Oleh Ariwan K Perdana
Fakta kesejarahan sebagai bangsa yang pernah merasakan penjajahan di masa lalu membuat Indonesia menarik dikaji dari berbagai sudut pandang. Dari faktor budaya saja, Indonesia sudah merupakan negara yang menyimpan berbagai budaya yang heterogen dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Tidak hanya kebudayaan-kebudayaan yang berkembang pada masa pra kolonial, era kolonial juga memberikan warisan budaya yang hingga kini jamak ditemui di keseharian. Saat ini budaya bisa dilihat sebagai pola pikir, sikap dan perilaku dalam hidup. Lalu bagaimana bangsa Indonesia melihat dirinya di tengah-tengah pluralitas kebudayaan yang saling mempengaruhi?
Budaya Mimikri
Salah satu bentuk budaya yang muncul di kalangan pribumi Indonesia pada masa kolonial adalah mimikri atau budaya meniru. Keberadaan bangsa penjajah di bumi Indonesia membuat kebanyakan pribumi kala itu merasa bahwa jika ingin dianggap maju dan modern, caranya adalah dengan meniru budaya bangsa penjajah.
Pandangan tentang status bangsa penjajah yang lebih tinggi dan lebih terpelajar menjadi salah satu alasan budaya mimikri berkembang. Orang-orang pribumi yang sudah mendapat pendidikan ala Eropa mulai berpikir, berpakaian dan bergaya hidup sebagaimana orang Eropa sebagai strategi untuk meraih kelas sosial yang lebih tinggi (Suratno, 2013).
Kecenderungan untuk merasa tidak percaya diri dengan kemampuan, pemikiran dan penampilannya terus membayangi perjalanan bangsa Indonesia. Sampai hari ini, kita akan dengan mudah membuat standar-standar bagi diri sendiri yang merupakan adopsi dari standar bangsa-bangsa lain, khususnya Barat.
Standarisasi dari Barat ini tidak hanya berlaku di soal yang kasat mata saja seperti urusan penampilan fisik atau pengalaman inderawi seperti selera individu, namun juga merambah ke pendalaman ilmu pengetahuan yang lebih banyak merujuk pada teori-teori dari Barat. Ryan Sugiarto dalam buku Psikologi Raos (2015) menyebut kecenderungan ini sebagai sebuah kebanggaan bila bisa membincangkan teori-teori Gramsci, Gidden, Heidegger atau Habermas ketimbang menggali kembali pemikiran-pemikiran Suryomentaram atau Selo Sumarjan.
Budaya Populer
Budaya mimikri yang mengalir sebagai arus utama di kalangan pribumi pada masa penjajahan bertransformasi menjadi rujukan perilaku bagi generasi Indonesia setelahnya. Deru globalisasi dan munculnya era informasi semakin membuat batas-batas kebudayaan menjadi cair dan bahkan terkadang tak lagi nampak.
Semakin meluasnya ranah yang terdampak dari lumernya batas-batas ini menunjukkan bahwa dunia telah terintegrasi pada sebuah sistem kedekatan sosial budaya. Masyarakat kini menjadi terbuka dari yang sebelumnya menganut nilai-nilai yang homogen menjadi semakin pluralis. Dan ini membuka pintu bagi pengaruh budaya-budaya modern seperti budaya populer.
Awalnya budaya populer dianggap sebagai budaya massa yang dianggap lebih rendah tingkatannya jika dibandingkan dengan budaya adiluhung. Di kalangan bangsa Eropa, musik pop sebagai salah satu elemen budaya populer dianggap inferior dibandingkan musik klasik. Namun justru karena itulah musik pop mampu memiliki cakrawala lebih luas dalam soal menjangkau masyarakat.
Musik pop hanya salah satu elemen budaya populer yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Masih ada film, televisi, karya fiksi, game dan berbagai bentuk budaya populer lainnya yang melalui media komunikasi baru hari ini telah mendapatkan akses untuk memasuki proses transkultural di dalam masyarakat dan berpengaruh dalam bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri.
Kondisi di Indonesia tak jauh berbeda. Budaya populer tak hanya memberikan daya pikat luar biasa bagi berkembangnya budaya penggemar dengan segala histerianya, namun juga merambat ke ranah-ranah lain yang memiliki ketertarikan terhadap budaya populer dengan didasari kepentingannya masing-masing, misalnya politik. Aktor politik yang berinteraksi dan bekerjasama dengan pemusik atau pesohor hiburan lainnya sebagai strategi publisitas sudah menjadi hal lumrah.
Personalitas Bangsa
Cara individu bangsa memandang dirinya akan menentukan bagaimana wajah bangsanya. Standarisasi dan ukuran-ukuran budaya yang berlaku saat ini seringkali menimbulkan ambiguitas diri di mana seseorang melihat dirinya sendiri dalam berbagai balutan budaya. Kita memasuki dunia multi tafsir atas diri sendiri yang tidak stabil. Berubah sesuai trend dan tak jarang bernuansa ironi.
Beberapa ahli menyebut gejala ini sebagai hibriditas, yaitu bergabungnya dua jenis (bentuk) budaya yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya (Bhaba, 1994). Proses tersebut juga sangat mungkin memunculkan pengenalan bentuk-bentuk identitas baru yang secara evolutif dapat diterima sebagai suatu bentuk perubahan budaya.
Sebagian dari proses itu bisa dilabeli sebagai usaha pencarian makna diri sebagai sebuah bangsa. Karena sifat budaya yang influentif, manusia bisa melakukan eksplorasi, menggali ide-ide baru dari budaya-budaya yang ada dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa membawa kontribusi positif bagi sesamanya dan lingkungannya. Sebagian lainnya bisa dimaknai sebagai strategi untuk mengelola dampak-dampak negatif kekuatan pembauran budaya yang mungkin muncul dalam usaha memaknai kemerdekaan.
Karena merdeka adalah sebuah proses. Dalam bahasa Indonesia, kata sifat kadang-kadang bisa juga bermakna menjadi kata kerja. Maka “Indonesia merdeka” dapat berarti “Indonesia yang merdeka”, tapi juga bisa berarti “Indonesia melakoni kemerdekaan” atau lebih kontekstual adalah “Indonesia belajar dari kemerdekaan”.
Maka terus menerus mendefinisikan makna kemerdekaan adalah sebuah kemestian. Sudah semetinya pula ditanyakan pada setiap individu bangsa yang merdeka tentang apa makna kemerdekaan baginya. Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu akan mampu mereflkesikan dirinya sebagai sesosok manusia atau bangsa yang merdeka.
Oleh karenanya standarisasi dan ukuran-ukuran dalam mengolah entitas-entitas berbagai budaya oleh sebuah bangsa yang merdeka akan lebih pas jika didasarkan pada pemikiran dan manifestasi personalitas bangsa itu sendiri. Sehingga langkah-langkah kemajuannya selalu menuju kepada kemanfaatan-kemanfaatan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kita bisa mulai bergerak ke arah sana dengan sebuah kesadaran bahwa bagaimana pun, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mampu menjaga kedaulatannya.***