Sabtu, April 27, 2024

Memerdekakan Kaum Tani

firdaus cahyadi
firdaus cahyadi
Firdaus Cahyadi adalah seorang ayah, blogger, penulis opini di media massa, konsultan analisis media. strategi komunikasi dan knowledge managment untuk organisasi masyarakat sipil serta trainer penulisan.

Oleh Firdaus Cahyadi

Soekarno dan Hatta, dwitunggal yang gigih berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dikenal memiliki banyak perbedaan dalam pandangan ekonomi-politik. Namun, mereka berdua ternyata memiliki persamaan dalam melihat kaum tani di Indonesia. Menurut Dr. Dawam Rahardjo, seperti ditulis dalam bukunya yang berjudul “Nasionalisme, Sosialisme dan Pragmatisme”, pemikiran Hatta sejalan dengan Soekarno yang menyimpulkan bahwa soko-guru (penyangga atau tiang) masyarakat Indonesia adalah petani.

Namun sayangnya, soko-guru masyarakat Indonesia, yang pernah menjadi inspirasi Bung Karno dalam merumuskan ideologi Marhaen, itu terus menerus digencet. Pergantian rejim pemerintahan tidak serta merta menghentikan penyingkiran petani dari sumber-sumber kehidupannya.

Di saat rejim Orde Baru berkuasa misalnya, kita melihat penyingkiran petani dalam proyek pembangunan bendungan di kawasan Kedungombo, Jawa Tengah. Proyek raksasa yang menyingkirkan hampir 3000-an petani itu didanai oleh Bank Dunia. Saat itu petani melakukan perlawanan. Namun, kemudian perlawanan itu dapat dipatahkan oleh pemerintahan otoriter Orde Baru dengan diawali memberikan stigma bahwa daerah Kedungombo dulunya adalah basis PKI (Partai Komunis Indonesia). Di era Orde Baru, bila stigma PKI sudah dilekatkan, maka perlakuan sekeji apapun akan segera mendapatkan pembenaran.

Waktu berlalu. Rejim otoritarian Orde Baru pun tumbang pada 1998. Namun itu tidak merubah pola penyingkiran terhadap soko-guru masyarakat Indonesia. Penyingkiran itu ditandai dengan makin sempitnya akses petani terhadap tanah. Menurut Dosen Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani, Ph.D, jika pada tahun 1980-an kepemilikan lahan pertanian di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, maka sekarang kepemilikan lahan pertanian itu tinggal 0,25  hektar saja. Meningkatnya jumlah petani gurem diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS).

Data BPS menyebutkan bahwa jumlah petani gurem dalam kurun waktu tahun 1993 hingga 2003 meningkat rata – rata sebesar 2,6 persen per tahunnya. Di Pulau Jawa jumlah petani gurem mencapai 75 persen dari seluruh total rumah tangga petani. Sebaliknya, penguasaan lahan yang sangat luas justru diperlihatkan oleh korporasi-korporasi besar. Di negeri ini, kurang lebih 470 perusahaan perkebunan telah menguasai 56,3 juta hektar lahan. Atau dengan kata lain, setiap perusahaan rata-rata menguasai 120 ribu hektar lahan.

Terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) menjadi Presiden Indonesia ke-7 semula membuat harapan baru bagi para petani. Hal itu disebabkan, selain Presiden Jokowi dikenal merakyat dan didukung partai politik yang membawa simbol-simbol Soekarno,  juga karena banyaknya aktivis yang dulu memperjuangkan hak-hak kaum tani telah merapat ke Istana Negara menjadi bagian dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Namun harapan itu kini nampaknya tinggal kenangan.

Maret 2017 misalnya, untuk kesekian kalinya petani Kendeng, Jawa Tengah mendatangi ke Istana Negara. Mereka ingin bertemu Presiden Jokowi. Kedatangan mereka bukan untuk mendapatkan bingkisan sepeda dari presiden. Kedatangan mereka hanya ingin mengadukan nasibnya yang terancam disingkirkan dari sumber-sumber kehidupannya akibat proyek pembangunan pabrik semen.

Sebenarnya, bukan kali ini saja petani Kendeng menggelar aksi protes. Sebelumnya, pada Desember 2016, petani-petani Kendeng melakukan jalan kaki hingga ratusan kilometer dari Rembang menuju Semarang. Tujuannya sederhana, mendesak pemerintah segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan izin pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng Utara.

Sebuah harapan yang wajar dan sederhana dari warga negara di sebuah negara hukum. Sebelumnya, para petani Kendeng menangkap sinyal bahwa pemerintah akan mengeluarkan ijin lingkungan baru bagi pembangunan pabrik semen. Kementerian BUMN dan DPR bahkan sudah satu suara untuk terus melanjutkan pembangunan pabrik semen itu. Bahkan beberapa hari sebelum para petani pejuang itu melakukan aksi jalan kaki, beberapa media massa arus utama kebanjiran iklan yang pesannya mendukung pembangunan pabrik semen di Kendeng.

Mengapa petani Kendeng begitu bersikeras menolak pembangunan pabrik semen di kawasannya? Alasannya sederhana. Mereka adalah para petani. Tanah dan air adalah sumber-sumber kehidupan bagi petani Kendeng. Pembangunan pabrik semen dinilai akan mengancam sumber air di pegunungan karst yang ada di pegunungan Kendeng. Dan itu artinya bencana bagi kehidupan mereka sebagai petani.

Penderitaan panjang soko-guru masyarakat Indonesia itu tidak hanya dialami oleh petani Kendeng. Petani Telukjambe, Kerawang juga mengalami hal yang sama. Petani Telukjambe juga datang ke Jakarta. Mereka tergusur dari tanah-tanah yag menjadi sumber kehidupan petani.

Cerita pilu nasib soku-guru masyarakat Indonesia terus berlanjut. Pada November 2016 silam, beberapa petani di Majalengka ditangkap dan mengalami kekerasan aparat keamanan. Penyebabnya, para petani itu ingin mempertahankan tanahnya yang akan digusur proyek pembangunan bandara internasional Jawa Barat.

Tidak hanya petani Jawa Barat yang tanahnya terancam digusur proyek bandara internasional. Petani di Kulon Progo, Yogyakarta juga mengalami hal yang sama. Tanah subur yang selama ini menjadi sumber penghidupan petani Kulonprogo akan hilang digantikan oleh bandara baru Yogyakarta. Tentu bandara internasional Yogyakarta bukan diperuntukan bagi para petani itu, namun bagi mereka kelas menengah yang ingin menghabiskan uangnya untuk berwisata di Kota Yogyakarta.

Soko-guru masyarakat Indonesia, yang menjadi kesimpulan pemikiran Soekarno dan Hatta, kini masih menderita. Akankah penderitaan kaum tani akan terus berlanjut di saat Indonesia menginjak usia ke-72 tahun? Merawat kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari upaya merawat soko guru ekonomi Indonesia, kaum tani.

(Firdaus Cahyadi, Oceanography at Hang Tuah University of Surabaya, Trainer Writing for Activist, OneWorld-Indonesia, Independent Researcher for Sustainable Development Issue).

firdaus cahyadi
firdaus cahyadi
Firdaus Cahyadi adalah seorang ayah, blogger, penulis opini di media massa, konsultan analisis media. strategi komunikasi dan knowledge managment untuk organisasi masyarakat sipil serta trainer penulisan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.