Kembali pada khitah dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana pada Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945. “Bahwa sesungguhnya, kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Memaknai kemerdekaan tentu bebas dari segala bentuk ketertindasan. Ketertindasan yang dimaksud bukannya hanya ketertindasan akibat penjajahan bangsa kolonial, namun juga bisa terjadi penjajahan dari bangsa kita sendiri. Laksana Persiden Soekarno dalam suatu pidatonya mengingatkan bahwa, “perjuanganku lebih mudah ketimbang perjuangan kalian, karena musuh yang kalian hadapi adalah bangsa kalian sendiri”.
Penjajahan oleh bangsa sendiri itulah yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi. Marilah lanjutkan perjuangan para pahlawan dengan melawan penjajahan: korupsi di negeri ini.
Sebab daya rusak korupsi bukan semata merugikan kas negara, lebih parahnya, merobohkan tugu kesepakatan bersama yang berdasar pada rasa keadilan, yang pada mulanya menjadi cita-cita dalam social contract membentuk negara.
Korupsi secara sporadis menjelma penghancur karakter tiap individu dengan mengabaikan rasa percaya (trust) antar sesama. Seorang politikus korup membawa motif menggunakan segala macam cara guna meraih kekuasaan.
Dalam misi meraih kekuasaan itu, dengan mengedepankan kepentingan personal atau kelompok mereka, sehingga tersubordinasi kepentingan yang lebih besar: kepentingan bersama warga negara. Karakter mementingkan diri sendiri ini disebut juga dengan miopik.
Sialnya perilaku miopik itu muskil untuk dihilangkan. Meminjam ujaran Sang Leluhur kepada Mordo, muridnya, dalam film Doctor Strange (2016), We never lose our demons, we only learn to live above them.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah mengambil langkah antisipatif guna mereduksi perilaku eksploitatif miopik yang merugikan. Mari kita masuk pada langkah selanjutnya, menyusun strategi mengatasi perilaku miopik menjelma korupsi.
Dalam konteks ini, perilaku korupsi bisa dicegah dengan mengintroduksi Corruption Formula ala Robert Klitgaard: Corruption equals monopoly plus discretion minus accountability (C = M + D – A)
Langkah pertama tentunya dengan menguatkan transparansi. Semua kekayaan atau aset negara, proyek-proyek, dana parpol, pejabat publik (pusat dan daerah) serta keluarga dan kolega-koleganya harus ditunjukkan secara transparan kepada publik, melalui lembaga audit negara yang berwenang.
Kedua, para politikus dan pejabat publik harus dipaksa membangun integritas mereka, dengan menciptakan aturan bahwa semua tambahan kekayaan finansial, aset, dan harta-harta lainnya selama menjabat sebagai pengurus parpol (pusat dan daerah) dan para pejabat publik dan kolega-koleganya harus mempunyai underlying transaction yang bisa dipertanggungjawabkan.
Negara harus menciptakan kendala yang menyebabkan para politikus dan pejabat publik bisa mengambil keputusan bahwa perilaku korup mereka tidak layak dilakukan. Logika pragmatis para manusia miopik adalah suatu tindakan (korupsi) akan selalu layak dilakukan selama tambahan benefit yang didapat dari perilaku tersebut lebih besar daripada tambahan biaya yang mereka terima (Irawan, 2015).
Menghentikan perilaku korup hanya akan efektif jika negara bisa memberikan ekspektasi kepada calon pelakunya bahwa tambahan biaya ekses korupsi dapat lebih besar daripada manfaatnya. Di sinilah urgensi hukuman berat perlu diberikan atas tindakan yang terbukti secara hukum merugikan bangsa dan negara, kalau perlu dengan penjatuhan hukuman mati.
Akantetapi, tentu hal itu baru akan efektif jika lembaga penegak hukum bisa menjalankan tugasnya itu dengan baik. Sebab bila penegak hukum saja korup, bagaimana hendak menindak para koruptor. Yang ada malah mereka bekerjasama. Maka sebelum itu, yang paling awal harus direformasi dan dibersihkan dari jejaring korupsi adalah sistem peradilan. Termasuk aparatur penegak hukumnya, baik hakim, jaksa, juga polisi.
Lepas dari kerangka suprastruktur tersebut di atas, infrastruktur (penunjangnya) adalah upaya pencegahan benih-benih korupsi itu tumbuh. Di sini perlu dukungan dunia pendidikan.
Dalam dunia pendidikan ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan karakter antikorupsi pada anak. Sebagai contoh, pernahkah anda mendengan cerita tentang “Belajar Mengantre vs Matematika”?
Di situ dikisahkan tentang seorang guru yang mengatakan, sebagai guru ia tak terlalu cemas jika anak didiknya tak pandai matematika. Dia jauh lebih cemas jika mereka tak pandai mengantre. Ditanya kenapa, dengan penuh keyakinan dia menjawab cukup sekitar tiga bulan intensif untuk menguasai matematika. Untuk pandai mengantre dan mengingat pelajaran di balik proses mengantre, perlu setidaknya 12 tahun (Tjahyono, 2013).
Sebab di masa depannya nanti, tidak semua anak akan memilih profesi yang berhubungan langsung dengan matematika (kecuali keterampilan mendasar kabataku). Namun yang pasti, semua anak itu akan memerlukan etika dan moral (yang didapatkan dari pelajaran mengantre) sepanjang hidup mereka kelak.
Paling tidak ada lima nilai yang di dapat dari pembiasaan mengantre. Pertama, anak akan belajar manajemen waktu dengan baik, terencana, dan jika ingin mengantre paling depan, ia harus datang lebih awal. Kedua, anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba, terutama jika ia berada di antrean paling belakang. Ketiga, anak belajar menghormati hak orang lain (dan haknya sendiri), yang datang lebih awal dapat giliran lebih dulu. Keempat, anak belajar berdisiplin. Kelima, anak belajar kreatif memikirkan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan selama mengantre (di Jepang biasanya orang membaca buku saat mengantre).