Belakangan ini di Negara kita ramai orang menyerukan: NKRI harga mati, Aku Indonesia, Aku Pancasila, lain sebagainya.
Pertanyaannya, saat kita gencar menyerukan semangat kebangsaan apakah benar cinta dan tahu bagaimana mencintai bangsa, tanah air, ini? Apakah kita sudah benar-benar merdeka dari segala bentuk “penjajahan”?
Dijajah Kepentingan Politik
Bung Karno pernah mengatakan Perjuangan (setelah kemerdekaan RI) lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.
Setelah Pemilihan Presiden 2014, masyarakat Indonesia seakan belum bisa beralih dari hiruk pikuk pesta demokrasi mengakibatkan munculnya dua kubu dalam masyarakat berdasarkan atas pilihan politik masa pilpres. Ada kubu yang masih euforia atas kemenangan pilihannya, ada yang tak berhenti menyesali seharusnya idolanya lah yang menjadi pemenang dan tak henti mengutuk kemenangan pihak lain. Mereka menjelma menjadi pencinta dan pembenci. Yang menyebabkan keduanya saling gontok satu sama lain.
Apa yang dilakukan oleh Presiden saat ini, selalu salah di mata pendukung kubu yang kemarin kalah. Sementara apapun yang dilakukan pemerintah saat ini selalu benar di mata pendukung yang menang. Orang yang berpikiran netral sekarang sepertinya langka. Yang sebelumnya mau bersuara untuk menyerukan ketidakadilan di negeri ini, sekarang berubah entah menjadi pencinta atau pembenci.
Sampai kapan kefanatikan itu berakhir? Sampai kapan bisa tersadarkan bahwa sedang dimanfaatkan elit politik untuk mencapai kepentingan mereka dengan kedamaian rakyat sebagai tumbalnya.
Bukan suka dan benci berlebihan yang dibutuhkan Negara dan bangsa untuk menjadi lebih baik. Tapi orang-orang yang berpikiran terbuka yang sama-sama bisa mengawal jalannya pemerintahan. Bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi obyektif kalau pemikirannya hanya berdasarkan alasan suka dan tidak suka kepada tokoh yang sedang berkuasa.
Belum usai ribut soal politik, ditambah lagi ribut mengenai munculnya paham radikal intoleran yang mengatas namakan agama. Mereka mendompleng demokrasi Indonesia untuk mewujudkan keinginan mendirikan Negara sesuai dengan yang mereka pahami.
Kelompok ini berteriak atas diskriminasi yang mereka alami di masa pemerintahan sekarang, di sisi lain mereka juga gencar menyuarakan kebencian terhadap kelompok etnis/agama yang berbeda dengan mereka secara masif dan terang-terangan.
Ironi. Menggunakan ruang demokrasi tapi bertujuan mengenyahkan demokrasi itu sendiri. Keberatan atas ketidak adilan dan diskriminasi, namun sendirinya melakukan hal yang tidak menghargai perbedaan.
Elit politik bersama rakyat seharusnya bisa mempersempit pergerakan kelompok intoleran, namun selama masih ada kepentingan politik dengan memanfaatkan kemunculan kelompok tersebut, adalah hil yang mustahal untuk dilakukan.
Dijajah oleh Televisi dan Sosial Media
Mengapa orang banyak percaya dengan hoax yang beredar di sosial media? Karena terlalu malas membaca buku.
Menurut studi “Most Littered Nation in The World” oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia berada di urutan ke 60 dari 61 negara mengenai minat membaca.[1] Persisnya berada di bawah Thailand dan di atas Bostwana. Meski secara infrastruktur pendukung minat baca, Indonesia melebihi beberapa Negara maju.
Orang Indonesia lebih gemar menonton televisi dan bermain sosial media, dibandingkan membaca buku, Padahal jika kita sudah membiasakan diri membaca buku terutama buku yang
bermutu dengan tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sendirinya bisa menyaring kabar yang beredar di internet atau obrolan di warung kopi tentang benar tidaknya. Sebaliknya, jika miskin literasi akan mudah terpengaruh dengan pemberitaan yang ramai beredar. apalagi jika berita yang provokatif.
