Ada satu klaim baru yang dilontarkan oleh seorang anak muda: brand tidak lagi membutuhkan storytelling.
Katanya, dunia sudah bergerak terlalu cepat untuk sebuah alur cerita. Visual yang “vibe-nya dapet” dianggap lebih penting daripada narasi yang runtut.
Yang dibutuhkan brand, katanya, hanyalah mood yang pas, estetika yang menempel, dan sensasi tiga detik pertama yang cukup kuat untuk menghentikan jempol.
Vibe, bagi sebagian orang, dianggap sebagai mata uang baru yang bisa membeli perhatian, keterlibatan, bahkan loyalitas. Sementara storytelling, yang sudah hidup sejak manusia menemukan api unggun, dianggap terlalu kuno dan lambat untuk zaman yang digerakkan oleh algoritma.
Klaim itu terdengar modern, tapi sesungguhnya rapuh ketika disentuh. Vibe memang bekerja sangat cepat. Bagaimana tidak, ia bicara pada lapisan paling dasar dari respons manusia: insting. Tone warna menenangkan, slow zoom lembut, musik dreamy, atau shot estetik yang sinematik sudah cukup untuk membuat seseorang menghentikan scroll.
Dalam konteks ekonomi perhatian, kemampuan semacam itu adalah kelebihan besar. Tidak ada brand yang bisa bercerita kalau audiens tidak berhenti. Dan untuk membuat mereka berhenti, vibe memang lebih ampuh dibandingkan paragraf pembuka yang cerdas.
Namun mengasumsikan bahwa kemampuan membuka pintu sama dengan kemampuan membangun rumah adalah salah satu kekeliruan paling umum dalam pemasaran hari ini.
Untuk memahami ketimpangan klaim itu, kita perlu kembali ke dasar: bagaimana manusia memahami dunia. Roland Barthes, dalam Mythologies, menjelaskan bahwa narasi bukan hanya cerita, melainkan sistem tanda yang membuat manusia mampu membaca pengalaman.
Cerita bekerja seperti struktur bawah tanah yang menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain, membentuk jaringan makna yang lebih besar daripada jumlah bagiannya.
Ketika Barthes membongkar “mitos” dalam budaya, ia sedang menunjukkan bahwa manusia tidak pernah berhenti mencari pola. Vibe, seberapa pun memikat, tidak menawarkan pola. Ia hanya menawarkan kesan yang cepat datang dan cepat pergi.
Gustav Freytag, dengan piramida dramatiknya, memetakan alur cerita menjadi perjalanan yang bergerak dari eksposisi, naik ke konflik, mencapai klimaks, lalu turun ke resolusi.
Pola ini bukan hanya untuk novel atau teater; ia adalah pola universal dari cara manusia merasakan pengalaman. Baik brand maupun individu hidup dari perjalanan seperti itu: ada masalah, ada proses, ada hasil.
Vibe tidak membawa kita ke mana-mana; ia hanya memotret satu momen tanpa konteks. Maka ketika ada yang berpendapat bahwa brand tidak lagi memerlukan storytelling, mereka sebenarnya sedang mengatakan bahwa manusia tidak lagi memerlukan struktur untuk memahami dunia. Itu jelas berlawanan dengan naluri manusia yang sudah bekerja sejak ribuan tahun lalu.
Joseph Campbell menegaskan hal itu lewat konsep The Hero’s Journey. Ia menemukan pola naratif yang muncul di berbagai budaya, agama, dan periode sejarah: perjalanan pahlawan yang keluar dari zona nyaman, menghadapi cobaan, memperoleh pengetahuan baru, lalu kembali sebagai sosok yang berubah.
Brand yang kokoh kerap bekerja dengan pola itu, bahkan ketika mereka tidak sadar melakukannya. Mereka menceritakan asal-usulnya, nilai yang mereka bela, konflik yang mereka hadapi, dan misi yang mereka kejar. Pola itu memberikan kedalaman emosional yang tidak dapat dihadirkan oleh vibe. Tanpa cerita, brand hanya menjadi gambar indah yang lewat tanpa jejak.
Memang kita tidak bisa menutup mata terhadap perubahan. Dunia digital sekarang memang memaksa konten bergerak lincah. Kompetisi bukan lagi antara brand A dan brand B, melainkan antara semua hal yang muncul di layar pada saat yang bersamaan.
