Menjadi seorang pilot bisa jadi merupakan pilihan karir yang luarbiasa. Apalagi bagi mereka yang menyukai penerbangan, keliling dunia dan tantangan. Tak hanya itu, menjadi pilot juga menjanjikan pendapatan yang fantastis.
Namun profesi ini tidak bisa dianggap remeh. Menjadi seorang pilot bukan hanya mampu menerbangkan pesawat saja, dibutuhkan tanggung jawab yang besar untuk mengantarkan ratusan nyawa selamat sampai tujuan.
Dulu, profesi pilot identik dengan kaum pria, seiring waktu kini pilot wanita sudah bukan hal aneh. Tak sedikit wanita di dunia memutuskan untuk melanglang buana ke angkasa dengan mengendalikan burung baja.
Jumlah pilot wanita yang bekerja pada penerbangan komersil di Indonesia masih bisa dihitung jari. Di tengah lingkungan profesi yang didominasi pria, mereka harus membuktikan keahlian lebih.
Siang itu, 23 Desember 2014, sekitar pukul 12.30 saya bersama rekan sekantor berencana menyambangi kantor penerbangan komersil Air Asia untuk bertemu dengan salah satu kapten di penerbangan tersebut. Letak kantor penerbangan asal Malaysia ini di belakang Bandara Soekarno Hatta.
Sepanjang jalan menuju bandara, terpantau lalu lintas dipadati mobil dan bus. Pemandangan ini sudah tidak asing bagi saya, karena saat itu menjelang akhir tahun, banyak warga Jakarta yang memutuskan untuk berlibur. Sekitar satu jam sudah kami menyelami kemacetan itu, kami tiba di kantor Air Asia.
Kami duduk di lobi sekitar 30 menit, kami melihat seorang wanita berseragam pilot, bertubuh langsing dan berambut pendek menghampiri kami. “Halo… Selamat siang, ini Mba Roro ya,” tutur wanita itu sambil tersenyum dan menyodorkan tangannya.
Dia adalah Monika Anggraeni. Monika satu-satunya pilot wanita yang bekerja di penerbangan komersil Air Asia.
Sekitar satu jam saya berbincang dengan Monika, kesan ramah, mudah bergaul dengan siapa saja, dan anggun tampak pada diri Monik, demikian dia disapa. Hanya sebentar kami sudah akrab berbincang. Tidak ada rasa canggung di antara kami.
Ia bercerita jika sejak kecil sudah akrab dengan pesawat terbang. Bukan hanya karena rumahnya berada di kompleks Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, tapi juga karena sang ayah, almarhum Bambang Wiratmo, adalah kolonel Angkatan Udara di bidang teknik.
“Sejak kecil saya sering diajak ayah melihat pesawat, terus diajak masuk ke dalam pesawat sambil dijelasin tetang pesawat,” tutur Monik.
Monik mengaku, tertarik memilih profesi sebagai pilot karena terinspirasi sang ayah. Pasalnya, sejak Monik mulai masuk Sekolah Menengah Atas wanita yang sudah memperoleh gelar kapten ini diberi gambaran oleh sang ayah bagaimana pekerjaan seorang pilot dan menjadi pilot yang baik.
“Sebenarnya cita-cita saya jadi sarjana teknik arsitektur. Ayah saya tetap mendukung. Tapi, karena saya ingin mewujudkan cita-cita ayah yang ingin menjadi pilot dulu, jadi saya berpikir untuk mewujudkan cita-cita ayah yang kini menjadi tujuan hidup saya,” jelasnya.
Selepas lulus Sekolah Menengah Pertama, Monik tak langsung mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pilot. Dia justru mendaftarkan diri ke Teknik Sipil Universitas Trisakti. Namun, hanya satu semester, keinginan menjadi pilot kembali menggodanya.
“Waktu saya kuliah saya tiba-tiba ingin menjadi pilot. Akhirnya saya tes di Juanda Flying School Surabaya dan ternyata lulus. Karena lulus jadi kuliah saya tinggalkan,” jelasnya.
Setelah dua tahun menempuh studinya di sekolah penerbangan tersebut, Monik meneruskan sekolahnya di Avindo Angkasa yang berada di areal Halim Perdanakusuma.
