Selasa, April 30, 2024

HUTRI72 – Garam dan Kemerdekaan

HUTRI72 – Garam dan Kemerdekaan

Ribuan pulau menyatu dalam satu entitas kebangsaan, kita beri nama seindah-indahnya, Indonesia. Pantainya, jika semua pulau itu digabung, luar biasa panjang yaitu 99.093 kilometer. Salah satu kekayaan yang identik dengan keberadaan pantai adalah garam. Kristal berwarna putih berkilau yang terasa asin, sebagai saripati lautan.

Dalam sejarah peradaban manusia, garam selalu berharga. Plato menulis, bahwa garam adalah zat yang sangat dicintai dewa-dewa. Zaman dulu, karena begitu berharganya garam bagi masyarakat, bahkan para prajurit Romawi dibayar dengan menggunakan garam (salarium). Bahasa Inggris mengabadikannya dengan kata salary untuk gaji. Di pulau-pulau Nusantara, garam juga menjadi salah satu komoditas pokok perdagangan.

Setiap orang membutuhkan garam, minimal untuk bumbu dalam makanan sehari-hari mereka. Meskipun jumlahnya sedikit, namun garam harus ada setiap hari. Belum lagi para nelayan yang harus mengasinkan ikan-ikan hasil tangkapan mereka yang berlimpah. Di zaman industri, banyak sekali industri yang membutuhkan garam sebagai bahan dasar. Oleh karena itu, untuk kebutuhan garam Indonesia saat ini, dua pertiganya adalah untuk kebutuhan industri.

Sebagai negara kepulauan, banyak sekali tradisi kita yang dipengaruhi oleh laut dan hasil-hasilnya – termasuk garam. Orang-orang yang telah banyak melalui pahit manisnya pengalaman hidup disebut telah banyak makan asam garam. Seorang anak perempuan yang masakannya terlalu asin disebut ingin kawin. Saya bayangkan bagaimana dalam budaya kita dulu, dimana anak-anak perempuan sangat terikat sopan santun dan tidak memiliki keleluasaan seperti saat ini untuk membicarakan masalah jodoh, telah menggunakan garam sebagai solusinya.

Bayangkan saja jika anda adalah seorang anak gadis yang hidup di zaman itu. Ketika ada seorang laki-laki yang anda sukai melamar anda, sedangkan tradisi melarang anda sebagai perempuan untuk bersuara “ya, terima saja lamaran itu Bapak!” Maka garam pun dapat menjadi penolong. Tidak hanya laki-laki yang berpolitik, kaum perempuan juga demikian, walaupun bahasa berbeda. Mereka menggunakan garam, bumbu dapur atau juga nasi goreng untuk bahasa negosiasi.

Saya lahir dan besar di sebuah pulau yang dikenal dengan pulau garam. Ya benar, itulah Pulau Madura. Sebuah pulau di sebelah utara bagian timur Pulau Jawa. Beberapa komoditas yang menjadi penghasilan utama masyarakat di pulau tersebut antara lain ikan, garam, jagung dan tembakau. Tambak-tambak garam terutama yang paling luas terletak di kabupaten paling timur yaitu Sumenep. Ketika musim kemarau tiba, dan mungkin daerah anda mengalami kegalauan karena sulitnya bertani, maka di daerah penghasil garam justru sedang bergairah kerja karena saat itulah produksi garam sedang melimpah dan tembakau sedang menghijaun.

Selain Madura, beberapa pantai di Jawa Timur juga menjadi kantong penghasil garam. Pantai-pantai di nusantara dalam sejarah telah menghasilkan garam untuk dijual ke daerah pegunungan atau pulau lain. Pembuatan garam dengan mengalirkannya ke petak-petak tambak garam sejak lama menjadi metode produksi garam secara masal. Garam Indonesia begitu cantiknya, terutama ketika berpadu dengan asam, cabe, tomat, bawang, kunyit, jahe, sereh, laos dan banyak tanaman bumbu lainnya. Tangan-tangan perempuan indonesia menjadikannya aneka masakan yang luar biasa. Kecantikan alam itulah yang membuat bangsa-bangsa lain jatuh hati dan akhirnya memiliki keinginan busuk menguasai kita. Garam bersama banyak komoditas lain menjadi saksi bagaimana alam bangsa ini akhirnya dikuasai bangsa asing.

