Jumat, April 19, 2024

HUTRI72 – Kemerdekaan dan Perjuangan yang Belum Usai

eunikecahya
eunikecahya
Penulis, Pembaca, Pengamat dan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro

Kemerdekaan, kebebasan dan kesatuan, setidaknya tiga kata itulah yang dapat menggambarkan kemeriahan bulan kedelapan setiap tahunnya di seluruh pelosok Indonesia. Rakyat Indonesia selalu memiliki cara unik untuk merayakan dan memperingati hari diproklamirkan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Setidaknya setiap tahunnya, kita diterpa dengan berbagai informasi tentang prosesi perlombaan hingga jejeran bendera tiap gang, ditambah lagi perkenalan kita pada paskibraka pembawa bendera hingga prosesi sakral membongkar makna semiotik dari pidato presiden. Selayaknya ritual yang sama dengan kemeriahan yang tidak jauh berbeda setiap tahunnya.

Pada masa-masa ini, kita disajikan bagaimana kemerdekaan diperebutkan untuk mendapat pengakuan sebagai negara yang pasti hampir di luar kepala kita. Direnungkan kembali, kemerdekaan pada dasarnya disajikan sebagai hasil dari sebuah perjuangan dan perdebatan panjang untuk mencapai kata sepakat. Hal tersebut bahkan hingga kini terus dilaksanakan demi mendapatkan hak kebebasan untuk memeluk dan mencintai bangsa dan negaranya tanpa tekanan pihak manapun. Tentu saja hal ini bukan menyoal kemerdekaan sebagai sebuah negara yang diberikan pendiri bangsa kepada kita 72 tahun yang lalu. Lebih lagi, kemerdekaan yang sejatinya masih kita perjuangkan sebagai bagian dari pendiri bangsa ke depan.

Tanpa perlu kita mengupas satu dan yang lain persoalan yang mengikat lidah pertiwi untuk menyebut kemerdekaan yang hakiki. Sesunguhnya dalam persoalan kemerdekaan, tidak banyak yang memahami terlebih menerapkan kebebasan mecintai bangsa dan negaranya yang telah diperjuangkan. Terkait mencintai bangsa ini pernah disebutkan Goenawan Muhammad dalam salah satu catatan pinggirnya, bahwa mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati.

Mungkin kita terlupa, bagian paling ‘mengerikan’ dalam kemerdekaan kita ialah tekad dari semua elemen untuk merasakan kebebasan. Kekuatan tekad atas dasar cinta tanah air pada masa penjajahan dan tidak pernah berhenti di berakhirnya masa penjajahan saja. Dalam prosesnya kita selalu berusaha memerdekakan diri, sebagaimana kisah ribuan mahasiswa yang menolak otoriter pemerintahan orde baru, pun kampanye sosial yang kita lakukan untuk melawan ketidakadilan pada rakyat. Setiap harinya, kita sebagai bangsa terus berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan. Perjuangan dan kesamaan tekad ini termasuk progresif dan bahkan menjadi acuan bangsa lain.

Kesatuan tekad ini tidak dapat kita sepelekan atau pikir sebagai idealisme semu saja. Kebebasan dasar untuk berpartisipasi politik saja, terhitung pada pemilu 2014 Indonesia memiliki partisipasi pemilih tertinggi di dunia yang mengalahkan negara maju seperti Amerika Serikat. Tekad untuk berubah yang serupa kita miliki pada masa-masa perjuangan sebelumnya inilah yang seharusnya kita pertahankan. Sebagaimana yang kita tahu dalam perkembangan dari negara satu dan lainnya, tekad dan kekuatan dari rakyat pada akhirnya yang memenangkan pertempuran dalam bentuk apapun.

Berbicara soal pertempuran, kita sebagai bagian dari Indonesia masih memiliki beberapa hal yang membuat kemerdekaan terlihat semu. Tanpa perlu diuraikan, masing masing kita mengetahui pertempuran yang sedang kita hadapi, mulai dari gejolak politik hingga ketimpangan kesenjangan hak antar saudara setanah air. Masing-masing tersebut adalah pertempuran yang harus dihadapi untuk mendapatkan kemerdekaan yang hakiki. Sehingga hal ini menyadarkan kita bahwa kemerdekaan pada dasarnya diraih karena adanya kesatuan dari rakyatnya untuk mendapatkan kebebasan yang salah satunya adalah kebebasan mencintai tanah airnya.

Adapun, yang dipahami dalam mencintai tanah air ini kembali pada kesatuan tekad yang merupakan akar dari nasionalisme. Konsep dan tindakan ini sangat penting untuk merawat kemerdekaan. Pada masa penjajahan, tanpa konsep nasionalisme sebelumnya, telah terdapat kesatuan tekad rakyat untuk memerdekakan diri. Adanya rasa kesatuan dalam sepenanggungan dan penderitaan karena penjajahan membuat mereka lebih peka dan mempraktikan konsep nasionalisme ini.

Edward Shils dalam tulisanya ‘Cendekiawan dalam Perkembangan Politik[1]’ menyebutkan bahwa nasionalisme masih tetap merupakan kekuatan pendorong yang paling besar dari semua, ia merupakan dasar bagi berbagai politik dan bertindak sebagai batu uji bagi hampir setiap tindakan dan kebijaksanaan. Mengacu pada hal tersebut, mempraktikan nilai nasionalisme sesederhana aksi mencintai negara kita dan berhenti apatis akan menjadikan kita sebagai salah satu pelari estafet kemerdekaan. Sebagaimana rakyat Indonesia 72 tahun yang lalu bahkan lebih mempraktikan aksi cinta negara berdasar memiliki kesatuan karena sepenanggungan, itu pula yang dapat kita lakukan. Aksi sederhana ini sebenarnya membawa banyak pengaruh untuk bangsa ini ke depan.

Kemerdekaan, kebebasan dan kesatuan tekad pada 72 tahun yang lalu dapat dan telah membawa kita pada negara yang cukup berkembang pada masa kini. Pada dasarnya, kemerdekaan ini bukan menyoal dirgahayu sebuah negara namun perjuangan dari setiap orang di dalamnya untuk memperoleh kemerdekaan dengan melawan ketidakadilan, kesenjangan, namun tetap memiliki kepercayaan tinggi pada bangsa dan negara. Mencintai tanah air, saya yakin adalah bagian dari patriotisme dan menjaga kelestarian kemerdekaan kita ini. Mengutip tokoh Neti di novel Burung-Burung Ranjau[2] karya Y.B Mangunwijaya, bahwasanya tanah air adalah tempat penindasan diperangi, tempat perang diubah menjadi kedamaian, kira-kira begitu. Tempat kawan manusia diangkat menjadi manusiawi, oleh siapa pun yang ikhlas berkorban. Dan patriotisme masa kini adalah solidaritas dengan yang lemah, yang hina, yang miskin, yang tertindas.

Dirgahayu Republik Indonesia, Selamat hari ulang tahun ke 72 bagi seluruh rakyat Indonesia!

[1] Mahasin, Aswab & Ismed Natsir. 1984. Cendekiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES

[2] Y.B. Mangunwijaya. 2016. Burung Burung Rantau. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

 

Eunike Cahya Utaminingtyas

Lahir di Pati, Jawa Tengah pada 2 Mei 1995. Lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi dengan peminatan di bidang Jurnalistik dari Universitas Diponegoro, Semarang. Saat ini, tinggal dan berdomisili di Jepara, Jawa Tengah.

Email: eunikecahya@gmail.com

Blog : eunikecahya.com

eunikecahya
eunikecahya
Penulis, Pembaca, Pengamat dan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.