Tertawa dan menangis terkadang dipertentangkan. Padahal dua hal tersebut baik untuk kesehatan mental. Orang waras pasti melakukan itu.
Dalam kondisi tertentu, penyebab tawa dan tangis sama. Ada orang gembira tertawa sampai air mata bercucuran, bahkan terkencing-kencing. Kayak emak-emak lah. Apakah mereka sedih?
Dalam keadaan gembira, senang, dan lucu ternyata dapat meneteskan air mata. Kondisi tersebut menunjukkan menangis tidak selalu identik dengan kesedihan. Kebahagiaan juga dapat memicu seseorang menangis.
Bedanya, tertawa tidak dapat dipicu dengan kesedihan. Tertawa lebih monoton karena hanya dipicu dengan kesenangan, kebahagiaan, atau kelucuan. Nabi saw menyatakan, kalau manusia itu banyak merenung, pasti dia akan lebih banyak menangis ketimbang tertawa. Tepat sekali, karena faktor penyebab tangis jauh lebih banyak ketimbang tawa.
Ekspresi Kejujuran
Hal terpenting dalam tawa dan tangis adalah ekspresi batin yang menyebabkannya terjadi. Apa sebab seseorang tertawa dan menangis? Apakah tawa dan tangis tersebut dibuat-buat atau tidak? Apakah hanya sandiwara?
Inilah yang perlu dicermati melihat tawa dan tangis. Setelah sebab dipahami, baru yang diperhatikan selanjutnya adalah tujuannya, untuk apa? Untuk menghina atau menghibur?
Tawa dan tangis yang sehat menurut pakar disebabkan karena kejujuran. Maksudnya tanpa direkayasa. Tidak didasari kepura-puraan atau untuk menutupi perasaan. Terjadi secara spontan.
Tawa dan sedih yang tulus sangat berbeda dengan yang dilandasi kebohongan. Tawa yang ikhlas menyebabkan lingkungan bahagia. Tangis yang tulus menyebabkan orang lain empati. Tawa dan tangis yang tidak jujur akan menyebabkan semua orang muak.
Pada siang hari bulan Ramadhan, datang seorang pemuda kepada Nabi saw. Dia menceritakan bahwa puasanya batal karena telah bersetubuh dengan istrinya. Lalu Nabi saw memberikan sanksi dua bulan puasa berturut-turut.
Pemuda tersebut kemudian naik banding, puasa sebulan saja gagal apalagi dua bulan. Begitulah alasan pemuda tersebut. Rasional dan logis juga. Lalu Nabi saw menyuruh pemuda tersebut memberikan makan (berbuka) 60 orang fakir miskin.
Pemuda tersebut naik banding lagi. Sebab orang termiskin di desa adalah dia. Tidak ada yang lain. Sembari tersenyum (agak jaim dikit), Nabi saw kemudian memberikan sekarung gandum untuknya.
Sayangnya ulama selalu melihat kelucuan ini dalam kacamata fikih, yang hitam putih. Gara-gara cara berpikir seperti itu banyak orang usil yang mengakali hadis di atas. Kalau mau bersetubuh dengan istri di siang hari bulan Ramadhan, mending minum dan makan dulu. Kalau batal, sanksinya mengganti di hari lain. Ups, jangan digunakan ide ini.
Padahal yang menarik dari kisah di atas adalah ketulusan Nabi saw melihat ulah umatnya. Senyum dan tawa beliau adalah ekspresi kejujuran melihat kenyataan yang sangat menggelikan.
Ketika hendak memakamkan putranya yang bernama Ibrahim, Nabi saw meneteskan air mata. Lalu Abdurrahman bin Auf bertanya. “Wahai Nabi saw mengapa engkau menangis?” Beliau kemudian menjawab, air mata ini adalah rahmat (bentuk kasih sayang) dari Allah.
Apa yang dialami Nabi saw tersebut adalah ekspresi alamiah, tulus, dan jujur dari batin. Tangis seperti ini sangat dianjurkan. Tangis seperti itu adalah ekspresi kasih sayang yang tidak boleh ditahan.
Jadi, kalau ada masalah, ungkapkan saja, menangislah sampai air mata menetes dan berlinang di pipi. Namun jangan berlebihan (lebay). Santuy saja.
Tangis berlebihan maksudnya yang membuat orang putus asa, menyebabkan putus harapan (hopeless). Memunculkan kegalauan (depresi). Seolah-olah dunia akan kiamat, seperti tidak ada hari esok.
Tangis dan Tawa yang Berbahaya
Berlebih-lebihan (israf) —kecuali tamak terhadap ilmu— dalam hal apapun tidak diperkenankan, termasuk tawa dan tangis. Kalau tawa dan tangis tujuannya untuk mengekspresikan perasaan (emosi) sangat dianjurkan. Namun, ingat jangan lebay.
