Jumat, April 26, 2024

Busana Kemerdekaan

Nita Trismaya
Nita Trismaya
Dosen di Sekolah Tinggi Desain Interstudi Jakarta Mahasiswa S3 Jurusan Antropologi Universitas Indonesia

Oleh Nita Trismaya

Indonesia telah menapaki masa yang cukup lama dalam usianya yang 72 tahun. Diibaratkan manusia, maka negeri tercinta ini bagaikan batita yang masih belajar berjalan dan berlari dengan bonus tersandung, terjatuh dan harus konsentrasi pada apa yang difokuskannya agar tidak tergoda pada benda-benda yang ada di sekitarnya. Batita ini, yang lahir dari rahim ibu pertiwi dari pergulatan dengan para suami yang berbeda suku, bahasa, budaya, daerah, makanan, dan fisik, tentu juga masih banyak belajar mengenal dunia. Dunia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, 34 provinsi, tiga pembagian wilayah waktu dan beriklim tropis.

Berbicara mengenai Bhineka Tunggal Ika dalam seni tradisi, tak pelak menyinggung pula hal keberagaman dimana masing-masing daerah memiliki ciri berbeda, misal Cirebon punya Mega Mendung, Indramayu punya Iwak Etong, Garut dengan motif Merak Ngibing. Kain songket Palembang berbeda pula dengan songket dari Padang. Belum lagi seni tari, seni ukir, seni musik, rasanya tidak akan habis-habisnya apabila dibicarakan.

Menilik aspek keberagaman, bukan hal aneh apabila kita melihat perempuan berhijab bersenda gurau akrab dengan teman-temannya yang berbusana ‘terbuka’ di sebuah mal. Atau di lokasi wisata, kita melihat gaya busana para pengunjung, mulai dari yang sangat tertutup, setengah tertutup, sampai sedikit tertutup seperti para turis asing yang ingin menikmati hangatnya sinar matahari tropis. Begitu juga dengan seragam sekolah, misal sekolah Islam identik dengan busana hijab putih dan rok hijau, kalau sekolah Katolik dengan rok kotak-kotak warna tertentu, untuk sekolah negeri lewat warna bawahannya: abu-abu untuk SMA, biru untuk SMP, dan merah untuk SD. Disini busana berperan sebagai identitas kolektif dan penyeragaman tingkat pendidikan tertentu.

Desmond Morris dalam buku Manwatching (Barnard:2007) mengatakan bahwa busana berperan sebagai cultural display yang mengafiliasikan budaya pemakainya. Dengan kata lain, busana menunjukkan identitas nasional dan budaya. Hanya dengan melihat seseorang mengenakan busana tertentu, akan bisa ditebak dari negara mana dia berasal. Sebagai contoh, Indonesia memiliki beragam busana daerah yang salah satunya adalah kebaya. Sejak era Soekarno, kebaya diangkat sebagai busana resmi nasional yang wajib dikenakan ibu negara, pejabat perempuan dan istri-istri pejabat pemerintah dalam acara kenegaraan.

Kebaya itu sendiri menilik sudut historisnya berasal dari budaya Jawa dan pada perjalanannya melalui proses akulturasi budaya sehingga berkembang menjadi bermacam model mulai dari kebaya Belanda, kebaya China, kebaya Encim, kebaya Kartini, kebaya kutu baru dan kebaya panjang. Sehelai kebaya sebagai busana nasional telah diterjemahkan melalui beragam tafsir oleh para perancang busana, mulai dari tradisional sampai yang modern.

Multitafsir model kebaya ini merepresentasikan kemerdekaan berfikir bangsa kita dalam berbusana sekaligus kemerdekaan setiap daerah dalam mempertahankan local genius-nya. Inilah yang menurut hemat penulis harus dirawat sebagai salah satu unsur bhineka tunggal ika melalui busana. Sangat disayangkan kalau kekayaan busana daerah Indonesia terpaksa lenyap diakibatkan pemahaman sempit yang menghendaki ketidakmerdekaan berpikir. Sebegitu kayanya budaya kita sehingga negara tetangga sering terpancing untuk mengambilnya, sementara pemilik aslinya kerap abai dalam merawat, menjaga dan mewariskannya ke anak cucu. Ya, kata ‘abai’ mungkin lebih tepat dalam merepresentasikan posisi seni budaya nusantara. Sedangkan kata ‘merdeka’ menggambarkan makna konotatif berbeda.

Kita merdeka dalam alam pikiran merancang, memakai dan menginterpretasikan apa itu berbusana. Tidak ada yang bisa membantah sisi kreatifitas bangsa kita yang tinggi. Tengok saja fenomena fashion week yang gegap gempita, mengetengahkan rancangan-rancangan luar biasa para perancang mulai dari yang senior sampai pemula, dari yang amatir sampai profesional. Begitu pula pecinta fashion yang tak kalah mahir dalam memandang dan menginterpretasikan gaya busana dan pernak-perniknya. Belum lagi praktisi, akademisi sampai mahasiswa/pelajar yang berkecimpung dalam dunia mode.

