HUTRI72 – Tingkat Literasi di Indonesia
Sekarang, mari letakkan gadget kita. Coba amati sekitar kita. Kira-kira, ada berapa orang yang memegang buku dan membacanya?
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh UNESCO, pada tahun 2012 indeks tingkat membaca orang Indonesia hanyalah 0,001. Itu artinya, dari seribu penduduk, jumlah orang yang benar-benar serius membaca buku hanya 1 orang. Hal itu tentu saja menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi bangsa yang terkenal akan jumlah penduduknya terbanyak se-Asia Tenggara.
Masyarakat Indonesia lebih memilih menonton TV daripada membaca buku (survei tiga tahunan Badan Pusat Statistik tahun 2012 dengan persentase 91,67% menoton dan 17,66% membaca buku), membuka internet daripada mencari di ensiklopedia, bermain game daripada membaca buku. Bagi sebagian rakyat Indonesia, membaca adalah hal yang sangat membosankan.
Kalau kita melihat sekitar, maka rata-rata orang akan menyentuh gadget mereka, menggeser kesana kemari, dan bahkan yang lebih parah tertawa tidak jelas seperti orang gila. Mereka nampak seperti orang yang antisosial, tidak peduli dengan keadaan di sekitar mereka.
Orang-orang yang jarang membaca buku, membuka koran seperti ini biasanya akan menjadi korban dari berita palsu, atau yang lebih dikenal dengan sebutan hoax yang sebenarnya sangat berbahaya. Dewasa ini marak sekali berita-berita hoax bermunculan, menjamur seperti semut yang beranak pinak.
Mengapa berita hoax mudah menyebar? Kemudahan akses internet adalah salah satu faktornya. Meski begitu,kita tidak bisa menyalahkan sepihak, karena, bagaimanapun juga akses internet adalah sarana penghubung, yang akan bekerja sesuai dengan perintah.
Lantas, siapa yang salah? Tentu saja orang yang mengakses itu.
Penyebaran berita hoax kurang lebih begini. Seseorang mendapat sebuah berita atau meme dari facebook, yang berisi sebuah hinaan tentang golongan atau kelompoknya, atau juga berisi tentang keburukan golongan lain. Orang itu lantas menyebarkannya kembali ke media sosialnya yang lain, instagram, twitter, dan sebagainya. Dia menyebarkannya tanpa menggunakan akal sehat, tanpa perlu memeriksa kebenaran dari berita tersebut.
Berita itu dibaca lagi oleh pengikut orang tersebut, yang rata-rata satu golongan dengan dia. Pengikut-pengikutnya lantas ikut menyebarkan berita itu dan voila, sosial media sudah menjadi sarang hoax. Cukup bermodalkan layar gadget, seseorang bisa bertindak diluar rasionalitas, bertindak anarkis hanya dengan melihat suatu kasat mata yang tidak terbukti kebenarannya.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa orang tersebut tidak mencari tahu kebenaran isi berita tersebut?
Begini, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, salah satu penyebab mudahnya berita hoax tersebar adalah kurangnya minat baca di Indonesia, yang biasanya menyerang para kaum muda. Padahal, kaum muda adalah tumpuan bagi bangsa Indonesia untuk maju, mengembangkan apa yang sudah diperjuangkan oleh para pahlawan.
Orang yang sudah membaca sebuah berita yang sensasional, apalagi berita yang menyudutkan golongan lawan, merasa bahwa mereka tidak perlu meragukan kebenarannya lagi. Asal itu menguntungkan mereka, sebarkan, viralkan. Berita valid yang ada di koran? Tidak tahu. Berita valid yang ada di media massa online terpercaya? Hoax dikatakannya. Kan susah.
Ketika seseorang disodori sebuah bacaan, entah itu buku atau apapun, rata-rata orang akan menolak untuk membacanya apabila tulisan yang diberikan itu lebih dari sepuluh halaman, kecuali dalam keadaan terpaksa seperti ulangan membaca misalnya.
Menurut riset dari UNESCO, dalam setahun anak Indonesia hanya membaca buku 27 halaman. Itu adalah angka yang sangat memprihatinkan bagi dunia. Coba bayangkan, hanya 27 halaman. Bukankah itu berarti generasi penerus bangsa kita semakin rusak? Apakah generasi seperti itu dapat diharapkan?
