Oleh Yunita Maya
Syahdan, setiap malam menjelang tidur, seorang gadis cilik berwajah tak menarik direngkuh oleh kedua orangtuanya dan dihujani kata-kata pujian. “Selamat tidur, Cantik. Betapa beruntungnya kami memiliki anak seelok engkau.” Demikian tiap malam hingga tahun-tahun mendatang. Gadis cilik itu tidak berubah cantik, namun tumbuh mencintai dirinya sendiri. Ia tak menyadari, di balik kata-kata pujian yang membesarkan jiwa tersebut, orangtuanya diam-diam telah meletakkan ruh kemerdekaan. Ruh yang memerdekakannya dari rasa rendah diri, yang kelak hari mendorongnya tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Pribadi yang ke mana saja bisa menempatkan diri. Yang di manapun berada bisa mengukir prestasi, karena sejak awal ia fasih benar bagaimana menghargai diri sendiri.
Konsep mental seperti di atas kiranya merupakan perkara yang mutlak diperlukan dalam tataran berbangsa dan bernegara. Bahwasanya tiap-tiap bangsa dan negara memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Tak terkecuali Indonesia. Mari tengok sesaat: pada medio 1945, sebuah bangsa yang baru saja lahir setelah sebelumnya dijajah selama 350 tahun, telah berdiri jauh di depan dengan mengumandangkan: “Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Patut diperhatikan bahwa pada periode itu bangsa-bangsa barat yang mengklaim diri sebagai promotor demokrasi, bahkan masih terbelit dengan rantai isu dan kejahatan kemanusiaan. Inggris dengan isu apartheid di Afrika, okupasi di India, dan negara-negara lainnya. Belanda dengan Hindia Belanda-nya dan agitasi pada masyarakat Internasional mengenai Indonesia sebagai bangsa pemberontak. Jerman dengan genosida terhadap jutaan bangsa Yahudi, kaum jipsi, dan homoseksual. Amerika dengan segregasi ras yang mengilukan, memilukan, memalukan dalam segala aspek bahkan hingga derajat penghilangan nyawa tak terhitung kaum kulit hitam. Dan banyak lainnya. Indonesia, dengan luka-luka akibat penjajahan yang masih sangat segar pada tiap inci kulit arinya, secara kontradiktif justru melantangkan proklamasi kemanusiaan yang demikian berani dan demokratis. Kita menang telak. Demikian pula sesungguhnya dalam banyak perkara.
Dalam Pemilu Pertama 1955, perempuan Indonesia mendapatkan hak pilih 100% sama dengan kaum pria. Perempuan Amerika baru bisa mengikuti pemilu 1920; 144 tahun setelah negara itu menyatakan kemerdekaannya. Dan sementara Amerika, yang menyebut dirinya sendiri ‘Land of Freedom’, bergumul dengan beragam masalah ketimpangan dalam hal keadilan, kesetaraan, dan kebebasan itu sendiri dalam segala aspek dan ruang gender, Indonesia telah merdeka jauh hari sebelumnya. Pada Maret 1950, Agustine Magdalena Waworuntu, seorang perempuan, ditahbiskan sebagai Walikota Menado melalui pemilu terbatas. Bahkan jauh sebelum merdeka, Maria Walanda Maramis berhasil memerjuangkan hak pilih perempuan di Minahasaraad (DPRD era kolonial) tahun 1921.
Kebebasan berorganisasi telah pula dijalani perempuan Indonesia sejak era pergerakan, dengan mendirikan sekolah, menerbitkan majalah, pelatihan kegiatan ekonomi, dan beragam organisasi yang umumnya bertujuan mencapai persamaan derajat, pengakuan, dan perlakuan terhadap hak-hak perempuan. Perempuan-perempuan jajahan ini diakui berperan besar dalam upaya tercapainya kemerdekaan Indonesia dan pembentukan mental bangsa. Diawali dari Putri Mardika (1912, organisasi wanita pertama Indonesia, underbouw Budi Utomo), organisasi perempuan Indonesia tumbuh menjamur, pesat dan liat. Demikian pula Kartini Fonds (Dana Kartini yang diinisiasi oleh R.A. Kartini), mendirikan sekolah-sekolah di Jakarta (1913), Bogor (1913), Madiun (1914), Malang (1916), Cirebon (1916), Pekalongan (1917), Surabaya, dan Rembang.
