Politik yang hanya mencari kekuasaan memang sering menyebalkan. Sebab bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Masa bodo dengan etika. Masa bodo dengan kebenaran.
Tapi bukan hanya itu, persaingan politik memungkinkan lawan menanam citra buruk. Sialnya, usaha itu dilakukan dengan menebar fitnah. Berita bohong. Menyebarkan ketakutan dan ancaman psikologi.
Kata Jokowi, “Banyak politisi baik, tapi banyak juga politisi sontoloyo.”
Ini sebuah statement yang menyentil. Mungkin Jokowi sudah eneg melihat perilaku para politisi. Masyarakat dijejali informasi yang jauh dari data. Informasi yang tidak punya basis kebenaran.
Kasus Ratna Sarumpaet sebagai contoh, bagaimana sebuah kebohongan ingin dikapitalisasi secara politik. Kasus lain adalah teriakan bahwa ekonomi Indonesia sedang dalam masalah, padahal semua lembaga penilai dunia memuji ekonomi kita.
“Indonesia ekonominya sangat baik. Di tengah kondisi dunia yang tidak stabil, Indonesia mampu menunjukkan kinerja yang terjadi. Fiskalnya sangat sehat,” ujar Christian Lagarde, Direktur IMF beberapa waktu lalu. “Saat ini Indonesia tidak butuh IMF,” tambahnya lagi.
Politisi sontoloyo yang dimaksud Jokowi bukan hanya memanipulasi informasi, tetapi juga mencari celah keresahan dengan berbagai pelintiran isu. Pembakaran bendera HTI, dipelintir menjadi pembakaran bendera tauhid.
Apa targetnya? Agar ada kekacauan. Pola politik seperti ini pernah dicoba saat Pilkada Jakarta untuk menjatuhkan Ahok, dan diketahui cukup efektif untuk menjadi sebuah strategi konyol. Dampak negatifnya tidak sedikit, tapi sepertinya mereka tidak peduli dengan dampak seperti itu.
Siapa politisi sontoloyo yang dimaksud? Yaitu, mereka, yang menghiasi perdebatan politik dengan ujaran kebencian, dengan fitnah dan berita bohong. Singkatnya, politisi sontoloyo adalah mereka yang menjadikan hoaks sebagai primadona.
Dunia digital memang bermata ganda. Di satu sisi, informasi yang bebas bisa dijadikan pendidikan politik bagi rakyat, di sisi lain, juga bisa digunakan untuk menyebarkan informasi palsu atau hoaks . Pendidikan politik jadi omong kosong.
Karena anak muda adalah native di dunia digital, merekalah korban pertama dari politisi sontoloyo. Anak-anak muda harus melawan para politisi sontoloyo. Bukan hanya karena keberanan harus disuarakan. Tetapi perlawanan ini untuk menyelamatkan masa depan kubangan fitnah.
Perlawanan anak muda adalah semacam penegasan. Jangan rusak masa depan kami dengan fitnah dan kebohongan. Hentikan permainan gilamu. Jika tidak, kami terpaksa membarangusmu, demi masa depan kami.
Nah, diskusi Seruput Kopi kali ini menghadirkan Gustika Jusuf Hatta, cucu seorang Proklamator Bung Hatta. Bersama Tsamara Amany, anak muda Caleg PSI.
“Kalau anak-anak muda dicekoki informasi palsu melulu, itu bahaya banget. Nanti kita makin susah memilah mana yang asli dan mana yang palsu,” ujar Tsamara.
Gustika punya pandangan lebih jauh, “Anak muda memang bisa jadi korban. Tapi bisa juga jadi penyeimbang. Soalnya anak-anak muda yang gadget minded lebih melek informasi ketimbang masyarakat lainnya. Makanya kita perlu aktif meluruskan hoaks,” ujarnya.
Baik Gustika dan Tsamara, sepakat harus ada perlawanan serius yang dipelopori kaum muda dari ulah politisi sontoloyo ini. Bukan hanya untuk sekadar meluruskan sebuah kesalahan, tetapi yang jauh lebih penting adalah menyelamatkan masa depan bangsa.
“Kita gak mau sejarah politik kita nanti dibangun di atas kebohongan,” ujar Tsamara.
Simak Selengkapnya Diskusi “Seruput Kopi”: Politisi Sontoloyo