Setiap tahun khususnya pada momen Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945, kita diajak untuk memperkuat rasa cinta tanah air, di setiap penjuru bendera Merah Putih dikibarkan, umbul-umbul bernuansa Merah putih disebar di sepanjang jalan, tayangan televisi dan media lain mengulas kembali peristiwa-peristiwa bersejarah di masa penjajahan, dan perjuangan meraih kemerdekaan sampai iklan pun menggemakan rasa nasionalisme. Berbagai macam perlombaaan digelar di setiap kota/kabupaten, kecamatan, kelurahan, desa hingga ke tingkat RT untuk memeriahkan hari lahirnya bangsa Indonesia, di beberapa daerah malam 17 Agustus dimeriahkan dengan pawai obor keliling kota.
Di setiap sekolah, instansi pemerintah, bahkan perusahaan swasta kompak melaksanakan upacara bendera di tempatnya masing-masing. Dan tayangan Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi di Istana Negara menjadi tontonan wajib sebagian orang, dan disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional.
Begitu besarnya makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia sehingga hampir seluruh elemen masyarakat, turut serta meramaikan pesta akbar tahunan ini, namun di balik semua gegap gempita perayaan HUT RI, kita masih kerap mendengar kabar memprihatinkan tentang bocah yang menderita busung lapar, bayi yang ditahan pihak Rumah Sakit karena tak mampu bayar tagihan, warga yang digusur dari tempat tinggalnya, buruh demo karena pemutusan kontrak sepihak, Belum lagi tarif listrik yang melonjak naik, harga sembako membumbung tinggi, hingga kelangkaan garam yang agak ironis mengingat negeri kita merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
Peneliti dan pengamat ekonomi dari The Institute For Global Justice (IGJ) Salamudin Daeng membeberkan bahwa 175 juta hektar atau sekitar 93 persen luas daratan di Indonesia dimiliki para pemodal swasta dan asing. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Hafid Abbas merujuk pada laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, menyebutkan, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk. Ketimpangan ekonomi yang begitu jauh, sampai Ketua MUI saat membuka Kongres Ekonomi Umat Tahun 2017 menuding bahwa saat ini 1% orang kaya di Indonesia menguasai sekitar 50% aset negara. Majalah Tempo.co pernah merilis data melalui video grafis, tentang harta 4 orang terkaya di Indonesia yang melebihi harta total 100 juta penduduk termiskin, hingga disebutkan dalam sehari bunga dari harta orang Indonesia terkaya 1000 kali lebih besar dari penggeluaran 100 juta penduduk termiskin selama setahun.
Kalangan akademisi pernah membeberkan data tentang hegemoni asing di beberapa sektor ekonomi Indonesia, misal di bidang perbankan dimana 50,6% dari aset perbankan nasional dikuasai Bank Swasta Asing, pada pengelolaan migas sekitar 70% dikuasai Perusahaan Multinasional Asing, diantaranya 75% pertambangan batu bara, bauksit, nikel dan timah dikuasai asing, bahkan pertambangan emas lebih parah lagi 85% dikuasai perusahaan asing. Juga di bidang telekomunikasi dimana hampir semua perusahaan telekomunikasi besar di Indonesia, mayoritas sahamnya dikuasai asing.
Kuatnya hegemoni pihak asing dalam perekomian Indonesia menimbulkan tanda tanya besar tentang kedaulatan ekonomi nasional yang merupakan salah satu pilar utama kedaulatan Negara yang menjadi bagian dari definisi Kemerdekaan suatu bangsa. Terlebih pengaruhnya kepada aspek-aspek lain dalam bernegara, diantaranya aspek politik yang saat ini sangat bergantung pada kondisi perekonomian Negara terlihat dari banyaknya kebijakan dan regulasi yang cenderung memihak pada pengusaha, daripada masyarakat luas. Berbagai permasalahan yang disebutkan di atas, menimbulkan pertanyaan apakah kita benar-benar merdeka ?
Sejarah mencatat pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, a tapi, seperti dikatakan Bung Karno, itu baru sebatas “kemerdekaan politik”. Bukan kemerdekaan yang sesungguhnya, yang menurut Sang Proklamator adalah kebebasan untuk merdeka. Artinya, setiap bangsa merdeka harus punya kebebasan untuk menentukan politik nasionalnya sendiri, untuk merumuskan konsepsi nasionalnya sendiri, tanpa dirintangi atau dihalang-halangi oleh tekanan-tekanan atau campur tangan dari luar. Selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan berlawanan dengan kepentingannya. Presiden RI pertama itu pernah mengatakan “imperialisme yang “overheersen” (memerintah) bisa saja menghilang, namun imperialisme yang “beheersen” (menguasai) masih bercokol”.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemerdekaan bukanlah sebuah gelar yang telah kita raih pada tanggal 17 Agustus 1945, dan kita saat ini hanya tinggal merawatnya saja. Akan tetapi kemerdekaan merupakan sebuah tujuan untuk mencapai kebebasan yang sesungguhnya, guna terwujudnya bangsa yang adil dan sejahtera. Karena itu perjuangan untuk meraih kemerdekaan belumlah usai selama masih ada ketidakadilan, ketimpangan kesejahteraan, dan penindasan dari suatu individu/kelompok kepada individu/kelompok lain atas dasar apapun. Dari perspektif ini, maka upaya merawat kemerdekaan merupakan upaya untuk menjaga tekad dan semangat juang yang diwariskan para founding father kita, demi mencapai Negara yang benar-benar berdaulat, merdeka sepenuhnya dalam segala bidang, baik politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dari titik ini timbul pertanyaan lain, bagaimana kita cara meneruskan perjuangan ini, darimana kita harus memulai ?
