Ada slogan kebangkitan Orde Baru yang ingin dijejalkan kepada rakyat Indonesia, “Penak zamanku, tho?” Penak apanya? Kita bisa mulai sejak 1965. Pembersihan PKI yang dilakukan tanpa proses pengadilan menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang. Ada sejarawan mencatat angkanya mencapai 2 juta orang. Dengan cara itulah Soeharto naik ke kursi kekuasaan.
Di Aceh 10 ribu orang menjadi korban pemberlakuan Daerah Operasi Militer. Hal yang sama terjadi di Papua. Berbagai kasus lain seperti tragedi Talang Sari, Haur Koneng dan Tanjung Priok, Penembak Misterius (Petrus) juga menggambarkan betapa murahnya harga nyawa rakyat.
Kekejaman itu terjadi atas nama stabilitas politik demi pembangunan ekonomi. Yang terjadi adalah pemberangusan siapa saja yang berseberangan dengan penguasa. Tapi sisi ekonomi ternyata juga meninggalkan masalah besar. Kroni Soeharto memanfaatkan kedudukannya untuk mengeruk kekayaan Indonesia.
Tanya saja petani cengkeh atau petani bawang putih pada zaman itu. Seorang Putera Presiden mengelola tata niaganya, yang menyebabkan daya tawar petani ambruk. Hanya dengan tangan kekuasaan mereka menikmati setiap tetes keringat petani. Sementara petaninya sendiri hidup merana.
Waktu itu hampir tidak ada peluang ekonomi yang lolos dari cengkraman kepentingan Cendana. Semua anak dan keluarga Soeharto berbisnis. Memanfaatkan kedudukan orang tuanya sebagai Presiden.
Kehidupan zaman Orde Baru adalah politik yang penuh penindasan dan aspirasi yang terbungkam. Pers penuh sensor. Mahasiswa dan aktivis dibungkam. Ekonomi dikuasai kroni Soeharto. Rakyat hanya bisa menikmati remah-remahnya saja.
Makanya rakyat berontak. Gerakan 1998 adalah titik perlawanan rakyat pada Orde Baru.
Kini anak-anak dan bekas menantu Suharto ingin mengajak bangsa Indonesia kembali ke jaman kegelapan itu.
Slogannya keren. “Penak zamanku, tho?”
Penak apanya?
Kita perlu kembali mengingatkan rakyat bagaimana sebuah kekuasaan yang otoriter dan beringas pernah bercokol di Indonesia. Saat awal berkuasa, kekuasaan jenis itu memakan ratusan ribu korban nyawa. Begitu pun ketika kejatuhannya. Ratusan nyawa menjadi tumbalnya.
Diskusi seruput kopi kita kali ini menghadirkan dua tokoh mahasiswa yang aktif menentang Soeharto di masa akhir kekuasaannya. Adian Napitupulu dan Wanda Hamidah. Keduanya aktivis 1998 yang paling gigih menentang kekuasaan Soeharto. Selamat mengikuti.