Apa cara terbaik untuk memperingati kemerdekaan? Dengan main panjat pinang, balap karung, atau memasang bendera terbesar di atas tebing? Ataukah pertanyaan ini yang tak perlu kuajukan?
Lupakanlah bila semua itu mengganggu pikiran. Namun untuk poin kedua, selebrasi kemerdekaan dengan memasang bendera di atas tebing pada tahun lalu, telah memberi mudarat pada kawan saya. Motornya dicuri oleh orang senegaranya sendiri! Bukan bermaksud berlebihan, tapi demikian kenyataannya, di hari kemerdekaan, masih ada rakyat belum merdeka dari perampasan hak.
Tujuh belas hari pra upacara peringatan kemerdekaan tahun ini, ada pembubaran yang dilakukan aparat keamanan kepada International Peoples Tribunal (IPT) 65. Padahal, dalam UUD 1945 pasal 28E menyebutkan, bahwa pelarangan/pemberangusan/pembubaran paksa atas pertemuan dan diskusi adalah tindakan yang mencederai hak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Persoalan ini tentu semakin membuat Indonesia yang kini berusia 72 tahun makin penuh dosa.
Mirisnya, tindakan yang tak memerdekakan suara rakyat itu dilegitimasi via UU ITE, dan diperkebal oleh Perppu Ormas. Sehingga jaminan kebebasan yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 28E tersebut sudah tak ada artinya lagi. Jangan heran kalau di kemudian hari, akan banyak suara dan sumber suara yang dibungkam. Karena tindakan tersebut sudah mendapat hukum yang mubah di negeri demokrasi ini.
Kondisi ini seolah mengesankan agar masyarakat tak perlu banyak terlibat dalam praktek demokrasi di tanah ibu pertiwi. Padahal warga negara bukan hanya dilahirkan juga melahirkan, bermain, sekolah, kerja, menikah, lalu mati saja pada ujungnya. Justru dengan menjungjung tinggi kebebasan bersuara inilah yang dapat menentukan kelancaran kegiatan tersebut. Kata John Stuart Mill, manusia harus bebas untuk membentuk pendapat dan mengungkapkan pendapatnya tanpa syarat, sebab ada kodrat intelektual pada dirinya![1]
Jangan sampai regulasi seperti UU Penanganan Konflik Sosial, UU Keamanan Nasional, UU Intelijen, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Ormas, dan Perppu No.2 tahun 2017 tentang Organisasi kemasyarakatan, menuai anggapan buruk masyarakat bahwa arah negara semakin fasis dan melegitimasi tindakan anti-demokrasi.
Di usia ke-72 ini, seharusnya masalah penganiayaan pendapat sebagaimana diuraikan di atas tak perlu ada lagi. Lantaran persoalan tersebut sudah sangat kuno. Bahkan sudah ada sejak zaman Socrates. Kemudian demi merawat kemerdekaan Indonesia, sah-sah saja bila saya bertitik tolak dari sikap skeptis seperti ini. Dan kemerdekaan Indonesia itu memang perlu diragukan, apalagi saat mengingat uraian Soetan Sjahrir dalam Perjoeangan Kita (1945):
Bagi rakyat jelata nyata bahwa semboyan “merdeka” itu tidak saja berarti Negara Indonesia yang berdaulat, pun tidak pula saja bendera merah-putih baginya berarti simbol persatuan dan cita-cita bangsa dan negara, akan tetapi terutama kemerdekaan dirinya sendiri dari sewenang-wenang, dari kelaparan dan kesengsaraan, dan merah-putih baginya terutama simbol perjuangannya itu, yaitu perjuangan kerakyatan.
Pada intinya ialah dua hal. Yakni bagaimana kemerdekaan itu tak cukup dengan dapat pengakuan dari negeri lain. Karena kemerdekaan yang sesungguhnya ada pada pengakuan diri sendiri, diri bangsa Indonesia itu sendiri.
Pernyataan itu dikeluarkan Bung Sjahrir di tengah kecamuk revolusi Indonesia menuju negara Republik. Dan sayangnya, bahkan saat ‘Revolusi Mental’ didengungkan, pendapat tersebut masih relevan. Kemerdekaan Indonesia masih diandalkan dengan satu syarat, yakni pengakuan dari negara lain saja, tapi secara dirinya sendiri belum mengakuinya. Kalau pun ada pengakuan, itu juga cenderung semu, sekadar selebrasi simbolik dengan pernak-pernik simbol negara di acara “tujuh belasan”.
Seorang petani di Majalengka mengaku pada kawan saya bahwa dirinya merasa belum merdeka, sehingga ia menganggap tak perlu memasang bendera merah putih di depan rumahnya.
Saya kira wajar bila Indonesia masih cenderung ragu untuk mengakui dirinya sudah merdeka. Lantaran rakyatnya yang berjumlah 257 juta orang itu sedang kebagian tanggungan utang sebesar Rp14.268.482, dari total beban yang ditanggung Rp3.667 triliun. Sebagian dari 257 juta orang itu ada yang berani mengaku diri telah merdeka. Karena menurutnya, utang ini tak membahayakan negara. Dalih ‘tak membahayakan’ itu katanya karena “Rasio utang RI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) belum lebih dari 30 persen.”
Menanggapi ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menasehati kita agar tidak takut dengan utang sebesar itu, karena Indonesia punya banyak harta. Sementara itu, Presiden Joko Widodo mencuci mukanya saat dinilai sebagian masyarakat sebagai pemimpin yang otoriter, dengan kalimat “Masa wajah gini kok dibilang diktator”.
Namun, dalam merawat kemerdekaan, tak hanya cukup dengan wejangan menteri dan cuci muka presiden seperti itu saja. Ada perkara lain yang lebih nyata untuk dilakukan pemerintah dibandingkan dengan itu. Salah satunya dengan membuka diri kepada publik terhadap seluruh kebijakan yang ia keluarkan. Bukan justru main umpet-umpetan dan bersembunyi di balik regulasi yang dibuatnya sendiri. Merawat kemerdekaan sama dengan merawat demokrasi.
Indonesia harus mengakui dirinya merdeka. Agar bisa menegasikan anggapan Berto Tukan dan Martin Suryajaya yang menganggap bahwa Indonesia ada di mana-mana, kecuali di Indonesia.[11]
#HUTRI72 #MERAWATKEMERDEKAANKITA
—————–
[1] John Stuart Mill. 1996. On Liberty: Perihal Kebebasan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh Abdul Hamid, kelahiran Tangerang, 11 Agustus 1995, saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Jurusan Ilmu Komunikasi Prodi Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Alamat di Kp. Ranca Gede Desa Munjul RT. 01 RW. 06 Kecamatan Solear, Kabupaten Tangerang, Banten. Sekarang berdomisili di Desa Cipadung, Kota Bandung.
Penulis aktif di Pers Mahasiswa HMJ Jurnalistik: jurnalposmedia.com sebagai Pimpinan Umum, aktif juga di UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman UIN Bandung, suka menulis fiksi dan nonfiksi.
Email: abdulhamidsumantri@student.uinsgd.ac.id
WA: 085288979086