“Anak muda kita jangan dimanja, dibilang generasi kita adalah generasi milenial. Saya mau tanya hari ini apa sumbangsihnya generasi milenial yang sudah tahu teknologi membuat kita sudah viral tanpa harus bertatap langsung?”, demikian ujar Megawati dalam acara peresmian kantor PDI-P secara daring, pada hari Rabu (28/10/2020).
Bukan kebetulan, tanggal tersebut bertepatan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda, yang tahun ini diperingati tak semeriah biasanya, selain karena pandemi, juga karena maraknya demo di mana-mana.
Tentu, Megawati ingin meng-encourage para tunas bangsa agar menjadi generasi yang berfaedah, layaknya para pemuda pemudi saat Sumpah Pemuda. Kalau generasi milenial kerjaannya cuma demo terus, mau jadi apa negara ini? Masih mending kalau demo masak atau make-up, bisa di-endorse dan dapat uang. Nah, kalau demo Omnibus Law mau dapat apa? Sudah suaranya tak didengar, ada lagi ancaman dari aparat gahar, dengan pentungan yang bikin gemetar.
Emangnya belum kapok, kemarin pas demo malah digiring jalan jongkok ke polsek terdekat, abis itu disuruh buka baju sambil diceramahi berbagai pesan moral? Sukur-sukur kalo kondisi tubuh sehat. Lha kalau masuk angin karena ngligo apa nggak bikin repot biyunge, le?
Maka, wajarlah kalau sebagai seorang ibu yang pernah jadi ibu negara, dan sekarang masih menjadi ibu partai, Megawati bertanya tentang sumbangsih generasi milenial di Indonesia. Harus diakui, ukuran sumbangsih yang beliau maksud tidaklah jelas. Walau demikian, kita patut menghargai dan berprasangka baik terhadap pernyataan beliau.
Megawati secara tidak langsung memberi teladan, untuk menjadi manusia yang bermanfaat, tidak perlu banyak koar-koar dengan suara lantang di jalanan. Buktinya, tanpa banyak bicara, beliau bisa menjadi presiden wanita pertama di Indonesia. Lalu, waktu menjadi presiden, kita juga mengenal beliau sebagai presiden yang tak banyak bicara.
Saya teringat pada salah satu iklan TV yang menggambarkan karakter beliau. Di iklan tersebut, Bu Mega hanya terdiam di depan televisi yang sedang menampilkan adegan kekacauan di negeri ini. Ia tak mengatakan apa-apa. Kemudian, setelah mukanya di-zoom in, tampak tetes air mata mulai membasahi pipi. Ah, siapa yang naruh brambang di sini?
Di lain kesempatan, Bu Mega membuktikan kapasitas dan kelihaiannya dalam merangkul atau mendengkul lawan politik, tanpa harus emosi dan pakai pengeras suara. Lihat saja, politik nasi goreng Megawati yang berhasil bikin Prabowo bertekuk lutut, sekaligus bikin Surya Paloh kebakaran jenggot (tidak perlu dibayangkan). Sekali goreng, dampaknya bisa kemana-mana.
Kembali pada kritik beliau kepada generasi milenial, tentunya kritik tersebut menyasar seluruh generasi milenial di negeri ini. Walau demikian, kita perlu mengakui bahwa ada anak-anak bangsa yang sudah berhasil meneladani karakter ‘diam tapi berfaedah’ ala beliau.
Ya, contohnya adalah staf khusus milenial Presiden Jokowi. Cara kerja mereka sangatlah senyap, sampai-sampai tak terdeteksi oleh milenial di luar istana. Saat yang lain berdemo, dapat dipastikan mereka tidak akan ikut berdemo. Malah kalau bisa, membangun narasi yang lebih cerdas untuk meng-counter konten-konten demo tersebut. Bisa jadi, memes penjelasan Omnibus Law yang beredar di medsos, adalah hasil kinerja anak-anak muda teladan bangsa tersebut.
Pun demikian, bila kita berbicara dalam konteks partai, ilmu ke-Megawati-an sudah diterjemahkan dengan baik oleh milenial calon kepala daerah. Sebut saja nama Gibran Rakabuming Raka, misalnya. Tanpa banyak bersuara di jalanan, ia dapat meraih tiket calon walikota Solo. Ada momen di mana Gibran langsung datang menemui Ibu Megawati di kediaman beliau. Transfer ilmu yang diberikan Mega, kelak terbukti mampu membawa Gibran melenggang menjadi calon pemimpin Solo, walau sebelumnya sudah ada calon dari DPC kota tersebut.
Selanjutnya, walau nggak tergolong generasi milenial banget, silence-spirit Mega telah menclok dengan sempurna kepada Mbak Puan Maharani. Dengan laku diam dan ilmu lobi tingkat wahid, Puan berhasil menjadi ketua DPR wanita pertama di Indonesia. Ilmu ini juga yang diterapkan saat sidang-sidang berlangsung. Potensi kegaduhan dapat diredam dengan cara mematikan mic orang yang sedang berbicara. Diam adalah koentji. Kalau tidak mau diam, ya dipaksa diam. Sederhana, tho.
Di jajaran pemerintahan, sepertinya, Pak Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, juga sudah cukup familiar dengan ilmu diam tapi berfaedah ini. Entah, apakah Presiden Jokowi juga sudah menguasai ilmu ini atau belum. Yang jelas, Pak Presiden tak terlalu terusik dengan berbagai demo yang berlangsung belakangan ini. Walau anjing menggonggong, kafilah akan tetap berlalu. Mungkin begitu prinsipnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan, kalau dulu Megawati dan partainya suka berkoar dengan lantang saat menjadi oposisi pemerintah, ternyata itu semua memang cuma buat pantes-pantes aja, tidak berfaedah, tidak menghasilkan sumbangsih apa-apa. Ya memang benar sih, kekuasaan bisa mengubah banyak hal, termasuk prinsip seseorang.
Wahai generasi milenial unfaedah, ingat selalu pesan Ibu, ya!