Dalam kehidupan nyata, ada tawa dan tangis yang membahayakan. Itulah tawa dan tangis yang dilatarbelakangi kebohongan. Tertawa terbahak-bahak tapi tidak lucu. Menangis tersedu-sedu tapi tidak menyedihkan. Bahkan tanpa sebab apapun, tertawa dan menangis histeris. Ini namanya gila, depresi, atau mengalami guncangan mental yang kuat.
Ada juga yang tertawa ketika melihat orang lain bersedih. Ada yang bersedih ketika melihat orang lain bahagia. Tawa dan tangis seperti ini isinya kebohongan. Orang seperti ini sedang menderita, karena mengalami kerusakan mental.
Taufiq Pasiak dalam Unlimited Potency of the Brain, menjelaskan bahwa kedustaan akan menyebabkan tubuh memproduksi hormon kortisol sangat banyak. Dampak buruknya akan merusak ginjal. Mengerikan sekali.
Peter Muris dalam Normal and Abnormal Fear and Anxiety in Children and Adolescents, menjelaskan bahwa emosi tidak hanya memengaruhi psikomotorik, melainkan juga fisiologis.
Itulah sebabnya dalam keadaan takut seseorang tidak hanya merespons keadaan dengan cara menghindar (flight) atau menghadapi (fight), namun juga memunculkan keringat, detak jantung tidak teratur, bahkan mungkin bulu kuduk berdiri.
Semua itu terjadi karena emosi tidak berdiri sendiri. Dia bekerja melibatkan semua sistem saraf yang ada di otak. Dalam Al-Qur’an dikatakan, lahum qulubun laa yafqahuuna bihaa, “mereka punya hati tapi tidak digunakan untuk berpikir” (Al-A’raaf (7): 174 . Ayat ini menunjukkan bahwa berpikir tidak dapat berjalan sendiri tanpa melibatkan rasa (emosi).
Di dalam hadis dijelaskan dosa adalah maa taradada fii qalbi, apapun yang membuat hati bergejolak. Dosa itu terjadi bila dilakukan. Kalau masih di pikiran belum dosa. Meskipun tidak bermanfaat. Hadis ini menunjukkan adanya korelasi emosi dengan tindakan.
Di zaman modern ada pendeteksi kebohongan yang disebut dengan lie detector. Seseorang dapat berbohong dan mengarang cerita. Bisa juga tertawa meskipun sedih, begitu juga sebaliknya. Namun detak jantung, keringat dingin dan bulu roma tidak dapat diatur menurut keinginan. Tidak bisa mengikuti karepmu. Gejala tubuh seperti ini tidak dapat mengingkari perasaan sesungguhnya.
Jadi kebohongan dan kepalsuan akan menyebabkan kontradiksi antara jiwa dan raga, antara pikiran dan tindakan. Kalau diteruskan, yang rusak adalah adalah jiwa kemudian disusul raga. Hati-hati.
Tertawalah Selagi Bisa
Hitler mengatakan bahwa kebenaran adalah kebohongan yang diulang-ulang. Jadi kalau Anda gampang bosan, maka tidak usah berbohong. Kalau tidak bisa istiqomah (konsisten), mending Anda jujur. Karena teorinya Hitler ini sangat berat diterapkan.
Aktor di belakang layar yang menciptakan teori tersebut adalah Joseph Goebbels. Dialah yang menciptakan metode propaganda modern yang dikenal Big Lie (Kebohongan Besar). Kalau orang kecil, mungkin Little Lie (kebohongan kecil). Sesekali berbohong untuk bertahan hidup, alias nipu.
Teori Spiral Silence yang dicetuskan Elisabeth Noelle Neumann, pakar komunikasi politik asal German, sebenarnya berangkat dari perilaku politik Hitler. Dia termasuk pendukung Nazi dan anti dengan Yahudi.
Dia menjelaskan bahwa propaganda sangat efektif untuk membungkam suara minoritas. Meskipun suara minoritas benar, kalau diisolasi dengan propaganda-propaganda dusta dan dilakukan terus menerus, maka kebenaran tersebut akan melemah dan kemudian akan hilang dengan sendirinya.
Jadi sebuah kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan baru untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Mati satu tumbuh seribu. Jika dilakukan terus menerus menjadi sebuah karakter dan kepribadian.
Itulah sebabnya berbohong dapat menyebabkan kecanduan (adiktif). Kalau tidak berbohong tidak bahagia. Seperti Joker, dengan berbohong semakin bahagia. Puncaknya ketika berhasil menipu penonton. Celakanya saya ikut tertipu.
Hati-hati dengan berbohong. Sebab seperti mengukir di atas batu. Sekali terpahat, susah untuk dihapus. Sekali melakukan kebohongan, susah untuk jujur.
Saya khawatir, kalau pemimpin negeri ini suka berbohong. Semoga saya salah. Tapi ini perasaan jujur dari hati. Karena saya berharap mereka tidak merusak otaknya sendiri. Tidak menghancurkan raganya sendiri. Tidak menjerumuskan negara ini.
Kalau saya tertawa, berarti saya membohongi perasaan saya. Silahkan tertawa selagi bisa!