Televisi seharusnya bisa menjadi sarana edukasi bagi masyarakat. Tapi ternyata tayangan televisi banyak yang tidak mendidik. Acara berita dan bincang-bincang isu aktual, kadang cenderung berpihak kepada kepentingan politik tertentu bahkan provokatif. Belum lagi tayangan kriminal, sinetron, dan hiburan yang tidak dapat dipetik manfaatnya bagi pemirsa.
Menjadi dilema pertelevisian saat ini. Di satu sisi televisi harus dapat mempertanggung jawabkan tayangan yang disajikan agar bermanfaat bagi masyarakat, namun di sisi lain ada kepentingan bisnis demi mendapatkan keuntungan besar.[2]
Jika kita terus-terusan diasupin dengan tontonan tak bermanfaat, ditambah dengan keengganan membaca buku yang bermutu, tidak menutup kemungkinan otak tambah tak terasah. Ditambah lagi dengan banyaknya waktu terbuang hanya untuk sosial media.
Tahun 2014 seorang pembuat film asal Inggris, Gary Turk, membuat sebuah film pendek yang berjudul “Look Up”. Video yang menjadi viral itu mengisahkan tentang kehidupan orang jaman sekarang yang dikuasai oleh sosial media (internet). Komentar pro-kontra didulang dari video tersebut.
Sungguh menyedihkan jika kehidupan kita didominasi oleh sosial media dan televisi, semacam terjajah. Karena waktu yang seharusnya berguna malah terbuang percuma.
Dijajah oleh Sifat Inferior
Suatu hari saya membaca tulisan di bawah gambar seorang selebriti tanah air pada laman sosial medianya, kira-kira isinya begini: “live now yah di xxx all about my new album. And also nyanyi live”.
Tulisan seperti itu banyak sekali dijumpai malah dianggap wajar. Orang lebih suka menggunakan bahasa asing dibanding bahasa sendiri meski terkadang dalam satu kalimat bahasanya campur-campur.
Bagi banyak orang, penggunaan bahasa asing terutama bahasa Inggris, dianggap dapat meningkatkan gengsi. Bahkan orang tua masa kini sudah memberikan pendidikan bahasa Inggris formal kepada anaknya sejak dini.
Bukan hanya cara berkomunikasi saja yang lebih banyak menggunakan bahasa Inggris namun juga berpengaruh terhadap penamaan ruang publik, acara formal, dan juga merk dagang. Sebagai contoh, anda bisa melihat tempat minum kopi (café) modern rata-rata menggunakan bahasa asing.
Bahasa asing selalu dianggap lebih menarik, tak perduli jika salah tata bahasa. Toh bukan bahasa utama (bahasa ibu). Ironi bukan? Jika begitu, kenapa tidak menggunakan bahasa Indonesia saja?
Orang kini lebih banyak menjadi pengkritik kesalahan berbahasa asing (Grammar Nazi) dibanding memperhatikan bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Memang benar bahwa bahasa asing perlu dipelajari agar kita tidak tertinggal kemajuan jaman dan mengerti komunikasi lintas Negara. Namun tidak berarti menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kita asli orang Indonesia, lahir, besar dan tinggal pun di Indonesia.
Tidak cuma bahasa asing yang menjamur pada masyarakat Indonesia, namun juga segala hal yang berbau asing. Terutama gaya hidup. Tidak selamanya budaya asing jelek, tentu ada hal-hal yang bisa diadopsi dari kebiasaan orang asing yang positif. Misalnya seperti membiasakan diri disiplin dalam antrian, tidak membuang sampah sembarangan, gemar membaca sejak dini. Meski begitu sebaiknya tidak harus menghilangkan adat kita sebagai orang Indonesia. Yang punya tata krama dan keramahan khas Indonesia, menghargai kebudayaan lokal, dan tetap memiliki jati diri sebagai orang Indonesia.
Sungguh disayangkan jika kita menghilangkan identitas kita sebagai orang Indonesia hanya karena ingin terlihat lebih keren. Semoga kita tidak melupakan peribahasa Indonesia yang mengatakan: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Dirgahayu Indonesia.
Mari sama-sama kita lepas dari rasa terjajah. Merdeka!
#HUTRI72 #LOMBAMENULIS
[1] http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia
[2] http://www.remotivi.or.id/amatan/37/Membaca-Gerak-Industri-Televisi
Bio Data Penulis.
Penulis saat ini sedang aktif menjadi “tukang gambar” bisa ditemui pada akun Instagram: @bookiner