Persoalan kita, dan umumnya terjadi di negara-negara berkembang, adalah urbanisasi. Urbanisasi ditengarai sebagai penyebab makin tebalnya awan kemiskinan di desa-desa. Farid Gaban, dalam CBT-nya Membangun Desa, Menagih Nawa Cita Jokowi, menyebut bahwa di balik nuansa pedesaan yang indah tersimpan sebuah misteri: pemiskinan di desa.
Pemiskinan di desa, menurut Farid Gaban, ditandai dengan ketidakadilan pembangunan. Ketidakadilan pembangunan itu bahkan dimulai sejak dalam pikiran. Desa diidentikan dengan ketertinggalan, kerap disimbolkan melalui ujaran-ujaran yang mengandung makna keterbelakangan: bodoh, miskin, udik dan sebagainya. Sementara kota menjadi simbol kemajuan, kepintaran, sekaligus keangkuhan.
Stigma yang terbenam lama itupun menjadi alasan orang-orang desa pergi ke kota. Dengan dalih memperbaiki kehidupan, desa-desa ditinggalkan. Bukan hanya desa, melainkan kebijaksanaan lokal pun ditanggalkan. Urbanisasi memang bukan hanya perpindahan penduduk dari desa ke kota, melainkan juga tentang perubahan seluruh cara berhidupan (Lefebrve 1970/2003, dalam Rachman 2015:9).
Urbanisasi dan Dunia Pendidikan
Dunia pendidikan telah membingkai paradigma kita tentang urbanisasi. Kita telah memberi anggukan tegas bahwa urbanisasi adalah ini dan itu, penyebabnya ini dan itu, dan solusinya adalah ini dan itu. Secara sederhana, dunia pendidikan telah menempatkan dirinya sebagai solusi. Kita seolah-olah tidak memiliki kesempatan untuk memandang tepi lain dari urbanisasi, misalnya memandang bahwa dunia pendidikanlah yang telah menjadi penyumbang terbesar dan signifikan dalam urbanisasi.
Bila kita melakukan zoom out, kebanyakan motif orang desa pergi ke kota adalah untuk memperbaiki ekonomi. Tetapi bila kita melakukan zoom in, orang-orang yang pergi ke kota tidak melulu soal itu. Ada magnet lain yang tak kalah besar, yang telah membuat orang desa memiliki motivasi besar meninggalkan desanya. Magnet itu bernama pendidikan.
Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin tinggi pula motivasi mereka untuk meninggalkan desanya (Rachman, 2015:8). Sayangnya, motivasi mengecap pendidikan tinggi itu tidak berbanding lurus dengan keinginan memajukan desa. Beberapa dari mereka yang berhasil menjadi kelas menengah, justru memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya. Mereka tinggal di pinggiran kota dengan cara membeli atau menyewa tanah dan rumah, pula melengkapi atribut kehidupan dengan membeli motor dan mobil. Jalanan pun menjadi semakin macet. Lalu untuk mengurai hal tersebut, pemerintah menambah fasilitas dan infrastruktur jalan. Kebijakan tersebut membuat kesenjangan pembangunan antara kota dan kampung kian menjurang. Inilah yang disebut Farid Gaban sebagai ketidakadilan pembangunan. Rahimnya ada pada dunia pendidikan yang pro urbanisasi dan belum berpihak pada ruralisasi.
Karena ditinggalkan orang-orang pandai yang berusia produktif, maka di desa hanya tersisa orang-orang “biasa” dan hidupnya tidak terlalu termotivasi. Nah, di tangan merekalah desa-desa dikelola. Akibatnya, produktivitas pertanian baik dari segi kualitas maupun kuantitas, menjadi menurun. Karena putus asa, tanah-tanah pertanian pun dijual. Orang-orang desa terpaksa hidup tanpa memiliki lahan untuk bertani. Inilah yang disebut Farid Gaban sebagai terancamnya ketahanan pangan nasional: produktivitas pertanian menurun di tengah kebutuhan yang semakin tinggi, kebijakan impor pangan, ketergantungan produk pangan luar dan harga yang terus melangit. Itu bisa kita rasakan hari ini.
Yang lebih mengerikan dari hal di atas adalah munculnya anggapan bahwa hidup di desa dengan mengandalkan sektor pertanian sudah tak menjanjikan masa depan. Terjadilah apa yang disebut para peneliti masalah agraria sebagai depeasantization (Araghi 1995, McMichael 2014), yakni makin berkurangnya orang desa yang bekerja sebagai petani. Eric Hobsbwam (1994) menyebutnya sebagai “kematian petani”.