Pada abad ke-17 produksi garam di pulau-pulau nusantara telah banyak dimonopoli oleh para pengusaha Tionghoa. Ketika Belanda berkuasa maka kekuasaan monopoli garam jatuh ke tangan mereka. Dalam perkembangannya produksi garam lebih difokuskan di kawasan Madura dan sekitarnya (Surabaya dan Gresik), dikarenakan susahnya pengontrolan serta banyaknya korupsi pada produksi garam di pulau-pulau lain. Tangan dingin penjajah membuat produksi garam meningkat pesat, terutama di abad 19, namun tentu saja bukan rakyat kita yang menikmatinya. Mereka menjadi budak di tanah dan laut sendiri.

Seiring gejolak dan perubahan pandangan baru dunia akan hak asasi manusia, para pemuda Indonesia yang dapat turut merasakan pancerahan tersebut membangunkan masyarakat kita dari tidur panjangnya. Nama-nama seperti Kartini, Ki Hadjar, Sukarno dan Hatta, memercikkan keberanian kita sebagai manusia yang berhak merdeka. Kita pun melawan, dengan lebih teroganisir. Tidak lagi mau dibodohi, dipecah-belah dan diadu. Asam di gunung, Garam di laut, toh di belanga bertemu jua. Kita sadar, bahwa perbedaan harus disatukan untuk dapat meraih kemerdekaan yang diidam-idamkan.

Tanggal 17 Agustus 1945 menjadi momentum kemerdekaan Republik Indonesia. Itulah masa dimana kita sebagai bangsa dilahirkan. Kita bebas dan berdaulat di negeri sendiri. Teriakan kata merdeka menggema di seluruh penjuru tanah air, bersama mimpi untuk membangun kehidupan yang sejahtera, yang adil dan rakyat yang cerdas.

Melahirkan itu susah, nyawa taruhannya. Tapi merawat itu lebih susah lagi. Butuh kesabaran, kesadaran dan keberanian. Setelah kita berhasil mengatasi rasa takut terhadap kekuatan-kekuatan dari luar, maka selanjutnya untuk jangka waktu yang tak terhitung, kita harus merawat kemerdekaan yang telah lahir. Yang kita lawan adalah kekuatan-kekuatan yang mungkin lebih ganas dan tidak terlihat. Karena ia berasal dari dalam diri sendiri.

Pada masa penjajahan kita takut dengan berbagai kekuatan besar yang menindas. Kita merasa lemah dan kecil. Lain lagi, ketika telah merdeka dan berdaulat di negeri sendiri, kita menjadi malas dan takut untuk melakukan inovasi serta perubahan. Para penguasa dan pengusaha juga takut, takut miskin dan kehilangan kekuasaan mereka. Kita tidak berani melawan bayang-bayang yang kita ciptakan sendiri. Kita bersikap sebagai masyarakat terjajah yang ikut arus, malas, suka jalan pintas, tidak mau belajar dan kalau perlu menginjak teman sendiri. Mental tersebut terus berbiak seperti jamur yang tumbuh subur di borok yang kotor.

Monopoli garam dari para pengusaha tionghoa yang kemudian beralih ke tangan pemerintah Belanda, setelah kemerdekaan diambil alih oleh negara. Monopoli untuk kepentingan rakyat. Sayangnya, Garam dan berbagai kekayaan alam lain seperti ikan, bahan tambang, hutan, lahan pertanian dan sumber air yang seharusnya berkembang pesat karena dikelola sendiri justru makin susut. Pengelolaannya tak pernah beres karena digerogoti oleh tangan-tangan yang tak pernah merdeka, terutama dari nafsu pribadi.

Puluhan tahun kita merdeka namun produksi garam tidak pernah sanggup untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sementara petani garam kecil tetap miskin karena kebijakan impor garam membuat harga garam lokal sangat murah. Garam lokal kita kalah mutunya dengan garam impor. Tapi mengapa hal ini terus terjadi bahkan setelah 72 tahun kita menjadi bangsa yang merdeka? Kekayaan alam yang lain pun sama, seperti minyak mentah yang tak sanggup kita kelola sehingga kita gagal memperoleh manfaat maksimal. Hutan-hutan penyimpan air dan kekayaan plasma nutfah juga habis ditebangi oleh penguasa-pengusaha tanpa memikirkan dampaknya pada generasi mendatang.