Lihat saja kesekeliling kita, setiap hari semenjak pagi merangkak sampai malam meluncur kembali ke pagi, bertaburan model dan gaya berbusana dari orang-orang yang melintas, berinteraksi dengan kita, atau yang tampil di layar kaca, layar lebar, bahkan sekadar anak-anak kecil dengan baju bewarna cerahnya. Orang Indonesia punya banyak pilihan untuk mengenakan busana sesuai keinginan, keperluan, dan kebutuhan. Mulai dari seragam kerja untuk perusahaan tertentu, baju pesta yang disesuaikan jenis acaranya, sampai acara resmi pemerintahan. Disitulah kita melihat bahwa kemerdekaan bukan semata meneriakkan kata ‘merdeka’ berbekal bendera merah-putih yang dipasang di tiang bendera setiap rumah, atau mobil-mobil pribadi yang menempelkan stiker bergambar bendera merah-putih. Bukan pula sebatas mengunjungi makam pahlawan, mendiskusikan sejarah kemerdekaan Indonesia sambil mencaci sang penjajah, ataupun berurai air mata ketika mendengar lagu kebangsaan berkumandang pada upacara tujuh-belasan.

Merdeka itu juga berada dalam kebebasan alam pikiran. Alam yang menggerakkan kreatifitas sekaligus rasa toleransi. Kita saat ini mungkin telah bebas dalam mengenakan, menerjemahkan arti busana, berperilaku toleransi pada orang yang berbeda pemahaman soal busana, dan merdeka dalam alam kreatifitas, ditengah maraknya arus intoleransi mendera bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Salah satunya menggerakkan ‘ketidakmerdekaan’ ranah pribadi seseorang dalam berbusana, misalnya mengecam perempuan-perempuan tidak berhijab sekaligus menghakimi mulai dari ‘bukan wanita sholelah’, ‘wanita ahli neraka’ sampai ‘kafir’ dan ‘murtad’. Toh kita patut bersyukur masih lebih banyak masyarakat yang memiliki sikap toleransi sebagai pengejawantahan nilai-nilai Pancasila. Bahwa gaya berbusana pada dasarnya dipulangkan kembali pada pribadi masing-masing, dan selama masih dalam koridor kesopanan standar bangsa Indonesia. Biarkan perempuan memilih sendiri.

Menilik sisi ekonomi dihubungkan dengan kreatifitas orang Indonesia dalam desain, penulis melihat bahwa kita belum berhasil merdeka dari ‘jajahan’ bangsa lain. Ketika batik resmi diakui UNESCO, masyarakat terkena demam batik. Semua mendadak mencintainya, padahal sebelumnya batik dianggap kuno dan identik sebagai baju bapak-bapak dan emak-emak. Baju batik kini menjadi must have item. Sayangnya, yang meraup keuntungan kemudian adalah China, yang mampu memproduksi dan menjual kain batik dengan harga jauh lebih murah dari pembatik lokal. Serbuan produk-produk murah dari China ini bukanlah fenomena baru, melainkan dikhawatirkan mampu menggusur nyaris secara keseluruhan hasil produksi Indonesia, utamanya sandang.

Dan seiring kesuksesan berbagai acara fashion week, bagaimana pula dengan kain yang dipakai untuk dijadikan busana-busana yang diperagakan di runway? Apakah ratusan meter kain indah itu seratus persen produksi negeri sendiri, atau sebagian besar diimpor dari negara lain? Apabila kain impor pada kenyataannya lebih berkuasa di negeri kita, dapatkah kita mengatakan dengan bangga bahwa fashion week mengangkat martabat bangsa sekaligus menggenjot produksi dalam negeri? Dengan demikian, makna kemerdekaan dalam berkreatifitas sejatinya tidak berhenti hanya sampai pada kata ‘kreatif’, melainkan mendorong kemerdekaan dalam segala lini, mulai dari produksi, pemasaran dan permodalan. Sehebat apapun perwujudan sebuah kreatifitas, apabila tidak didorong oleh kemampuan pemasaran dan permodalan, akan kembali mentah sebagai konsep yang bertengger di menara gading. Good desain is good business.

Dengan demikian, ditengah dorongan pemerintah melalui BEKRAF yang mewadahi dan menyalurkan kemerdekaan kreatifitas masyarakat Indonesia dalam merancang busana, penulis masih melihat harapan positif terbentang luas. Tidak mudah memang menangkal serbuan impor tekstil dari China, atau sikap kaum intoleransi yang kontra pada kemerdekaan berpikir. Amerika Serikat saja butuh dua ratus tahun lebih untuk berproses menjadi negara adi daya, atau negara-negara Eropa yang mapan dalam posisi politik dan ekonomi karena tidak pernah merasakan pahitnya dampak masa kolonial negara-negara yang dijajah.

Kolonialisme dan akulturalisme yang pernah dilalui bangsa ini seyogyanya dijadikan momentum inspiratif dalam berkreatifitas karena justru disinilah akar keragaman budaya Indonesia berasal. Selamanya keberagaman itu tidak akan pernah hilang dari budaya Indonesia karena manusia Indonesia lahir dari rahim kemerdekaan dalam menerima, berinteraksi, dan berasimilasi dengan bangsa-bangsa lain yang datang ke wilayah nusantara di masa lalu. Karena itulah makna merawat kemerdekaan kita sebagai bangsa Indonesia.

Referensi:

Barnard, Malcom 2007 Fashion Sebagai Komunikasi, Ibrahim, I,S & Iriantara, Y. Jalasutra. Yogyakarta

(Nita Trismaya, Dosen Sekolah Tinggi Desain Interstudi (STDI) di Jakarta; Mahasiswa S3 jurusan Antropologi Universitas Indonesia)

Nita Trismaya
Nita Trismaya
Dosen di Sekolah Tinggi Desain Interstudi Jakarta Mahasiswa S3 Jurusan Antropologi Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.