Jumat, April 26, 2024

HUTRI72 – Kemerdekaan Bukanlah Tujuan

ahmad.muflihin
ahmad.muflihin
Pembelajar sepanjang hayat

“Saudara-saudara, apakah yang dinamakan merdeka? di dalam tahun ‘33 saya telah menulis risalah yang bernama “mencapai Indonesia merdeka”. Maka dalam risalah tahun ’33 itu, telah saya katakan bahwa kemerdekaan, tak lain tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. Bahwa di seberang jembatan itu kita sempurnakan kita punya masyarakat.” Pidato Bung Karno 1 Juni 1945.

 

Ya. Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir dari sebuah perjuangan. Justru ketika bangsa Indonesia, yang diwakili oleh Soekarno dan Hatta, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pada saat itulah perjuangan untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya baru dimulai. Tidak hanya perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, perjuangan mengisi kemerdekaan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya pun tidak kalah berat. Sebagaimana yang pernah “diramalkan” oleh Bung karno, “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.

Tahun ini, Indonesia akan merayakan HUT kemerdekaannya yang ke-72. Usia yang masih terbilang relatif muda, apalagi kalau membandingkannya dengan negara seperti Amerika serikat yang sudah berusia 241 tahun. Namun, apabila membandingkan dengan negara tetangga yang juga seusianya, seperti Malaysia (60 tahun) dan Singapura (52 tahun), maka melihat ke belakang atas apa-apa yang telah dicapai oleh bangsa ini apabila dibandingkan dengan negara lain yang seusianya adalah sebuah keniscayaan. Bukan bermaksud untuk mengetahui siapa yang lebih maju dan siapa yang tertinggal, melainkan sebagai refleksi agar bangsa ini bisa terus berkembang untuk menjadi lebih baik.

Indonesia, dilihat secara geografis dan kekayaan alam yang dimilikinya, sangat memenuhi kriteria sebagai negara maju. Dengan wilayah seluas 1,905 juta km², bandingkan dengan Malaysia (330.803 km²) dan Singapura (719,1 km²), maka Indonesia adalah negara yang jauh “lebih besar” dibandingkan kedua Negara tersebut. Pun begitu dengan kekayaan alam yang dimilikinya. Ada 17.504 pulau yang terbentang dengan aneka sumber daya alam yang sangat melimpah. Mulai dari sumber daya alam pertanian dan perkebunan, sumber daya hasil tambang, batubara, emas dan perak, fosfat, gas alam  hingga sumber daya alam kelautan, maka adakah alasan untuk tidak menyebut Indonesia sebagai bangsa yang besar?? Tidak perlu membandingkan dengan Malaysia dan Singapura lagi. Dibandingkan Amerika pun, Indonesia terlalu “digdaya” dalam hal kekayaan sumber daya alamnya.

Akan tetapi, apabila dilihat dari kondisi sosial bangsa yang memiliki kekayaan melimpah tersebut, maka hanya keironianlah yang nampak. Sebagaimana yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin, yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di lndonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk). Berdasarkan data tersebut, kita tentu bertanya-tanya, kemanakah perginya kekayaan alam kita yang melimpah ruah tersebut? Apakah kita benar-benar telah merdeka? merdeka untuk mengelola kekayaannya sendiri, merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri, merdeka untuk mengatur urusan “rumah tangganya” sendiri? Kalau jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tolak ukur untuk mengetahui kemerdekaan suatu bangsa, maka ternyata, kita sama sekali belum merdeka.

“Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk memenuhi cita-cita rakyat kita: hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani maupun rohani” kata Bung Hatta. Ya. Kehidupan rakyat yang bahagia dan makmur adalah tujuan hakiki dari kemerdekaan yang telah diraih 72 tahun silam itu. Darah yang telah tertumpahkan, nyawa yang telah terbuang, dan penderitaan yang tak terperikan, semuanya demi terciptanya masyarakat yang makmur sentosa.