Karena di desa hanya menjadi penggarap atau buruh tani dan tak lagi menjadi pemilik lahan, aset terakhir yang dimiliki desa itu pun pergi ke kota. Berbekal pendidikan yang minim, mereka bekerja sebagai kelas terendah, hidup di wilayah-wilayah kumuh dan marjinal di kota-kota (Jellinek, 1977) dan berpindah-pindah (Jan Breman, 1977). Mereka inilah yang hari ini kita saksikan di televisi sebagai korban penggusuran.
Merdeka dengan Revolusi Mental
Di era Presiden Jokowi, desa mendapatkan perhatian. Sudah tiga tahun UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diimplementasikan. Melalui APBN, pada 2017 ini, desa telah diguyur dana sebesar Rp 60 triliun. Dengan angka sebesar itu, setiap desa memiliki otoritas mengelola sumber daya keuangannya sebesar Rp 800 juta sampai Rp 1,1 milyar. Akan tetapi, meskipun desa sudah memiliki “modal” yang lumayan besar, tetap saja belum mampu menghadapi pesona kota. Pasca Lebaran 2017 misalnya, seperti yang dilansir oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, jumlah pendatang baru ke Jakarta mencapai 70.752 orang.
Di sini peran dunia pendidikan menemukan momentumnya dalam melakukan reposisi, dari yang pro urbanisasi menjadi pro ruralisasi. Bagaimanapun, pendidikan masih diimani sebagai gerbang kemerdekaan. Dunia pendidikan memiliki kewajiban untuk membuka paradigma peserta didiknya, bukan hanya tentang ilmu pengetahuan dan perkembangan dunia beserta kompleksitasnya, tetapi juga menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan kecintaan pada tanah lahir. Dunia pendidikan harus mampu menjadi tangan kanan kebijakan pemerintah dalam upaya melakukan revolusi mental. Kebijakan-kebijakan dunia pendidikan harus berorientasi memerdekakan mental. Karena sejatinya, kemerdekaan yang paling hakiki adalah kemerdekaan mental.
Karena jika mental tidak mendapatkan perhatian, maka dana desa yang dikucurkan pemerintah menjadi mubazir. Bukan hanya karena jumlah pendatang baru ke kota semakin meningkat meski desa sudah diguyur dana besar, melainkan karena dana desa justru menjadi pemicu penyakit mental. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sejak 2016 hingga pertengahan 2017 telah terjadi 110 kasus korupsi anggara desa yang melibatkan 139 pelaku yang terdiri atas kepala desa, perangkat desa dan istri kepala desa. Jumlah kerugian yang ditanggung negara mencapai Rp 30 milyar (Kompas.com, 11/08/2017).
Dalam artikel ini, saya menawarkan dua hal. Pertama, melalui intervensi pemerintah, mesti ada dari dana desa yang dialokasikan untuk memberikan beasiswa kepada orang terbaik di desa agar mengenyam pendidikan tinggi. Jurusan atau program keahliannya pun harus disesuaikan dengan potensi desa. Misalnya jurusan pertanian, perkebunan, teknologi pangan, perikanan, kelautan, pariwisata dan sebagainya. Pemerintah, melalui kementrian terkait seperti Kementrian Desa, Kemendikbud, Kemenristekdikti, Kementrian Pertanian, Kementrian Perikanan dan Kelautan, Kementrian Pariwisata dan sebagainya, harus membuat semacam kerjasama berkelanjutan. Kemudian, buatlah sebuah mekanisme yang membuat orang desa penerima beasiswa itu kembali dan membangun desa setelah merampungkan studinya.
Kedua, pemerintah harus menambah pusat-pusat pendidikan keterampilan di desa. Sekolah kejuruan dan perguruan tinggi berbiaya murah yang coraknya sesuai dengan keunggulan desa-desa di sekitarnya harus ditambah. Misalnya sekolah kejuruan dan perguruan tinggi dengan corak pertanian, perkebunan, perikanan, kelautan dan pariwisata. Adanya sekolah kejuruan dan perguruan tinggi yang bercorak pada potensi desa, selain meminimalisasi urbanisasi, juga dalam rangka menyiapkan orang desa menghadapi persaingan global. Target minimalnya, agar orang desa bisa mengelola sumber daya desanya sendiri.
Orang desa tidak boleh hanya menjadi penonton bagi perubahan desanya. Orang desa harus memiliki otonomi atas desanya. Orang desa harus merdeka dan berdaulat di desanya. Di Indonesianya.
#HUTRI72
Biodata
Atih Ardiansyah, M.I.Kom
Lahir di Pandeglang, 12 Juni 1987
Email: fatihzam@gmail.com