Rabu, April 24, 2024

Daripada Mikirin Covid-19, Lebih Asyik Bermain Majas 

Hatib Rahmawan
Hatib Rahmawan
Koordinator Program Pegiat Pendidikan Indonesia, Dosen Universitas Ahmad Dahlan

Sebenarnya saya paling tidak suka dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Sebab, waktu SD pernah ditampar sama si guru. Sempat trauma coy. Sudahlah, yang lalu biar berlalu. Ambil positifnya saja. Namun, gara-gara ditampar, sekarang malah suka bermain kata-kata. Karena kata ternyata mengandung mantra dan sihir.

Saya dan kamu pasti lelah dan bosan mendengar berita pandemi Covid-19. Lupakan sejenak, sekarang saya ajak kembali ke masa SMA, pada pelajaran majas. Jadi yang saya maksud bermain berkata-kata adalah bab majas. Hebatnya majas, bisa menyuruh orang dengan cara melarang. Begitu juga melarang orang, dengan cara memerintah. Unik kan.

Contohnya begini. Saya kebetulan sudah punya anak. Pas musim ujian dia malah asik main hape. Terus saya duduk di sebelahnya. Lalu saya tanya, “besok ujian apa le?” Dia menjawab, “matematika pah”. Lalu saya balas. “Ya sudah, main hape aja.” Eh, tidak lama kemudian hape dimatikan, terus dia belajar.

Lucu kan, disuruh main hape, kok malah berhenti. Jadi itulah hebatnya majas sindiran. Suatu ketika anak saya habis mandi keran tidak ditutup, air meluber. Terus saya tanya, “ini siapa yang baru selesai mandi ya?” Tiba-tiba anak saya buru-buru balik ke kamar mandi langsung mematikan keran.

Padahal saya baru bertanya, tapi kok dia malah balik ke kamar mandi mematikan keran. Lucu to. Jadi majas sindiran itu bahasa level tinggi. Bagi yang hatinya peka, punya kecerdasan, pasti paham dengan majas sindiran.

Al-Qur’an juga banyak menggunakan majas sindiran. Tuhan berkata: “Barang siapa ingin beriman, berimanlah, barang siapa ingin kafir, kafirlah”. Coba renungkan sejenak ayat tersebut. Ini sebenarnya majas sindiran, bukan optional (pilihan).

Jadi teringat ketika nyantri. Saya pernah bersama teman-teman maling rambutan di kebun tetangga. Tiba-tiba yang punya datang. Lalu teriak, “Woiii kesini, kembali, jangan lari…” Itukan kalimat ajakan, tapi kami pada waktu itu malah lari menjauh.

Majas sindiran, ternyata ada lima. Mungkin kamu sudah lupa. Saya ingatkan lagi, yakni ironi, sinisme, sarkasme, satire, dan innuendo.

Ironi

Ironi adalah majas sindiran yang paling halus. Diungkapkan dengan cara menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan. Jadi orang dibuat agak mikir sedikit. Kalau paham berarti dia cerdas, hatinya peka, perasaannya halus.

Beberapa waktu yang lalu Pakde Luhut menggunakan majas ironi ini. Coba perhatikan kalimatnya. “Indonesia penduduknya 2.70 juta jiwa, yang terinfeksi belum sampai 500 orang, masih jauh kalau dibandingkan dengan Amerika.”

Kalimat ini bagi orang awam, membuat kuping panas. Namun, bagi yang paham teori majas sindiran, seperti saya, merupakan kalimat yang sangat bijaksana, penuh kerendahan hati, dan tidak sombong.

Jadi, Pakde Luhut, sebenarnya ingin menegaskan bahwa Indonesia lebih baik dari Amerika dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun, kalau kalimat ini yang digunakan, terkesan sombong dan membagakan diri. Tolong ya, yang suka nyinyir, pahami kehalusan budi beliau.

Sinisme

Majas sindiran selanjutnya sinisme. Kalau ironi diungkapkan secara halus, maka sinisme diungkapkan dengan kasar. Misalnya begini. Hai Andi Taufan, teganya kamu memanfaatkan jabatan stafsus untuk cari proyek, padahal kamu dibayar untuk membantu pemerintah dan negara.

Jadi sinisme untuk mengungkap sesuatu yang bertentangan, tapi dengan cara kasar. Makna hakikinya seperti ini, stafsus fungsinya untuk melayani presiden dan negara, tapi jabatan tersebut malah digunakan untuk mencari proyek.

