“Maaf, agak telat. Saya kira perjalanannya tidak akan semacet ini,” kata Ratih Kumala memulai perbincangan.
Ratih Kumala dan Eka Kurniawan adalah dua penulis yang belakangan ini namanya makin terkenal di dunia sastra Indonesia. Selain sebagai penulis, keduanya adalah pasangan suami istri.
Keduanya telah melahirkan beberapa novel, selain sempat juga menerbitkan kumpulan cerita pendek. Kedua penulis muda ini bertutur pada The Geo Times tentang kecintaan mereka pada sastra.
Sebagai pemantik pembicaraan, mereka mengawali cerita tentang ide untuk tulisannya. “Ide tulisan? Kami rasa kami tidak pernah bertabrakan dan gak pernah sama juga,” kata Ratih. Eka menimpali bahwa selama ini mereka jarang memiliki ide yang sama. “Selain itu kami hanya saling cerita tentang tema tapi tidak pernah saling membantu dalam proses membuat tulisan,” tutur Eka.
Eka, kelahiran Tasikmalaya 40 tahun lalu ini menceritakan bahwa untuk ide sampai saat ini jarang ada bentrokan karena ketika di rumah mereka mengurangi pembicaraan mengenai sastra. “Di rumah, kami jarang ngomongin sastra,” kata Eka. Ratih menambahkan bahwa jika berbicara sastra yang ada justru berantem.
“Kalau ngomongin sastra di rumah yang ada malah ribut. Lebih baik ngurus anak aja kalau di rumah,” tambah Ratih yang Juni tahun ini genap berusia 35 tahun.
Baik Ratih maupun Eka menyepakati bahwa tema tulisan mereka selama ini memiliki perbedaan. Ini yang menyebabkan keduanya tidak pernah bertabrakan mengenai ide.
Sebagai seorang penulis, keduanya memiliki tingkat produktifitas yang cukup tinggi. Ratih sampai saat ini telah menerbitkan empat novel dan satu kumpulan cerita pendek.
Sedangkan Eka, selain menerbitkan tiga novel dan tiga kumpulan cerita pendek dia juga pernah menerbitkan satu buku non fiksi.
Ditanya mengenai karya terbaiknya, Ratih merasa bahwa karya yang paling baru yang dia anggap paling baik. “Buku yang paling baru itu artinya kualitasnya lebih bagus karena kita pernah belajar dari kekurangan buku yang lama,” terangnya.
Senada dengan Ratih, Eka pun menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang sama. Eka hanya menambahkan buku yang baru itu hadir sebagai perbaikan secara kualitas dari buku sebelumnya.
Beberapa karya Ratih antara lain Tabula Rasa yang terbit 2004, Genesis terbit 2004, Kronik Betawi terbit 2009, dan Gadis Kretek terbit 2012 serta kumpulan cerpen Larutan Senja terbit 2006. Diantara semua novelnya, Ratih selalu memunculkan sosok karakter perempuan kokoh.
“Sebenarnya tidak ada kesamaan di antara semua novel saya, hanya saja ada satu benang merah yakni perempuan tegar yang kuat,” ungkap Ratih. Mungkin terkesan Ratih penganut feminisme, tapi bagi Ratih itu hanya kebetulan.
Sama halnya dengan Ratih, novel karangan Eka tidak memiliki kesamaan secara cerita atau alur. Namun menurutnya jika pembaca lebih memahami karyanya akan ada satu benang merah. “Benang merah dari novel saya adalah semangat membalas dan trilogi dendam,” terang Eka.
Eka mengawali karya novelnya pada 2000 dengan terbitnya novel Cantik Itu Luka. Hingga akhirnya, dua tahun kemudian terbit novel Lelaki Harimau.
Butuh 10 tahun bagi Eka untuk menyelesaikan novel ketiganya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang baru terbit 2014.
Lamanya rentang terbit dari novel kedua ke novel ketiga, bagi Eka disebabkan karena selama ini target yang dia pasang selalu kalah dengan skala prioritas yang dibuatnya sendiri. “Meski ada target untuk menyelesaikan karya dengan waktu yang cepat, saya kira tidak maksimal jika kualitasnya jelek,” ucap Eka.
Ratih, sang istri juga menilai bahwa Eka bukanlah sosok yang terburu-buru dengan karyanya. “Eka ini lebih sabar dengan karyanya. Saat menulis, Eka riset, baca, mengendapkan ide, baru menulis kembali,” terang Ratih. “Ini berbeda dengan saya yang selesai menulis langsung diterbitkan.”
Eka menambahkan bahwa selama menjadi penulis, baginya kualitas harus diutamakan daripada produktifitas. Alasannya pun sangat sederhana. “Di Indonesia, membuat novel tidak akan membuat penulis kaya raya,” kata Eka. Menurut Eka ini karena apresiasi terhadap karya sastra masih sangat kurang. Dia menyesalkan bahwa pemerintah belum memiliki perhatian terhadap karya sastra.
Seringnya novel yang diadaptasi untuk dijadikan film tidak serta-merta membuat kedua penulis ini berniat mengangkat karya-karyanya ke layar lebar. Kesibukan Ratih sebagai seorang editor naskah di salah satu stasiun televisi membuat dirinya mengetahui benar bagaimana proses pembuatan skenario.
“Tidak perlu setiap novel yang terkenal harus diangkat ke layar lebar,” kata Ratih. Dia menyesali bahwa seringkali ketika novel akan diangkat ke layar lebar akan ada banyak bagian dari novel yang dihilangkan. “Ini seperti buku tersebut dibedah, dicabik-cabik, dan hanya dipilih yang diperkirakan menarik bagi penonton. Ini tentu menyakitkan bagi penulis seperti saya,” katanya. Padahal proses kreatifitas selama penulisan novel itu tidak sebentar.
Begitu pula bagi Eka. Dia menganggap bahwa kesuksesan sebuah novel tidak bisa dipandang dari apakah sudah diangkat ke layar lebar atau belum. Baginya, daripada harus mengorbankan novel untuk diangkat ke layar lebar tapi tidak sesuai aslinya lebih baik tidak usah. “Atau kalau mau lebih baik saya membuat naskah untuk film dan jangan langsung dari novel,” ungkap Eka.
Eka menganggap bahwa kesuksesan novel bukan hanya dilihat dari apakah karya tersebut diangkat ke layar lebar atau telah mendapatkan penghargaan. “Kafka ataupun Borges tidak pernah mendapatkan hadiah nobel. Dan itu tidak menjelekkan karya mereka,” kata Eka mengandaikan permasalahan ini. Selama karya itu menyenangkan ketika dibaca, baginya itu adalah sebuah penghargaan yang luar biasa.
Untuk tahun ini, keduanya sedang menantikan karya terbaru mereka. Ratih Kumala, sesuai nama salah satunya novelnya si Gadis Kretek, akan menerbitkan kumpulan cerita pendek dengan judul Bastian dan Jamur Ajaib.
Begitu pula Eka Kurniawan, si Lelaki Harimau, akan menerbitkan kumpulan cerita pendek dengan judul Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi.
Meski memiliki banyak kesibukan di luar dunia menulis, baik Eka ataupun Ratih berharap agar mereka masih mampu berkarya.
Di tengah kesibukannya sebagai pengurus Dewan Kesenian Jakarta, Eka mengharap agar mampu lebih banyak memikirkan ide untuk tulisannya. Meski selama ini dia juga mengakui banyak ide yang muncul namun banyak juga yang gugur. “Namun sampai saat ini saya berharap akan lebih banyak novel yang saya tulis,” kata Eka. [*]