump, Ahok sangat dipengaruhi oleh filosofi Tiongkok dan sosio-nasionalisme Soekarno. Dalam pidatonya, Ahok sangat suka mengutip filosof Lau Tze dan Presiden Soekarno. Bagaimanapun Ahok masih tetap berpijak pada pemikiran yang berasal dari Asia. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa persamaan antara Donald Trump dan Ahok hanya pada gaya komunikasinya saja. Pada tataran epistemologis, mereka sangat berbeda.
Perbedaan antara mereka berdua akan semakin mencolok jika memasuki tataran ideologi politik. Donald Trump percaya akan white supremacist atau supermasi kulit putih, dan sangat merendahkan komunitas Asia, Latin, Timur Tengah, dan black. Trump sangat bangga dengan genealoginya yang masih keturunan imigran Jerman. Pernyataan Trump yang menyatakan akan membangun semacam “Tembok Berlin” antara Amerika Serikat dan Meksiko sangatlah menyakitkan komunitas Latin. Komunitas black tidak kalah tersinggung, karena Trump berharap supaya Barack Obama merupakan presiden black terakhir di Amerika Serikat.
Berbeda dengan Trump, Ahok adalah seorang pluralis yang percaya penuh dengan Bhineka Tunggal Ika, salah satu dari 4 pilar kebangsaan. Ahok sangat dekat dengan komunitas muslim, terbukti dengan keberhasilannya membangun masjid di Balai Kota DKI dan menghajikan marbot masjid di DKI. Kedekatan pribadi dan profesional Ahok dengan Presiden Jokowi, seorang yang berbeda agama dan etnis dengan dirinya, sudah diketahui oleh semua orang.
Menyamakan gaya komunikasi Trump dan Ahok yang menomorduakan kesantunan politik adalah valid. Namun menyamakan ideologi politik mereka adalah kekeliruan yang sangat fatal. Di sini kita harus jeli dengan mengutamakan substansi ideologis dari sang politisi, sementara gaya komunikasi semata-mata diperhatikan sebagai media untuk “menjual” substansi tersebut.
Berdasarkan berbagai survei yang dilakukan banyak media dan lembaga jajak pendapat, elektabilitas dan popularitas Trump dan Ahok sangatlah tinggi. Bahkan termasuk yang tertinggi dibanding semua lawan politiknya. Hal ini membuktikan bahwa publik Amerika Serikat dan Indonesia sama sekali tidak mempermasalahkan gaya komunikasi mereka yang merupakan deviasi dari tata krama politik konvensional.
Pemilih ingin “membeli” gagasan atau wacana yang mereka “jual”, bukan “membeli” gaya komunikasi mereka. Hal ini merupakan peringatan sangat keras bagi lawan politik mereka berdua, supaya lebih fokus pada substansi gagasan, wacana, dan ideologis. Tata krama politik tetaplah penting, namun ia merupakan media, bukanlah tujuan pada dirinya sendiri.
Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa Trump dan Ahok tidaklah lahir di “ruang kosong”. Keduanya adalah produk dari masyarakatnya. Sehingga ide-ide mereka juga mencerminkan sentimen dari pemilihnya. Secara sosiologis dan antropologis, karakteristik pemilih Trump dan Ahok sangatlah berbeda, dan karenanya tidak dapat dibandingkan secara apple to apple.