Tidak heran vibe terasa seperti solusi yang paling ekonomis. Ia tidak perlu paragraf panjang, tidak perlu konteks, tidak perlu tokoh. Ia hanya perlu rasa. Vibe bekerja melalui sensorik, bukan kognitif. Ia menang di tikungan pertama, tapi jarang sampai garis akhir.
Brand-brand visual yang mengandalkan gaya hidup memang terlihat seolah-olah cukup hidup dari vibe. Kopi estetik, pakaian edgy, skincare viral yang memadukan warna pastel dan cahaya lembut, semua tampak bersinar karena atmosfir, bukan cerita.
Tapi sinar itu cepat redup ketika kompetitor meniru gaya yang sama dalam semalam. Tidak ada proteksi intelektual dalam vibe. Apa yang hari ini unik, besok menjadi standar, lusa menjadi membosankan.
Inilah titik di mana storytelling menunjukkan kekuatan sejatinya. Ia bukan sekadar alat untuk menjelaskan produk; ia membangun alasan untuk peduli.
Barthes mengingatkan bahwa manusia selalu mencari makna di balik tanda. Tanpa makna, hubungan tidak terbentuk. Storytelling adalah sarana menciptakan ikatan emosional itu. Begitu audiens merasa terhubung, brand punya tempat di benak mereka, bukan hanya di timeline mereka.
Bahkan Freytag dan Campbell, yang hidup jauh sebelum era TikTok, sebenarnya memberi landasan mengapa konten yang memiliki struktur naratif lebih mudah membangun resonansi.
Kita terikat pada cerita karena otak kita terstruktur untuk mengenali ritme emosional. Ketika konflik muncul, adrenalin naik. Ketika klimaks tiba, emosi memuncak. Ketika resolusi hadir, ketegangan mereda.
Vibe tidak menyediakan ritme itu. Ia seperti intro lagu yang interminable: menyenangkan, tapi tidak membawa kita ke mana-mana.
Bagaimana dengan Gen Z yang sering dijadikan alasan bahwa vibe lebih penting daripada cerita?
Kesalahpahaman itu terlalu dangkal. Generasi ini memang punya cara lain memproses dunia, tetapi bukan karena mereka kehilangan kemampuan menikmati cerita. Mereka hanya punya radar yang berbeda. Mereka mencari pintu masuk yang cepat. Ketika mereka bilang “vibenya dapet,” itu bukan penolakan terhadap narasi, melainkan sinyal awal bahwa konten ini layak dilihat lebih jauh.
Vibe adalah filter pertama, bukan tujuan akhir. Begitu pintu terbuka, mereka pun bersedia dijemput cerita yang lebih dalam.
Pendekatan brand yang hanya mengandalkan vibe ibarat membangun rumah kaca: indah dilihat dari luar, tetapi rapuh menghadapi angin. Sementara brand yang membangun narasi ibarat menanam pohon: butuh waktu, tapi akarnya akan menahan badai.
Banyak brand besar bertahan bukan karena mereka paling estetik, tetapi karena mereka menanam makna di benak audiens.
Nike bukan hanya soal sepatu dan video gerak lambat; ia hidup dari narasi “courage and human potential.”
Patagonia bukan hanya soal tone earthy; ia hidup dari narasi “planet dan komitmen.”
Bahkan brand makanan cepat saji yang paling visual pun sering bertahan karena ada cerita tentang kenyamanan masa kecil, keluarga, atau keberlanjutan.
Jika kita melihat lebih jauh, vibe dan storytelling sebenarnya tidak pernah dirancang untuk bersaing. Mereka dua fungsi berbeda dalam proses yang sama.
Vibe mengundang. Storytelling menahan. Vibe memancing rasa ingin tahu. Storytelling memuaskan rasa ingin tahu itu. Vibe mencuri perhatian. Storytelling mengubah perhatian menjadi hubungan.
Di tengah dunia digital yang makin padat, justru hubungan itulah yang paling mahal. Brand yang hanya mencari perhatian akan selalu kalah oleh mereka yang membangun kedekatan.
Brand yang hanya memoles permukaan akan cepat tenggelam. Brand yang merawat cerita, sebaliknya, menanam fondasi yang tidak habis oleh perubahan algoritma atau mode estetika.
Jadi, menghilangkan storytelling demi vibe sama saja seperti membuang fondasi demi pagar yang cantik. Pagar membuat orang menoleh, tapi fondasi membuat orang tinggal.
Vibe adalah undangan, cerita adalah rumah. Tidak ada brand yang bisa hidup dari undangan saja.
Bagaimana menurut kamu?
