Telah terjadi beberapa kasus yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia karena ujaran kebencian, pencemaran nama baik dan berita bohong. Musabab pemecah ini tersebar di media mainstream maupun media sosial. Pelaku dan korban bisa berasal dari lingkungan mana saja.
Negara pun terus bertindak dengan cara yang persuasif dan koersif untuk menjaga keutuhan NKRI. Persuasif dilakukan melalui dukungan kepada masyarakat yang membuat gerakan anti hoax, sedangkan koersif dilakukan dengan memblokir alamat web atau suatu aplikasi yang mengancam konsensus nilai – nilai kehidupan di Indonesia.
Rentetan peristiwa ini memunculkan diskursus dari sebagian besar rakyat Indonesia. Ada yang meminta negara tidak lemah terhadap mereka yang merongrong Bhineka Tunggal Ika, ada juga yang menganggap negara menuju otoriter dengan kepemimpinan diktator berwajah baru.
Masalah ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia yang dalam beberapa tahun ke depan akan mendapatkan bonus demografi. Mereka adalah generasi Y atau biasa disebut sebagai generasi milenial. Dikatakan milenial karena mereka lahir melewati milenium pertama yang diukur dengan teori generasi dari Karl Manheim pada 1923, serta menurut William Strauss dan Neil Howe melalui bukunya “Millennials Rising: The Next Great Generation” (2000), mengungkapkan bahwa generasi ini akan menjadi generasi yang peduli dengan masalah – masalah kemasyarakatan.
Keoptimisan terhadap generasi milenial yang tak gagap dengan teknologi dan kritis terhadap informasi, bukan berarti tanpa tantangan. Ada yang meragukan generasi milenial tidak mampu menyikapi perkembangan teknologi dan banjir informasi ini dengan menudingnya sebagai generasi instan.
Di sinilah tugas seluruh stakeholder menyiapkan generasi milenial guna meneruskan cita – cita kemerdekaan Indonesia dengan demokratis.
Literasi Harga Mati
Data UNESCO yang pernah dilansir pada 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 atau satu orang yang memiliki minat baca dari setiap seribu penduduk. Penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University terkait minat baca juga menempatkan Indonesia di posisi 60 dari 61 negara atau satu tingkat di atas Botswana.
Melihat fakta di atas, tidak bisa tidak semboyan untuk generasi milenial hari ini adalah literasi harga mati. Karena dengan literasi yang mumpuni dari tiap – tiap generasi milenialah yang akan menangkal Indonesia dari keterpecahan politik, kerusuhan sosial, kerawanan pertahanan dan kemerosotan ekonomi.
Menurut Fisher (1993) literasi merupakan kegiatan membaca, berpikir dan menulis. Untuk membaca, generasi milenial mesti didukung dengan menyediakan bahan bacaan yang mudah didapat, menarik dan bermanfaat. Berarti generasi milenial untuk mendapatkan bahan bacaannya tidak terbatas oleh materi dan waktu, kemudian tampilannya sesuai dengan karakternya, misalnya dengan menyajikan infografis baik melalui buku maupun digital dan manfaatnya sesuai dengan kebutuhan hidupnya, seperti pendidikan, pekerjaan dan kesehatan.
Konten bahan bacaan bagi generasi milenial ini tak dapat dibatasi. Biarkan generasi milenial melahap semua bacaan hingga suatu saat dapat memilih dan memilah sesuai dengan minat perkembangan dirinya.
Setelah tradisi membaca yang ulet dari generasi milenial, tak kalah penting adalah membentuk kecakapan berpikirnya agar tidak melakukan pelanggaran baik secara etik dan hukum. Untuk ini generasi milenial tidak cukup hanya dengan berpikir positifis. Dialektika dalam diri milenial mesti bernafas dengan menghadirkan tesis – tesis yang kritis.
Berpikir kritis menurut Paulo Freire (1971) mempunyai tujuan untuk membentuk fundamental kesadaran manusia dalam dialektika obyektifikasi dari masalah yang ada. Dalam konteks menjaga keutuhan bangsa, generasi milenial tidak hanya pasif melawan hoax dengan sekedar tidak mempercayainya. Tetapi lebih dari itu, generasi milenial mampu menciptakan beragam konten untuk melawan berita – berita yang merugikan hak seseorang dan membohongi banyak orang.
Selain menciptakan beragam konten, melalui berpikir kritisnya, generasi milenial juga mesti mengawal atau mengontrol negara terhadap wewenangnya yang mengatur teknologi dan informasi. Generasi milineal mesti mampu mengawal demokrasi Indonesia yang berdasarkan musyawarah mufakat menyejahterahkan rakyat banyak. Jangan sampai Indonesia terpuruk dengan sistem politik yang otoriter, dimana kebebasan mencari informasi dan berekspresi menjadi terbatas, seperti beberapa negara tetangga di kawasan Asia.
Kecakapan berpikir ini diharapkan dapat membentuk suatu tatanan aturan yang menjamin hak atas informasi dan komunikasi secara rigid dan detil. Dan tidak membuka celah juga untuk misi – misi ideologi atau nilai – nilai yang ingin mengganti Pancasila.
Selain membentuk kecakapan berpikir, kemampuan menulis juga mesti dimiliki oleh generasi milenial. Kemampuan menulis ini dibekali dengan pengelolaan data dan penyampaian argumentasi yang baik dan benar. Tujuannya agar tidak ada kekeliruan dalam penulisan yang justru membuat sesat pikir. Dan juga dimaksudkan untuk menjungkirbalikan logika dari para pengujar kebencian, pencemaran nama baik dan penyebar berita bohong.
Dengan kemampuan menulis yang layak ini, generasi milenial diharapkan dapat membuat dan membunyikan berbagai narasi – narasi kecil yang menjawab tantangan – tantangan global. Menurut Jean-François Lyotard (1989) yakni banyaknya lahir pemikiran plural atau paralogy atau pengakuan atas aneka macam narasi kecil.
Semakin banyak generasi milenial yang mempunyai kemampuan membaca banyak hal, kecakapan berpikir dan kemapanan menulis dengan argumen yang baik dan benar ini, maka dapat dikatakan merekalah sebagai agen – agen gerakan sosial baru baik di dunia nyata maupun dunia maya. Generasi milenial dengan otonomi dan identitasnya inilah yang yang mempunyai potensi merawat kemerdekaan Indonesia ke depan. ***