Ketika Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Johannes Latuharhary, Gusti Ketut Pudja dan para pendiri republik ini memulai mimpi besar akan sebuah bangsa yang merdeka, mereka semua punya kesadaran yang sama bahwa bangsa ini memiliki karunia luar biasa sekaligus potensi konflik yang besar: kebhinnekaan. Kesadaran itulah yang membuat para pendiri bangsa yang memiliki perbedaan ideologi dan latar belakang mampu bersiasat dengan lihai antara memperjuangkan kepentingan kelompok mereka sekaligus menghargai dan mengakomodasi pihak lain demi memperjuangkan sebuah negara bhinneka bernama Indonesia.
Nyatanya, kekhawatiran para pendiri republik mengenai keberagaman sebagai malapetaka jika tidak dikelola dengan baik terbukti dalam rentang perjalanan bangsa. Berbagai konflik kekerasan bernuansa SARA mengoyak kebersamaan anak bangsa. Sebut saja beberapa tragedi seperti kekerasan 1965, amarah dan amuk massa pada tahun 1998, konflik kekerasan yang memecah belah persaudaraan di Ambon dan Maluku, konflik berdarah di Sampit Kalimantan tahun 2000, juga tragedi yang menimpa kelompok Syiah di Sampang Madura tahun 2012.
Selain itu, kekerasan non-fisik berupa diskriminasi masih dirasakan sebagian anak negeri hanya karena latar belakang yang mereka miliki. Misalnya diskriminasi yang terjadi pada jemaah Ahmadiyah, sebagian umat Kristiani yang kesulitan mendirikan tempat ibadah, atau tidak adanya pengakuan terhadap penganut agama-agama lokal.
Pertanyaannya, bagaimana kita akan mewariskan negeri ini pada anak-anak kita kelak? Sejauh mana generasi muda saat mewarisi kesadaran keberagaman sebagaimana yang dimiliki para pendiri bangsa?
Pertanyaan tersebut sangat relevan mengingat hari-hari ini kebhinnekaan Indonesia sedang mendapat tantangan yang begitu besar. Kemajemukan bangsa sedang diuji oleh munculnya beberapa kelompok yang berupaya menyeragamkan konsep keindonesiaan di atas identitas yang bersifat tunggal. Terlepas dari seberapa besar kelompok ini berkembang di masyarakat, namun yang patut dikhawatirkan adalah bagaimana upaya kelompok-kelompok tersebut dalam menggunakan media informasi sebagai senjata ampuh untuk mengaburkan fakta sejarah dan membangun “kesadaran baru” kepada anak-anak muda, yakni sebuah negara yang didirikan di atas identitas agama.
Lihatlah fenomena pemutarbalikan sejarah lewat internet dan media sosial yang seolah tak terkendali. Di media sosial, sejarah dengan mudahnya diubah lewat postingan yang mengesampingkan fakta dan etika. Di banyak situs berita abal-abal, banyak tulisan yang mengumbar kebencian dan mengaburkan peran kelompok suku, agama atau etnis tertentu dalam mewujudkan Indonesia merdeka. Misalnya pernyataan konyol tentang pahlawan kafir, berita hoax tidak ada keturunan Tionghoa yang berjuang untuk Indonesia dan berbagai informasi murahan lainnya yang dibuat untuk meraih kepentingan sesaat atau mendapat popularitas belaka.
Meski beberapa informasi terkesan lucu dan mengada-ada, kecenderungan memutarbalikkan sejarah dan penyebaran berita palsu tidak bisa dianggap remeh, tetapi serupa bom waktu yang bisa menghancurkan. Dampaknya mulai terlihat dari semakin banyaknya anak-anak muda yang gemar menyalahkan orang lain dan menganggap Indonesia hanya didirikan oleh kelompok satu agama saja, remaja-remaja yang mudah diprovokasi dan dicuci otaknya bahwa Indonesia didirikan oleh kelompok etnis tertentu, atau generasi yang gampang terbakar amarahnya hanya karena tidak memiliki fakta yang berimbang dan mencerahkan tentang sejarah bangsa mereka sendiri.
Menjadi tantangan bagi orang tua, pendidik dan setiap orang yang peduli pada kebhinekaan untuk menghidupkan kesadaran tentang keberagaman bangsa melalui penyampaian informasi yang adil dan berimbang tentang sejarah bangsa kepada anak-anak muda. Meminjam teori generasi, tugas tersebut terutama menjadi tanggung jawab generasi milenial atau generasi Y, yakni orang-orang yang lahir rentang waktu 1980-1997, berusia paling tua berusia 35 tahun dan saat ini menjadi pemain utama dari sistem sosial ekonomi masyarakat. Merekalah yang berperan besar membangun kesadaran kebhinnekaan dan Indonesia yang majemuk kepada generasi Z, yakni anak-anak yang lahir rentang waktu 2000-2011 atau yang lahir saat internet menjadi sumber informasi utama dan generasi sesudahnya, yaitu generasi Alfa yang lahir mulai tahun 2010 dan seterusnya, sehingga generasi bangsa ini memiliki kesadaran sama dengan para pendiri bangsa ini yang memiliki beragam latar belakang tetapi tetap hidup rukun berdampingan.
Generasi muda saat ini memang tidak bisa lepas dari telepon pintar atau interaksi di media sosial, tetapi sangat penting untuk memfasilitasi mereka untuk tetap mencari informasi dan referensi dari banyak sumber. Banyak cara bisa dilakukan seperti menjaga kebiasaan membaca buku, membangun ruang-ruang diskusi tentang sejarah bangsa –termasuk catatan-catatan konflik kekerasan yang pernah ada, atau sekedar mengobrol sederhana mengenai persoalan sosial yang terjadi. Hanya dengan begitu, anak-anak akan tumbuh dalam ruang kritis dan berfikir terbuka dan menghargai keberagaman.
Mengingat masa lalu menjadi salah satu cara mengisi kemerdekaan. Menjaga ingatan bahwa para pendiri bangsa ini pernah begitu lapang dada menerima perbedaan, sekaligus menyimpan memori bahwa bangsa besar ini pernah tercabik konflik kekerasan dan menjadikannya bahan refleksi bersama. Dengan menjaga ingatan kolektif sejarah bangsa, sesungguhnya kita sedang merawat harapan bahwa negara ini tetap menjadi rumah yang ramah bagi generasi mendatang.
#HUTRI72
Saefudin Amsa
Penulis adalah peminat masalah sosial keagamaan, tinggal di Semarang
Email : ka_amsa@yahoo.com