Jika anda mengunjungi perkampungan petani garam maka akan anda lihat masyarakat yang jauh dari sejahtera. Sekolah-sekolah di tempat itu berlangsung dengan mengajarkan pengetahuan dari buku, umumnya yang tidak berkaitan dengan kehidupan para siswa. Tidak menggugah mereka untuk tumbuh menjadi jiwa yang merdeka dan memiliki keberanian mengembangkan pertanian garam yang canggih di masa depan. Orang-orang tua selalu bilang, “sekolah yang pintar, biar tidak seperti bapak dan ibu sekarang.” Anak-anak itu pun tumbuh menjadi orang-orang dewasa yang lepas dari masa lalu dan alamnya sendiri. Sementara pertanian garam tetap tradisional.

Ketika musim hujan berkepanjangan, dan garam sulit dipanen sehingga stok di pasaran semakin menipis, masyarakat menjadi resah. Petani garam pun susah, karena walau harga garam melonjak, mereka juga tidak mampu memproduksi garam. Keran impor pun dibuka semakin lebar. Menunggu musim kemarau kembali normal. Asal garam telah tersedia dan harga kembali normal, para penguasa merasa telah aman. Itulah sekilas gambaran merdeka yang kita alami saat ini.

Kemerdekaan kita rebut dengan pengorbanan nyawa tak terhitung banyaknya didasari oleh keinginan luhur, agar masyarakat kita dapat menikmati kesejahteraan dari alam yang kaya dengan penuh rasa syukur. Namun kenyataannya tetap saja kekayaan alam tersebut tidak ternikmati secara maksimal dan adil. Di usia yang ke-72 ini perlulah kita merenungkan kembali tentang arti merdeka dan bagaimana merawatnya. Mungkin kita keliru dengan memfokuskan pembangunan hanya pada yang fisik namun melupakan esensi jiwa merdeka yang harusnya terus digelorakan dari generasi ke generasi.

Semua orang telah bersekolah, berbagai kemajuan teknologi informasi dikuasai bahkan oleh anak-anak kecil sekalipun. Namun jiwa kita kerdil seperti masyarakat terjajah, dimana semua pekerjaan yang dilakukannya hanya fokus pada perut sendiri. Anak-anak kita kering dari tujuan mulia sebagai manusia. Kalaupun ada di buku, mereka tetap tidak mengerti karena belum pernah dicontohkan oleh orang tua, para guru atau wakil rakyat di televisi. Yang dilihat adalah keserakahan, ketidakpedulian dan pertengkaran.

Walaupun demikian, sebagai manusia yang beragama kita selalu memiliki keyakinan akan rahmatNya. Bahkan setelah ratusan tahun terjajah kita dapat bangun dan menyadari potensi diri sebagai manusia yang berakal. Apalagi sekarang, yang jelas-jelas kemerdekaan telah di tangan. Sukarno, setelah kemerdekaan, tak pernah berhenti berjuang. Karena beliau sadar bahwa kemerdekaan bukan benda milik yang statis tetapi sebuah proses perjuangan tanpa henti untuk mewujudkan fitrah kemanusiaan mewujudkan kebaikan di muka bumi.

Garam yang nampak halus dan remeh dapat menjadi berharga bagi jiwa yang merdeka dan mengelolanya dengan baik. Sebaliknya, emas dan permata yang mahal tak akan banyak bermanfaat bagi masyarakat yang bermental terjajah, malas dan korup. Teknologi secanggih apapun tidak akan banyak membantu, kecuali kita telah benar-benar sadar akan berharganya hidup, kebersamaan dalam kebaikan dan terus belajar meningkatkan kualitas diri. Merawat kemerdekaan pada dasarnya adalah merawat mental merdeka di jiwa anak-anak kita hingga tumbuh dan berbuah manis sebagai bangsa yang besar.

 

Biodata Penulis:

Nama  : Habibi

TTL     : Bangkalan, 25 Januari 1980

Status  : Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

Dosen Universitas Wiraraja Sumenep

Telp     : 08175063842

Email  : habibi.bk13@gmail.com

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.