Sepak bola, tak pelak dianggap sebagai sebuah olahraga dengan penikmat terbesar di dunia. Pun dengan Indonesia. Olahraga yang dimainkan 22 orang ini mendapat posisi yang cukup istimewa. Jika tim nasional bermain, akan dengan sangat mudah membuat Stadion Gelora Bung Karno, yang berkapasitas 88 ribu orang tersebut penuh diisi pendukung.
Sayang, antusiasme dukungan tidak berbanding lurus dengan prestasi maupun pengelolaan sepak bola di Indonesia. Baru dua pertandingan berjalan, QNB League, liga sepak bola tertinggi di Indonesia dihentikan. Bahkan, Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) dibekukan oleh Kementerian Olahraga, Imam Nahrowi.
“Padahal sepak bola bukan hanya berbicara liga, taktik, statistik, ataupun hal-hal teknik lainnya,” kata Zen Rachmat Sugiarto, di awal perbincangan.
Zen RS, begitu dia dikenal di dunia maya. Namanya berkibar sebagai esais, penulis buku, serta salah satu pendiri sebuah situs yang berbincang tentang sepak bola, panditfootbal.com.
“Orang umumnya menganggap bahwa sepak bola hanyalah murni olah raga. Padahal, sepak bola itu punya sub kultur sendiri yang mandiri, yang hanya bisa dipahami oleh penikmat bola.”
Ketertarikan Zen di bidang sepak bola, sudah dimulai sejak kecil. Berlanjut hingga SMA, di matanya sepak bola adalah olahraga paling favorit.
Berkat sepak bola ini pula, Zen bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi tanpa harus melalui tes masuk dan mendapat beasiswa.
“Dulu saya masuk kuliah yah gara-gara beasiswa sepak bola,” kata Zen.
Namun semenjak kuliah, Zen tidak melanjutkan ketertarikannya di dunia bola. Dia memilih bergabung dengan organisasi pers mahasiswa di kampusnya.
“Saya kira bakat saya di sepak bola juga tidak bagus-bagus amat. Dan saat itu saya memilih gabung di persma,” kata Zen. “Jadi sekarang saya bermain bola dengan tangan saja.”
Tapi, Zen tidak sepenuhnya meninggalkan dunia bola. Meski tidak aktif sebagai pemain dengan karier yang cemerlang, di persma dia merasa mampu menuliskan hal-hal mengenai bola secara lebih menarik.
“Dari cara berpikir secara multidisiplin, yang biasa diajarkan ketika di persma, disitulah saya melihat bahwa melihat sepak bola bukan dari satu sudut pandang. Bukan sekedar taktik saja, namun juga ada hal lain seperti sepak bola yang menjadi sub kultur yang solid.”
Menurut pendukung salah satu klub dari Bandung ini, sepak bola mempunyai sub kultur yang mandiri, terlihat di kota-kota di Indonesia yang memang mempunyai klub-klub besar atau setidaknya klub yang punya tradisi.
“Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, dan Medan adalah contoh kota di Indonesia yang sub kultur sepak bolanya cukup kuat.”
Di wilayah yang kental dengan unsur sepak bolanya, Zen mengatakan bahwa akan ada media-media yang digunakan pendukung untuk mendukung klub lokalnya.
Seperti contoh lagu dukungan. Band yang berasal dari wilayah tersebut pasti pernah mengeluarkan lagu dukungan untuk klubnya.
“Contohnya saja misal album musik yang mendukung Persib yang diisi oleh penyanyi ataupun band Bandung.”
Karena berdiri sebagai sub kultur yang mandiri, sepak bola akhirnya punya logika befikir sendiri. Bukan semata-mata menjadi olahraga.
Yang paling jelas terlihat bagi Zen adalah bagaimana pendukung memaknai klub yang didukungnya.
“Suporter itu tidak jauh beda dengan gerakan anarko. Jadi, suporter bukan hanya saja menonton sepak bola sebagai sebuah permainan olahrga namun juga suporter sudah menjadi unit kebudayaan, unit sosial, bahkan unit ekonomi,”
Sebagai contoh baju suporter. Baju suporter itu diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi oleh suporter itu sendiri. Selain itu, suporter tidak segan untuk bolos kerja, sekolah, kuliah hanya untuk menonton klub sepak bolanya main.
“Ketika beberapa kali menonton di tribun, saya sering melihat tidak jarang suporter itu bolos kerja hanya untuk menonton bola.”
Karena kedekatannya dengan kelompok suporter ini pula, akhirnya Zen memandang sepak bola tidak hitam putihnya saja.
Zen mengakui semenjak kuliah dia seringkali bolos hanya untuk melihat klub sepak bola yang didukungnya bertanding.
“Zaman kuliah saya pernah bolos beberapa kali untuk melihat klub saya main. Namun, gara-gara ongkos dari Yogyakarta ke Bandung saat itu mahal, saya tidak bisa sering-sering menonton.”
Pada 2004, Zen mulai aktif menulis di media dan surat kabar. Dia mengakui, tulisannya masih terbawa persma dengan perspektif yang seringkali monolitik.
“Dulu beberapa tulisan awal saya mengenai bola seringkali hanya merujuk, belum bisa sampai berdenyar,” katanya.
Dari perkenalan dengan rekan-rekan media secara nasional akhirnya muncul gagasan Zen untuk membuat sebuah media yang memandang sepak bola secara multi disiplin.
Keinginnya ini bermula karena dirinya merasa jengah dengan tulisan-tulisan sepak bola yang hanya melihat sepak bola secara teknis.
“Yang nulis bola tapi belum pernah tahu rasanya jadi pemain bola, seringkali memberitakan statistik tanpa konteks. Justru orang yang ngerti bola, bukan hanya bicara mengenai statistik,” katanya.
Pada 2010, ketika berpindah ke Bandung Zen mendapat angin segar atas rencananya tersebut. Dengan berpindah ke Bandung pula, suami Galuh Pangestri ini makin yakin dengan rencananya.
“Intinya sih membuat situs yang mampu membuat suporter lebih peduli. Bagaimanapun bola bukan hanya masalah intuisi, statistik, dan hal-hal seperti itu. Namun juga mengenalkan tentang hal-hal ilmiah di dunia sepak bola ke masyarakat umum.”
Lepas dari kesibukannya mengurus situs tentang bola ini, 2014, Zen sempat menerbitkan buku novel dengan judul Jalan Lain Ke Tulehu: Sepak bola dan Ingatan Yang Mengejar.
Masih berkaitan dengan si kulit bundar, novel tersebut juga bercerita mengenai sepak bola yang secara unik memainkan peranannya di tengah konflik.
Sibuk menjadi esais dan penulis yang berkaitan dengan bola tak membuat Zen melupakan agama. Diakhir pembicaraan, ketika ditanya buku apa yang menginspirasinya, dengan lantang Zen menjawab,“Al Quran.” [*]