Sekolah penerbangan itu dilaluinya dengan mudah. Setalah mengantongi Private Pilot License, Monik juga lulus prasyarat untuk menerbangkan pesawat komersiil berpenumpang, yakni pesawat multiengine (untuk menerbangkan pesawat bermesin ganda), dan instrument rating.
Namun, tantangan sekolah dan dunia kerja ternyata ibarat bumi dan langit. Dengan berbagai lisensi dan ijazah penerbang itu, Monik pun melamar ke berbagai maskapai penerbangan nasional. Namun, tidak ada satu pun maskapai yang memanggilnya.
“Saya sudah melamar ke berbagai tempat, tapi ternyata enggak ada yang memanggil. Saya mikir saat itu, kenapa maskapai tidak ada yang memanggil saya? Saya hampir putus asa. Saya sempat berpikir, pilot ini jalan saya atau bukan? Tapi saya terus mencoba. Karena kita yang menentukan jalan hidup sendiri,” kenangnya.
Setelah dua tahun menganggur, Monik kemudian memutuskan untuk kuliah lagi di Universitas Trisakti. Kali ini wanita kelahiran Jakarta itu masuk jurusan akuntansi.
Setahun setelah dirinya memperoleh gelar sarjana akuntansi, dia menjadi tenaga keuangan di salah satu perusahaan jual-beli mobil. Setelah itu, dia juga pernah bekerja sebagai staf keuangan di perusahaan penyewaan pesawat carteran.
Booming maskapai pernebangan swasta di tanah air membuat impiannya menjadi pilot terbuka kembali. Sebab, dengan banyaknya maskapai baru yang tumbuh, kebutuhan akan pilot juga ikut naik pesat.
Awal karirnya menjadi pilot dimulai saat ia melamar di penerbangan Star Air pada 2004. Saat itu lamarannya menjadi pilot diterima dan Monik menjadi kopilot. Monik sangat bersyukur, hampir delapan tahun lisensi penerbangan yang dimilikinya hanya menjadi pajangan di kamarnya. Akhirnya lisensi tersebut berguna kala itu.
Kini 10 tahun sudah Monik menjadi pilot dengan pengalaman 8700 jam terbang.
Maskapai yang berpusat di Malaysia tersebut benar-benar memberikan kesempatan bagi Monik untuk meningkatkan kemampuannya. Setelah digembleng kembali di pusat pelatihan Air Asia di Sepang, Malaysia, Monik juga dipercaya untuk menjadi kopilot untuk rute regional Bangkok, Malaysia, Kinabalu, dan Kuching.
Dengan Jadwal empat hari kerja dan dua hari istirahat, Monik mengaku tetap dekat dengan keluarga. Dalam seminggu, Monik mengaku bisa terbang tiga kali.
“Untungnya saya masih punya waktu bersama keluarga. Gimana pun caranya, saya harus menyediakan waktu dengan keluarga. Dan untungnya keluarga mengerti pekerjaan saya,” tuturnya sambil tertawa.
Menjadi seorang pilot memiliki resiko yang sangat besar. Namun menurut Monik, semua itu diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. ”Saya sebagai manusia hanya bisa berusaha sekuat tenaga dan kemampuan saya, tetapi takdir di tangan sang empunya hidup."
Sebagai pilot, berbagai situasi yang tidak mengenakkan pernah dialami Monik. Misalnya, pengalaman pendaratan darurat setidaknya dua kali. Tetapi hal ini tidak membuatnya takut untuk menerbangkan pesawat. Justru pengalaman itudijadikannya sebagai pelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Meski Monik sudah mewujudkan cita-cita sang ayah menjadi pilot, namun hingga kini dia masih memiliki obsesi yang belum tercapai.
“Kalau menjadi pilot kan engga bisa selamanya, atau memiliki batas umur. Saya ingin sekolah S2 lagi yang berhubungan dengan menejemen penerbangan lah pokoknya. Biar jadi pengaja
r. Alhasil saya bisa berbagi ilmu dengan yang lain,” katanya di akhir perbincangan. [*]