Oleh: Kirana Mahdiah Sulaeman
Siang itu, di atas motor bebek yang saya tumpangi bersama seorang petani jagung, saya melewati jalanan terjal dan berbatu-batu ke atas puncak gunung Kendeng Utara. Debu-debu beracun beterbangan seperti lalat, kendaraan berat naik-turun gunung melewati saya. Sesampainya di puncak, saya disapa hamparan pertambangan semen yang menyerupai bangkai ekologi yang mengerikan. Sejauh mata memandang, hanya ada tanah yang tandus, dan juga suara alat-alat berat yang tak berhenti menguruk dan meledakkan bebatuan. Bau kematian ada di mana-mana.
Sebelum saya melakukan perjalanan ini, saya tahu bahwa Pegunungan Kendeng Utara, Jawa Tengah, merupakan surga bagi industri semen. Sejumlah pabrik semen besar seperti Semen Indonesia, Holcim, dan Indocement telah menancapkan kakinya di sana. Seperti yang saya dengar dari kesaksian para petani Kendeng, sejak gunung ditambang, sumber air pertanian yaitu Cekungan Air Tanah Watu Putih mulai kehilangan debit air. Ketika sumber air tidak ada, terancamlah pertanian yang menjadi sumber kehidupan warga sekitar.
Selama bertahun-tahun, para petani Kendeng giat memberontak dan bersikukuh tak akan berhenti melawan penambangan semen sampai titik darah penghabisan. Menurut mereka, tiga jati diri bangsa– udara, tanah, dan air–harus dilindungi dan tak dapat diganggu gugat.
Saya memperhatikan bahwa yang menjadi garda terdepan pemberontakan ini adalah ibu-ibu petani. Para ibu ini merupakan representasi dari alam Indonesia yang dipotret oleh nenek moyang kita dahulu sebagai sosok perempuan atau ibu. Hal ini bisa dilihat dari adanya tokoh seperti Dewi Sri atau Dewi Bumi. Dalam sejumlah lagu nasional, kita juga bisa menemukan asosiasi ini; “Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati..” dan “Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku…” Nenek moyang kita menilai, seperti ibu yang memberi air susu kepada anaknya, alam Indonesia memberi air bersih untuk kita. Seperti ibu yang meyediakan makanan tanpa pamrih, Indonesia memberikan tumbuhan dan hewan dengan gratis.
Yu Sukinah, salah satu ibu petani Kendeng, mengatakan kepada saya bahwa bahwa melindungi Indonesia sama seperti melindungi ibu sendiri. Mengeksploitasi alam Pertiwi secara sembarangan tak ada bedanya dengan melecehkan dan melacur sang ibu.
Indonesia, di tahun ke-72 nya resmi berdiri sebagai bangsa berdaulat, masih kesulitan membuktikan diri atas identitas itu dengan sempurna. Penjajahan dengan kerja rodi memang sudah tidak lagi dialami, namun masih ada penjajahan alam di tangan-tangan mereka yang tak bertanggung jawab. Penjajahan jenis ini dilakukan diam-diam, berkamuflase, sehingga jarang disadari orang bahwa akibatnya besar bagi kita hingga anak cucu kelak.
Di Pegunungan Kendeng Utara, saya menyaksikan betapa pelacuran terhadap sang ibu sudah berada dalam tahap yang mengerikan. Rahimnya, Cekungan Air Tanah Watu Putih, mulai terancam eksistensinya. Salah satu sumber air yang saya datangi, Brubulan, di Desa Tahunan, sudah menyiapkan tubuhnya untuk dibantai. Dalam hati saya membatin, kesuburan yang menghampar di pegunungan ini sampai kapan ada?
Penambangan di Kendeng nyatanya hanyalah satu dari sekian banyak penambangan di berbagai daerah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Siapa yang menyangka, penambangan seperti ini sudah ada di mana-mana, menggurita, dan merusak ekosistem Ibu Pertiwi.
Di Jambi, Sumatera Selatan, misalnya, terjadi penambangan emas dan pasir besar-besaran yang mengakibatkan sungai-sungai menjadi keruh. Sungai Trambesi, Batanghari sudah kehilangan nyawanya, para nelayan semakin sulit menangkap ikan-ikan yang dulunya melimpah ruah.
Di Desa Makroman, Samarinda, perusahaan batu bara juga menghisap sumber air pertanian warga. Hasil beras, buah-buahan, dan ikan air tawar pun semakin menipis dari hari ke hari.
Lantas, apakah yang menjadi penyebab perusakan alam seperti ini? Sebagai manusia, kita memiliki tiga model dalam cara melihat alam. Cara pertama adalah sebuah pandangan yang disebut konservasionalistik. Jika melihat gunung, laut, sungai, semua itu dianggap tak boleh diubah dan hanya boleh dikonservasi. Pandangan kedua disebut developmentalistik. Setiap kali melihat alam, kelompok ini tidak tahan untuk tidak mengeruk semuanya sebagai sebuah aset ekonomi. Dan yang ketiga adalah pandangan ekopopulistik. Kelompok ini menganggap manusia dan alam berada dalam satu ekosistem yang lengkap. Jika satu rusak, maka rusak pula yang lainnya.
Apa yang terjadi di Indonesia kini adalah mengakarnya pandangan developmentalistik. Alam dianggap boleh dieksploitasi seenaknya untuk menghasilkan uang sebanyak mungkin. Padahal, jika seluruh alam habis terjual, tidak ada manusia yang bisa makan dengan uang.
Tujuh puluh dua tahun berdiri, Indonesia belum lepas dari kutukan penjajahan dalam bentuk ini. Tujuh puluh dua tahun lalu, ketika pendiri bangsa kita mengikrarkan proklamasi kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56, mereka tentu tidak menginginkan perusakan alam separah dan setamak ini.
Jika mengikuti hati nurani, seharusnya tak ada manusia yang berani menghinakan tubuh Ibu Pertiwi. Seharusnya kita bersedia menjadi pengawalnya, sama seperti para petani Kendeng yang terus berjuang menjaga tubuh sang ibu yang hendak dijual murah, hingga kini.
Dua bulan setelah kunjungan saya itu, saya mendengar para ibu petani Kendeng jauh-jauh dari Jawa mendatangi Istana Presiden untuk berdemonstrasi. Disiram terik matahari kota Jakarta, ibu-ibu gagah ini menyemen kaki sendiri, sembari menyenandungkan sebuah tembang jawa yang syahdu dan menyayat hati;
“Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili. Ibu bumi sudah memberi, ibu bumi disakiti, ibu bumi akan mengadili…” #HUTRI72
BIODATA PENULIS
Nama: Kirana Mahdiah Sulaeman
TTL: Qom, 15 November 2000
Pendidikan: Kelas 2 SMA Homeschooling Pewaris Bangsa, Bandung
Alamat: Jl Gradiul No. 171 Rancaekek Bandung
Nomor tlp: 081332643454
Email: kiranasulaeman@yahoo.com