Saat ini, di ulang tahunnya yang ke-72, Indonesia masih dan sedang menjalani takdirnya untuk mencapai kemerdekaan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Kita sedang menyebrangi “jembatan emas” yang telah dibangun dengan segenap jiwa tersebut. Apakah kita akan sampai pada dunia sama rata-sama rasa, ataukah dunia sama rata-sama tangis, kita sendirilah yang menentukan karena kita sendiri yang sedang menyebrangi jembatan tersebut.

Sejatinya, para pendiri bangsa kita telah meletakkan nilai-nilai falsafah sebagai “pegangan” kita untuk menyebrangi jembatan emas ini. Nilai keberagamaan (religiusitas), kemanusiaan (humanis), cinta tanah air (nasionalis), demokrasi, dan keadilan sosial adalah lima prinsip yang merupakan sikap hidup falsafah Indonesia. Tindakan apapun yang akan diambil, keputusan apapun yang akan dibuat, haruslah berdasarkan dan berlandaskan dari nilai-nilai tersebut. Sebab nilai-nilai itu bukanlah sebatas cita-cita dan harapan, melainkan lebih dari itu, ia adalah kekuatan sejati dari bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebutlah yang merupakan titik awal sehingga rakyat Indonesia dapat bersatu, dan nilai-nilai tersebut pula yang menjadi tujuan akhir dari cita-cita kemerdekaan yang ingin dicapai.

Akan tetapi ironinya, dalam perjalanan menuju se-abad Indonesia merdeka, kekuatan bangsa Indonesia yang dahulu digunakan untuk mempersatukan dan melawan penjajah dari bumi pertiwi ini, saat ini justru digunakan untuk mencerai-beraikan. Keragaman yang dahulu dianggap sebagai kekayaan, saat ini justru dipermasalahkan. “Kita hendak mendirikan suatu Negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua. Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua” tegas Soekarno di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.

Kita tentu masih ingat dengan politik devide et impera yang digunakan oleh VOC dan Belanda untuk menjajah bangsa kita. Dengan politik tersebut, mereka berhasil menguasai bangsa kita selama lebih dari 300 tahun. Politik pecah belah atau disebut juga dengan politik adu domba tersebut bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah ditaklukan. Cara tersebut tentu sangat efektif. Karena hal yang paling dikhawatirkan dari sebuah bangsa yang besar adalah apabila mereka bersatu. Dan satu-satunya cara, adalah dengan mencerai-beraikannya.

Kondisi saat ini, tidak jauh berbeda dengan kondisi saat bangsa ini masih terjajah dan belum merdeka sebelum tahun ‘45. Ya. Boleh jadi saat inipun kita sedang terjajah dan memang masih belum merdeka. Perpecahan atas nama golongan yang marak terjadi akhir-akhir ini adalah contoh nyata bahwa persatuan kita sedang tergadaikan. Satu kelompok menyalahkan kelompok yang lain, dan merasa berkuasa atasnya, adalah bukti bahwa kita sedang mengalami krisis keberagaman. Diakui ataupun tidak. Dari kondisi kita yang demikian, tentu yang diuntungkan adalah “para penjajah” negara ini, yang bisa berasal dari bangsa lain atau bangsa sendiri yang oportunistik.

Oleh karena itu, untuk kali ini, di usianya yang ke-72, dan juga demi menyongsong satu abad HUT kemerdekaan Indonesia, mari kita sekali lagi bergandengan tangan. Kita singkirkan terlebih dahulu kepentingan-kepentingan kelompok kita. Kita utamakan kepentingan bangsa ini. Semua untuk semua. Sebab ketika kita membela bangsa, adalah sama halnya dengan kita membela hak-hak setiap individu di dalamnya. Karena tujuan dari terbentuknya suatu bangsa adalah untuk melindungi hak setiap warga negaranya. Kita adalah bangsa gotong royong, bangsa yang saling bahu membahu untuk mencapai cita-cita bangsanya. “Kita adalah bangsa yang besar, bukan bangsa tempe, lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bistik tapi budak.” Merdeka!

Ahmad Muflihin

Dosen Kontrak Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang

ahmadmuflihin90@gmail.com

#HUTRI72

ahmad.muflihin
ahmad.muflihin
Pembelajar sepanjang hayat
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.