Rabu, November 19, 2025

Mengapa Drama China Digemari?

- Advertisement -

Sampeyan mungkin salah satu penggemar fanatiknya. Belakangan ini, yang namanya drama China (dracin) memang makin banyak penontonnya.

Mengapa dracin populer?
Kadang saya merasa dunia hiburan ini seperti warung kopi di kampung yang tiba-tiba diserbu anak muda viral: ramai, bising, dan semua merasa menemukan “inovasi” padahal dasarnya tetap gula, kopi, dan gosip.
Begitu juga dengan meledaknya drama pendek dari Tiongkok, atau yang sekarang keren disebut microdrama. Fenomena ini seperti angin kencang yang mendadak mengibas seluruh industri konten global, sampai-sampai saya yang sudah pensiun dari dunia redaksi saja ikut terciprat hebohnya.
Bayangkan, zaman saya masih pegang kamera DSLR, drama itu berdurasi 40 menit per episode. Sekarang? Lima menit pun sudah dianggap “lumayan panjang”.
Tapi ya sudahlah, dunia memang makin tergesa-gesa. Saya bisa apa?

Microdrama lahir seperti anak bungsu yang tidak pernah diduga bisa jadi orang paling sukses satu keluarga. Diam-diam, industri ini meledak hingga bernilai miliaran dolar, terutama dari Tiongkok.
Dari laporan-laporan yang muncul, termasuk yang bersandar pada riset Algo Research, penonton global sedang dilanda demam baru: drama pendek yang emosinya padat, konfliknya meledak dalam hitungan detik, dan cliffhanger-nya bikin orang klik “next” lebih cepat dari saya klik remote TV ketika sinetron mulai lebay.
Dalam setahun terakhir, platform seperti ReelShort, DramaBox, GoodShort, hingga DramaWave memimpin unduhan aplikasi di berbagai negara. Ada yang sampai 11 juta unduhan sebulan. Itu angka yang dulu cuma dicapai drama Korea ketika Song Joong-ki masih jadi komandan pasukan fiksi.
Industri microdrama di Tiongkok bahkan sudah menyentuh angka 7 miliar dolar pada 2024, melampaui box office layar lebar mereka sendiri. Bayangkan, industri drama pendek, yang durasinya bahkan lebih pendek dari khotbah sebelum salat Jumat, mengalahkan film layar lebar yang harus bayar mahal kru, studio, dan efek CGI.

Fenomena dracin, microdrama, bukan “keajaiban baru”. Ia hanya menjawab gejala sosial paling klasik zaman ini: manusia makin tak sabaran, makin tak fokus, dan makin tak mau repot.
Para peneliti perilaku digital menyebut ini era micro-moment attention. Menurut teori Uses and Gratifications yang sering kami kuliahkan ke mahasiswa komunikasi, publik tidak mencari konten; publik mencari “kebutuhan psikologis cepat” untuk diisi. Microdrama memberikan itu: hiburan instan, dopamin cepat naik, dan ketagihan yang tidak ribet.
Bahkan kalau memakai teori Transportation-Imagery Model, cerita pendek sangat efektif membawa audiens “terangkut emosinya” tanpa banyak waktu untuk berpikir panjang.

Tidak perlu world building, tidak perlu kompleksitas karakter, cukup satu konflik: CEO kaya yang jatuh cinta sama gadis sederhana, atau time travel campur balas dendam, atau cinta terlarang yang lebih panas dari gorengan pinggir jalan.
Narasi-narasi ini sederhana, tapi relatable. Dan relatable adalah kata kunci era konten massal.
Setelah melihat riset visual di gambar-gambar terlampir, pola microdrama ini bisa dirangkum seperti resep sambal bawang:
1. Durasi 1–5 menit per episode
Kalau lebih dari itu, penonton sudah keburu pindah ke video kucing.
2. Cliffhanger setiap episode
Modelnya begitu sama: adegan berhenti tepat ketika karakter mau ngomong jujur, mau ciuman, atau mau mati, tapi ya ditahan. Ini strategi yang dikaji dalam teori Zeigarnik Effect: manusia benci hal yang tak tuntas, jadi dipaksa klik lagi.
3. Episode puluhan jumlahnya, bisa 50–100
Jadi meski pendek, akumulasinya sama saja seperti binge-watching 12 episode drama konvensional.
4. Produksi murah dan cepat
Studio bisa bikin beberapa judul sekaligus. Mirip pabrik tahu, cuma yang keluar adalah cerita melodramatik.
5. Format vertikal
Inilah geniusnya: bukan sekadar memindahkan drama ke ponsel, tapi menciptakan drama khusus untuk ponsel. Seperti sinetron yang lahir dari Instagram Stories.
6. Tema universal dan sederhana
Temanya klasik dan sangat umum, kisah tentang CEO kaya dan gadis miskin; balas dendam; kilas balik atau perjalanan waktu dibumbui percintaan; atau cinta segitiga tingkat kolosal.