Negara Indonesia lahir tidak dari pemberian negeri lain, melainkan melalui perjuangan yang berat dan pantang menyerah. Ratusan ribu atau bahkan jutaan gugur dalam upaya keluar dari penindasan, namun pergerakan perjuangan kemerdekaan tidak pernah padam, semangat meraih kemerdekaan terus digelorakan oleh para pahlawan yang namanya kini abadi tercatat dalam tinta emas sejarah. Namun sejak era kebangkitan nasional -yang ditandai dengan lahirnya intelektual muda dengan kesadaran kebangsaan dan rasa cinta tanah air yang begitu tinggi-, perjuangan untuk melawan penjajah tidak hanya dilaksanakan oleh kelompok masyarakat yang tertindas, tapi juga oleh sosok-sosok terpelajar yang sebagian besar diantaranya lahir dari kalangan priyayi yang mana seandainya mereka mau, dapat dengan mudah hidup nyaman diantara para kolonialis, tapi mereka malah memilih jalan yang keras, terjal dan penuh liku, mempertaruhkan nyawa mereka sendiri demi sebuah cita-cita untuk meraih kemerdekaan. Merekalah yang kita kenal saat ini sebagai para founding father kita.
Sekarang 72 tahun setelah Indonesia merdeka, kebalikan dengan para founding father yang rela berkorban demi bangsa, kita malah lebih sering mendengar pejabat korup yang mencuri uang rakyat, anggota dewan yang notabene merupakan wakil rakyat malah menyalip anggaran untuk saku sendiri atau kelompoknya, terakhir media diramaikan oleh kasus first travel, sebuah biro jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah yang diduga menipu ribuan jamaah hingga kerugian yang diderita mencapai 500 milyar rupiah. Sudah begitu busuknya moral bangsa ini sampai dana untuk ibadah pun diselewengkan begitu saja. Lalu kepada siapa kita menggantungkan harapan untuk membawa bangsa ini meraih kemerdekaan yang hakiki ?
Jawabannya datang dari pedalaman Kalimantan Timur, dr Ang Liana Sari, mengabdi di daerah terpencil selama 7 tahun melayani warga Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu, seorang dokter yang, setiap hari melewati jalur beresiko tinggi, dengan perahu kecil menghadapi arus sungai deras, dan berbatu untuk sampai ke tempat tugasnya. Jawaban lain datang Dusun Kedunen, Desa Bomo, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, Jawa Timur, dimana Kompol Mustaqim seorang perwira menengah di Polres Banyuwangi pemilik Yayasan Pendidikan Al-Huda, yang menjadi tempat bagi ratusan siswa tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan secara gratis. Ada pula Undang Suryaman alias Jack, juru parkir di Kampus Fikom Unpad Jatinangor, yang mendirikan TK dan TPA untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu di sekitar tempat tinggalnya, daerah Babakan Loa, Rancaekek, Kabupaten Bandung. Mereka dan ratusan atau bahkan ribuan sosok lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, senantiasa berjuang menghadapi berbagai masalah yang menghadang, mengatasi segala keterbatasan dengan cara mereka sendiri, demi untuk membantu orang lain, tanpa berharap balasan, malah kadang tidak memperdulikan kepentingan pribadi. Mereka memiliki semangat yang sama dengan para founding father kita, yang mereka lawan memang bukanlah Negara asing, tapi penindasan dalam bentuk lain, diantaranya kebodohan yang membuat bangsa kita lemah menghadapi gempuran pihak asing.
Pada sosok-sosok inilah kita menaruh harapan, dan lebih dari itu dari orang-orang hebat inilah kita mendapatkan pelajaran bahwa siapapun, tak peduli dokter, polisi atau bahkan tukang parkir sekalipun dapat membawa perubahan, kita tidak perlu menunggu kaya, menunggu hebat untuk memberikan sumbangsih bagi perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kita hanya perlu menguatkan tekad dan memulai berbuat untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik, sebagaimana diucapkan KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) “Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang terkecil, dan mulailah saat ini”.
Diantara sekian banyak masalah yang menimpa negeri ini, kita tidak mempunyai pilihan untuk menjadi penonton dan menyaksikan dari jauh negeri ini menjadi lebih baik atau malah lebih terpuruk, karena mau tidak mau kita adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari bangsa ini, karena itu pilihan yang tersisa hanya dua, menjadi bagian dari masalah atau sebaliknya menjadi bagian dari solusi.
Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia, Jayalah Bangsaku, Jayalah Negeriku… Merdeka !!!
BIODATA PENULIS
Nama : ARMAN SAGAN
Tempat, tanggal lahir : Bandung, 10 November 1982
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Alamat : JL Pasar Barat No.23/13A , RT.002 RW.001, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Kota Bandung