Indonesia juga menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal literasi, hanya satu tingkat lebih baik dari Bostwana, sebuah negara yang berada di Afrika Selatan. Ini membuktikan bahwa literasi di Indonesia masih sangat memprihatinkan.
Mari kita buktikan. Coba tanyakan ke salah satu kenalan anda, boleh sepupu, orang tua anda, atau mungkin diri anda sendiri. Minggu ini, sudah ada berapa judul buku yang selesai dibaca? Kalau jangkauan waktunya terlalu pendek, ubah dari ‘minggu’ menjadi ‘bulan’. Kalau jawabannya masih tidak ada, ubah ‘bulan’ menjadi ‘tahun’.
Orang Indonesia pada umumnya jarang menghabiskan satu isi buku, bahkan dalam hitungan tahun sekalipun. Mereka lebih memilih memegang gadget, mencari informasi dari HP yang belum terbukti kebenarannya, atau mengajak chatting orang lain. Tak jarang kita menjumpai masyarakat yang seperti itu, seolah-olah masing-masing sudah terkotak-kotak dan diperbudak oleh sang gadget sendiri.
Mereka sudah melekat begitu dekat dengan gadget. Bahkan, generasi muda yang lahir diatas tahun 2007 kebanyakan sudah dikenalkan dengan gadget. Orang tua mereka seolah-olah merasa bahwa melihat anak mereka duduk tenang menonton channel youtube atau bermain game berarti sudah membahagiakan anak.
Padahal, tanpa mereka sadari, bukannya membahagiakan anak, justru membuat anak menderita, karena membuat anak kesepian dalam nilai moral, batin. Ketika masa muda seperti itu, anak butuh banyak bimbingan. Butuh banyak pembelajaran. Masa-masa seperti itu adalah masa-masa penting, dimana anak-anak akan meniru apa yang diajarkan kepada mereka.
Saat melihat orang tua mereka sibuk dengan gadget, maka anak mau tidak mau akan mengikuti gaya orang tua mereka. Dan sebagai orang tua, kita tidak berhak memarahi anak-anak kita ketika mereka sibuk bermain game seru di gadget saat ada ulangan menjelang esok hari, karena kita sendiri sudah mencontohkan hal yang buruk kepada anak kita
Seharusnya, pada masa-masa seperti itu, sebagai orang tua kita sebaiknya memperkenalkan dunia yang positif. Menumbuhkembangkan daya pikir dan kinerja otak mereka, membuat mereka aktif bertanya. Bukannya menyerahkan anak ke gadget dan mempercayakan kepintaran anak hanya ke sekolah dan botol vitamin saja.
Tentu saja pada masa seperti itu adalah masa yang paling tepat untuk memperkenalkan buku. Meski anak belum bisa membaca, paling tidak kita sudah memperkenalkan terlebih dahulu. Dengan begitu kita bisa dengan mudah menanamkan cinta literasi kepada anak sejak dini.
Menanamkan cinta literasi kepada anak tidak akan berjalan dengan lancar apabila kita sebagai orang tua sendiri tidak memiliki semangat literasi yang sama. Mungkin pada awalnya membaca itu membosankan, berat, kaku, membuat leher pegal, dan sebagainya. Dan lagi manfaatnya tidak terlihat secara langsung.
Namun, bisa jadi, saat anda sedang wawancara pekerjaan, atau anda sedang menjawab soal, isi buku yang anda baca itu tiba-tiba berguna bagi anda. Atau bisa juga dari sebuah buku mengubah cara pandang anda tentang sesuatu, mengubah cara pandang anda tentang dunia.
Indonesia mungkin sudah merdeka selama 72 tahun. Meski begitu, masih banyak kekurangan dari negeri kita tercinta ini. Memang, masalah yang dihadapi Indonesia ini besar, melibatkan banyak orang yang kita sendiri tidak dapat mengatasinya. Kita melihat disana sini, keruntuhan literasi merebak dimana-mana. Namun, kita tidak bisa hanya diam menonton itu semua. Kita harus membangun perubahan, dimulai dari diri kita sendiri.
Pada intinya, tujuan membaca buku hanya satu, yaitu mengubah cara pandang anda terhadap sesuatu.
Marcellus Michael Herman Kahari
13 Maret 2002
michaelkahari.mk@gmail.com