Ini formula yang secara akademis disebut sebagai cultural universal archetypes. Jung mungkin tersenyum kecil di alam sana.
Ramuan dan resep dracin sungguh rapi, memamerkan kelihaian peraciknya. Kita bisa membuat daftar belanja keberhasilannya merebut perhatian orang, di antaranya:
1. Cepat Masuk Rutinitas Harian
Microdrama cocok untuk masa “menunggu”: nunggu bus, nunggu kopi turun dari mesin, nunggu mantan balas chat (yang tak akan terjadi).
Sosiolog menyebutnya sebagai interstitial time—waktu-waktu kecil yang dulu tidak terpakai, kini jadi lahan emas industri hiburan.
2. Dopamin Instan
Konflik muncul dalam 20 detik. Emosi meledak dalam 40 detik. Ini sesuai teori Dopamine Loop ala Silicon Valley: buat orang menunggu sedikit ketidakpastian, lalu berikan hadiah emosional cepat.
Kita semua tahu bagaimana itu bekerja.
3. Produksi Murah, Distribusi Murah
Dibanding K-drama yang satu episodenya bisa makan 1–3 miliar won, microdrama ini seperti gerobak bakso, modal rendah, tapi kalau penempatan lokasi bagus bisa kaya raya.
Studio pembuatnya tinggal genjot konten. Algoritma akan bergerak sendiri.
4. Emosi Universal
Tema-temanya memang receh, tapi dari Nigeria sampai New York, semua orang paham rasa jatuh cinta beda kasta atau cerita dendam.
Dalam kajian Global Media Flow, konten paling cepat menembus batas budaya justru yang paling sederhana.
Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa produk ekspor budaya Cina ini sesungguhnya soft power berbentuk drama tiga menit.
Kalau dulu orang khawatir budaya Korea menyerbu lewat K-pop dan K-drama, kini Tiongkok melakukan versi turbo-nya.
Microdrama jadi soft power baru.

Di pasar global, aplikasi seperti ReelShort dan DramaBox merajai unduhan di AS, Inggris, Jepang, Taiwan, dan Eropa. Ini bukan lagi “konten Asia untuk Asia”.
Ini ekspor budaya berskala raksasa, yang diselipkan dalam format yang cocok dengan ritme hidup masyarakat dunia.
Saya bayangkan para diplomat budaya Tiongkok mungkin tertawa senang: tanpa konferensi besar, tanpa promosi negara, cukup drama 3 menit, dunia ikut menonton kisah cinta CEO dan putri petani.

Ironi yang manis, kalau boleh saya bilang.
Sebagai orang yang sudah melewati zaman VHS, CD bajakan, hingga era Netflix, saya sering merenung: apakah kita yang berubah, atau kontennya yang mendikte kita?
Jawabannya: keduanya.
Para akademisi komunikasi menyebut ini era media acceleration, yaitu kecepatan produksi dan konsumsi konten yang mempercepat ritme sosial.
Microdrama adalah contoh paling telanjang: cerita dipadatkan, emosi diperas, dan alur disingkat. Kita tidak lagi diberi kesempatan merenung. Kita hanya diberi rangsangan. Terus-menerus.

Ada kekhawatiran bahwa ini akan membentuk generasi yang tak sabar pada cerita panjang, apalagi realitas yang membosankan. Tapi saya juga sadar, generasi saya dulu dibilang sama oleh orang tua ketika kami suka MTV. Dunia memang selalu mengulang keluhannya.
Walau saya tak suka menontonnya, saya tidak bisa memungkiri bahwa microdrama membuka model bisnis baru.
Dari data revenue, aplikasi seperti ReelShort dan DramaBox menghasilkan puluhan juta dolar setiap bulan. Sistemnya “buy more episodes”, “unlock next chapter”, atau “coin system”—mirip game mobile.

Ini bukan sekadar hiburan. Ini ekonomi.
Bagi kreator Indonesia, microdrama mestinya tidak sekadar ditonton, tapi dipelajari. Kita punya banyak cerita lokal yang kuat, dari drama keluarga ala Losmen Bu Broto sampai komedi sosial ala Warkop. Tinggal bagaimana memadatkannya menjadi lima menit yang meledak.
Kadang saya merasa tertinggal. Bukan karena teknologinya sulit, tapi karena dunia sudah tidak punya jeda yang panjang seperti dulu.
Saya rindu masa ketika cerita butuh waktu tumbuh. Ketika wartawan bisa menulis panjang tanpa takut ditinggal pembaca.
Tapi saya juga harus jujur pada diri sendiri: microdrama adalah cerminan zaman. Ia muncul karena kita membutuhkannya. Atau setidaknya, kita menganggap membutuhkannya.

- Advertisement -

Sebagai pensiunan wartawan yang dulu hidup dari cerita panjang dan liputan mendalam, saya tentu punya sentimen. Tapi saya juga tahu bahwa setiap generasi punya bentuk cerita sendiri.
Dan kalau cerita zaman ini berbentuk vertical video tiga menit dengan cliffhanger di ujungnya, ya terima saja. Cerita tetap cerita. Bentuknya saja yang berubah.
Saya tutup cerita tentang microdrama ini dengan sedikit harapan, “Semoga saja orang masih mau membaca tulisan sepanjang 1.500 kata seperti ini.”
Kalau sampeyan membaca tulisan sampai di titik ini, rasanya harapan saya belum mati.

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.