Sejak 1928 perempuan Indonesia aktif menggelar kongres berskala nasional, bahkan mengirim dua utusan ke Kongres Perempuan Asia pada Januari 1931 di Lahore, India. Sebagai output didirikan Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA). Menarik diperbandingkan bahwa saat perempuan-perempuan terjajah itu sudah fasih beroganisasi dengan ragam cakupan seperti pendidikan, fungsi dan peran sosial serta ekonomi perempuan, kebangsaan, kajian keagamaan, bahkan isu human trafficking, perempuan Amerika baru diberdayakan di pemerintahan sejak PD II (1938 – 1945).
Sebagai negara yang mengklaim dirinya ‘Negara demokrasi modern pertama dan utama dunia’, butuh waktu panjang bagi Amerika untuk akhirnya menggelar pemilu demokratis. Kaum kulit hitam baru diijinkan memilih secara resmi pada tahun 1870. Hak yang terbatas pada kaum pria saja ini pada kenyataannya tidak pernah dilaksanakan. Baru setelah dikeluarkannya ‘Voting Right Acts of 1965’ (hampir 200 tahun setelah merdeka), segenap ras kulit hitam dapat benar-benar bebas menunaikan hak memilih mereka. Bandingkan dengan Indonesia yang disebut-sebut masih ‘terbata-bata’ dalam perkara demokrasi. Tahun 1955, dengan azas LUBER, Indonesia berhasil menggelar pemilu pertama yang benar-benar adil dan mengakomodir kepentingan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Bahkan Irian Barat yang masih dikuasai oleh Belandapun masuk dalam 16 daerah pemilihan. Tercatat lebih dari 39 juta orang (90% dari warga dengan hak pilih) memberikan hak suara dan mewakili 91,5% dari para pemilih terdaftar. Prosentase suara sah adalah 80% dari suara yang masuk, padahal 70% lebih rakyat Indonesia ketika itu masih buta huruf. Lebih menarik lagi, pemilih buta hurufpun diakomodir haknya memberikan suara dengan cara menusuk dalam segi empat yang mengapit tanda gambar pilihannya pada kertas suara.
Masih banyak catatan mengenai langkah Indonesia yang sekian tapak di depan bahkan bangsa-bangsa yang diklaim maju. Seribu sayang, rangkaian pencapaian itu kerap luput dari pemahaman kita sebagai anak bangsa. Bahkan ketika seseorang yang datang dari seberang lautan merendahkan Indonesia, kita justru memberi aplus padanya. Sedikit menengok ke belakang, pada hari Basuki Cahaya Purnama (Ahok) menerima kekalahan pada Pilkada putaran kedua, Daniel Ziv, seorang wartawan dan sineas asal Kanada yang filmnya ‘Jalanan’ meraih penghargaan di Korea, membuat pernyataan dalam akun medsosnya:“Indonesia may never see a political leader as clean as Ahok again. And maybe doesn’t deserve one. What a dark day.”
Ziv memang lama menetap di Indonesia. Namun tetap, lewat perspektifnya yang terbatas, pada kalimat pertama,”Indonesia may never see a political leader as clean as Ahok again,” Ziv berpikir bangsa ini sedemikian rendah hingga satu-satunya politisi yang bersih hanyalah Ahok seorang. Faktanya, sepanjang perjalanan sejarah Indonesia, politisi yang bersih selalu lahir dan berdiri menonjol di tiap jaman. Bung Hatta, Muhammad Yamin, Haji Oemar Said Cokroaminoto, Mr. Amir Syarifudin, Maria Walanda Maramis, Gus Dur, Kang Emil, dan banyak lainnya.