Sarkasme

Majas sindiran berikutnya sarkasme. Level kasarnya melebihi sinisme. Kalau sinisme masih ada ungkapan perbandingan, tapi kalau sarkasme langsung to the point, tidak perlu perbandingan-perbandingan.

Contohnya seperti ini. Yasonna Laoly kamu benar-benar gila! Kok, gara-gara Covid-19 napi kamu bebaskan, koruptor kamu lepaskan. Kalimat seperti ini disebut sarkastik. Karena langsung menohok, diungkapkan secara lugas. Kuping langsung panas.

Uniknya, kalimat sarkastik ini mengandung kebenaran. Misalnya begini. Dasar pemalas, bangun kesiangan terus! Kebenaran dalam kalimat tersebut adalah orang yang diomeli memang pemalas, buktinya adalah bangunnya kesiangan.

Jadi, seseorang yang menggunakan kalimat sarkastik sedang mengalami emosi yang paling puncak, yaitu marah. Hati-hati bro, jangan suka marah, nanti bisa stroke. Yang diomeli tenang-tenang saja, malah kamu yang mampus.

Satire

Majas sindiran selanjutnya satire. Sebenarnya sama kerasnya dengan sarkasme, tapi satire lebih berkelas. Kalimat satire menggunakan bahasa simbolik yang dalam dan tajam. Langsung nusuk ke hati.

“Kita ini bangsa kaya, kenapa harus takut berhutang,” ungkap Sri Mulyani Indrawati. Kalimat Menteri Keuangan ini termasuk satire. Ditujukan kepada pakar ekonomi yang selalu nyinyir melihat kebijakan keuangan pemerintah.

Mari renungkan dan resapi maknanya sejenak. Logika hutang, hanya dilakukan oleh orang dapat membayar. Berarti orang berhutang karena dia sebenarnya dapat membayar, siapa dia? Orang kaya. Kalau miskin pasti tidak berani berhutang, karena pasti tidak dapat membayar. Kesimpulannya, orang miskin jangan berhutang, tapi mengemis atau meminta saja.

Jadi, kalimat Ibu Sri Mulyani di atas ditujukan untuk menyindir para ekonom yang bermental kere. Dengarkan dan resapi, jangan asal komentar. Kalau masih bermental kere jangan jadi ekonom.

Innuendo

Majas sindiran terakhir innuendo. Majas ini mirip dengan satire, cuma lebih sulit lagi mencernanya. Butuh kecerdasan metafora atau imajinatif. Karena majas ini menggunakan simbol dengan makna yang bertentangan dengan aslinya.

Majas ini lebih filosofis. Kalau tidak terpelajar susah memahaminya. Majas ini digunakan untuk menutupi fakta sesungguhnya. Kalau dikatakan besar, berarti sesungguhnya kecil. Kalau dikatakan kecil berarti besar.

Majas ini pernah digunakan Menkes dr. Te-rawan. Contohnya begini. “Sudahlah tidak perlu khawatir, angka kematian akibat Flu lebih tinggi ketimbang Corona.”

Saya baru sadar kalau dr. Te-rawan ternyata pandai sekali mengolah kata-kata, bermain majas. Kalimat tersebut majas sindiran level tinggi. Pantas banyak wartawan yang tidak paham. Kalau wartawan saja gagal paham, apalagi rakyat biasa.

Saya jadi bersimpati dengan Pak Menteri. Maaf pak kalau saya sempat ikut membully. Saya telat pahamnya. Makna yang terkandung dalam kalimat dr. Te-rawan adalah Corona ini lebih berbahaya dari flu, angka kematian dan dampaknya lebih besar. Anda baru paham ya?

Sampai sini, anda baru sadar, bahwa majas sindiran lebih asyik ketimbang mikiran Covid-19. Majas sindiran membuat pikiran ini fly, melupakan realitas pandemi yang membuat stress. Ayo sekarang belajar menggunakan majas sindiran.

Oh ya, majas sindiran ternyata melebihi higher order thinking skill (HOTS). Jadi kalau mau paham dengan pemerintah, gunakan akal yang cerdas. Kalau cuma rata-rata, ya susah sendiri.

Hatib Rahmawan
Hatib Rahmawan
Koordinator Program Pegiat Pendidikan Indonesia, Dosen Universitas Ahmad Dahlan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.