“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Begitulah paragraf pertama pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Pembukaan UUD 1945, rutin dibacakan setiap hari Senin, saat upacara bendera di sekolah-sekolah. Tujuannya, agar nilai-nilai yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945 itu dapat diresapi dan kemudian dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembukaan UUD 1945 itu pula tercantum, tujuan dari kemerdekaan Indonesia. Sehingga berbicara kemerdekaan tidak lengkap tanpa menyinggung pembukaan UUD 1945. Dengan kembali membaca dan meresapi pembukaan UUD 1945 itulah kita dapat melihat wajah bopeng perjalanan Indonesia selama 72 tahun Indonesia merdeka.
Wajah bopeng 72 tahun kemerdekaan Indonesia terjadi ketika anak-anak bangsa justru dihinakan dan dirampas hak-haknya di negeri yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Wajah bopeng itu terjadi di tahun 1965.
Sebuah kekacauan politik di Jakarta, sebulan setelah peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-20, telah menyebabkan ratusan ribu, bahkan jutaan warga dibantai tanpa proses pengadilan. Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200 ribu orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500 ribu sampai 1 juta orang. Benedict Anderson adalah seorang profesor emeritus dalam bidang Studi Internasional di Universitas Cornell.
Korban pembantaian atas nama pembersihan PKI bukan hanya terjadi di Jawa, namun juga di Bali dan Sumatera. Seperti ditulis di wikipedia, antara Desember 1965 dan awal 1966 misalnya, diperkirakan 80,000 orang Bali dibantai, sekitar 5 persen dari populasi pulau Bali saat itu, dan lebih banyak dari daerah manapun di Indonesia. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di seluruh Sumatera.
Korban pembantaian itu belum termasuk jumlah warga yang dipenjarakan selama bertahun-tahun yang juga dilakukan tanpa melalui proses pengadilan. Semua kekerasaan itu dilakukan atas nama pembersihan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kekacauan politik di Jakarta menjadikan PKI sebagai kambing hitam dari sebuah pemberontakan yang ingin menggulingkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuaaannya. Namun, hingga kini siapa dalang di balik kekacauan politik di Ibukota itu masih simpang siur. Pasalnya, Presiden Soekarno sendiri akhirnya tetap terguling dari kekuasaannya, justru setelah PKI dikambinghitamkan dalam sebuah kudeta yang gagal di akhir September 1965. Jadi siapa yang melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno, PKI atau ada pihak lain? Hingga kini masih misteri.
Di tengah ketidakjelasan kekacauan politik di Ibukota pada 1965 itulah, pembantaian dan pemenjaraan orang-orang yang dituduh terkait dengan PKI dilakukan. Tak jarang, korban kekerasaan setelah kekacauan 1965 adalah orang yang sama sekali tidak terkait dengan organisasi PKI.
Seperti ditulis dalam buku ‘GERWANI, Kisah Tapol Wanita dari Kamp Plantungan’, beberapa perempuan telah menjadi korban salah tangkap aparat setelah kekacauan politik di tahun 1965 itu. Salah satunya adalah Sumilah, di tahun 1965 masih berusia 14 tahun. Sumilah tidak pernah tahu apa keselahannya sehingga ditangkap aparat setelah kekacauan politik di Ibukota. Perempuan muda itu dipaksa mengakui bahwa ia dapat mengokang bedil (senapan). Setelah dipenjara tanpa proses pengadilan, akhirnya aparat mengakui bahwa Sumilah adalah korban salah tangkap. Perempuan yang dicari aparat adalah Sumilah dari desa lain.
Perempuan lain yang menjadi korban salah tangkap adalah Mimik, nama panggilan dari C.H Sumarmiyati. Ia dituduh sebagai Komandan Detasmen Wanita Merah dari lereng Gunung Merapi. Dalam tahanan Mimik diperlakukan secara kasar. Bahkan tak jarang aparat melakukan pelecehan seksual saat melakukan intrograsi terhadapnya. Hingga dibebaskan perempuan itu tidak pernah tahu apa kesalahannya sehingga ditangkap setelah peristiwa 1965.
Hingga 72 tahun kemerdekaan Indonesia, bukan hanya kekacauan politik di September 1965 yang masih misteri, namun juga tentang nasib korban dari peristiwa setelah itu. Hingga kini pemerintah Indonesia tidak pernah mengakui bahwa pembantaian dan pemenjaraan massal atas nama pembersihan orang-orang PKI itu sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Karena pemerintah tidak mengakuinya, maka hingga kini peristiwa itu masih menjadi wajah bopeng dari perjalanan berbangsa dan bernegara.
Sejarah akan mencatat bahwa pada suatu masa, di negeri yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsai ini, pernah terjadi pembantaian dan pemenjaraan massal. Kini, republik telah berusia 72 tahun. Sebuah usia yang cukup dewasa untuk mengakui bahwa telah terjadi kesalahan dalam memperlakukan warga negaranya di tahun 1965.
Pengakuan itu, berlahan akan menyembuhkan wajah bopeng sebelah dari perjalanan bangsa setelah kemerdekaan. Bukan hanya itu, pengakuan itu juga akan menjadi semacam komitmen bahwa pelanggaran hak-hak warganya tidak akan terulang lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaannya adalah adakah niat baik pemerintah untuk menyembuhkan wajah bopeng sejarah perjalanan bangsa ini di tahun 1965?
HUTRI72
***
Penulis : Firdaus Cahyadi
Tamansari Persada Blok E6/14Tamansari Persada Blok E6/14Bogor 16166, West Java, Indonesia
Hp.0815 132 756 98
email:firdaus_c@yahoo.com
Blog: http://daus1975.wordpress.com/
Employment History
Oct 2016 – Till now:
- Trainer Writing for Activist, OneWorld-Indonesia Trainer Writing for Most Significant Change, OneWorld-Indonesia
- Trainer Knowledge Management, OneWorld-Indonesia
- July 2016-Oct 2016: Consultant for Popular Writing, Puskapa-FISIP UI
- April 2015 – June 2016: Executive Director, OneWorld-Indonesia (Yayasan SatuDunia
- March 2016 : Consultant for Media Analysis, Reform the Reformers the Continuation (RtR‐C) Program, Kemitraan-Partnership